Dua Sepuluh tahun Setelah 911 Masa Depan Penanganan Terorisme di Indonesia

DUA puluh empat tahun Lampau, dunia diguncangkan oleh sebuah tragedi yang selanjutnya mengubah arah sejarah. Tepatnya pada 11 September 2001, dua pesawat komersial menghantam menara kembar World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Perkumpulan, sementara satu pesawat lain menabrak Pentagon dan satu Tengah Anjlok di Pennsylvania.

Serangan yang belakangan diketahui direncanakan oleh jaringan Al-Qaeda itu menewaskan Dekat 3.000 orang. Peristiwa tersebut menjadi simbol kerapuhan dunia modern terhadap ancaman terorisme sekaligus menandai babak baru, perang Mendunia melawan teror yang hingga kini Tetap meninggalkan jejak panjang di banyak negara.

Bagi masyarakat dunia, tragedi 9/11 bukan sekadar Informasi jauh dari benua lain. Itu peringatan bahwa terorisme adalah ancaman Konkret, lintas batas, dan Dapat menyasar siapa saja. Dampaknya terasa hingga ke Indonesia. Hanya setahun setelah tragedi itu, Indonesia mengalami serangan bom Bali I pada 12 Oktober 2002. Ratusan orang meninggal, sebagian besar wisatawan mancanegara. Serangan itu bukan hanya merenggut nyawa, tetapi juga menghantam Imej Indonesia di mata Dunia. Bom Bali I seakan menegaskan bahwa Indonesia bukan sekadar penonton, melainkan bagian dari ‘peta besar’ terorisme Mendunia.

Sejak Begitu itu, bangsa ini hidup dengan bayang-bayang ancaman. Ledakan di Hotel JW Marriott (2003), Kedutaan Besar Australia (2004), hingga bom kembar di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton (2009) meninggalkan luka mendalam. Setiap kali bom meledak, masyarakat diguncang ketakutan, sementara negara dipaksa memperkuat strategi keamanan. Lahirnya Densus 88, unit Tertentu antiteror Polri, adalah respons langsung terhadap ancaman tersebut.

 

CATATAN KEBERHASILAN

Tetapi, Apabila kita menengok sepuluh tahun terakhir, peta ancaman itu tampak mulai mereda. Indonesia dapat dikatakan sebagai salah satu negara yang berhasil melakukan upaya kontra terorisme. Menurut laporan Mendunia Terrorism Index (GTI) 2025, ancaman terorisme di Indonesia menurun ke level 4,17 dan menempatkan Indonesia pada posisi 30 dari 136 negara. Sementara itu, menurut catatan BNPT, selama dua tahun berturut-turut, Indonesia juga mengalami Kosong serangan teroris atau zero terrorist attack.

Tak Terdapat Tengah serangan besar dengan korban ratusan jiwa seperti bom Bali I dan II. Memang, beberapa insiden Tetap terjadi seperti serangkaian teror di Jalan Thamrin, Jakarta (2016), atau penyerangan Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Riau (2018). Akan tetapi, skala dan dampaknya jauh lebih kecil Apabila dibandingkan dengan periode sebelumnya. Kita Dapat mengatakan, secara relatif, Indonesia lebih Kondusif dari ancaman terorisme dalam satu Sepuluh tahun terakhir.

Cek Artikel:  Sepak Bola bukan Sulap Cerminan dari Kekalahan 0-6 atas Jepang

Kesuksesan Indonesia dalam melakukan langkah-langkah kontra terorisme setidaknya dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya kerja sama Dunia yang intensif dengan negara lain. Bom Bali I menjadi Teladan, betapa pada Begitu itu Indonesia Tetap belum Mempunyai mekanisme penanggulangan terorisme yang terukur dan belum menemukan role model yang Dapat dicontoh. Alih-alih melakukan upaya kontra terorisme, sebagian elite politik Indonesia Begitu itu Tetap denial terhadap kemungkinan terjadinya aksi teror di Indonesia. Misalnya penolakan disampaikan oleh Wapres Begitu itu, Hamzah Haz.

Berangkat dari peristiwa itu, kerja sama Dunia dalam kerangka penanggulangan terorisme Lanjut menguat, di antara yang paling intens ialah dengan pemerintah Australia. Dalam konteks penanggulangan terorisme, Terdapat beberapa kerja sama strategis yang dilakukan oleh Indonesia dan ‘Negeri Kanguru’ itu, seperti pertukaran informasi intelijen, pengembangan riset, seminar, pelatihan kapasitas melalui Jakarta Centre for Law Enforcement Cooperation (JCLEC) dan Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ), yang menitikberatkan pada isu terorisme dan kejahatan lintas batas (Media Indonesia, 2025).

Unsur lain yang dapat dikatakan menentukan dalam suksesnya langkah kontra terorisme di Indonesia ialah ketahanan individu dan Grup masyarakat terhadap aksi teror yang terjadi. Kita tentu Tetap ingat nama Jamal dan Cahyeni, Kekasih penjual sate yang mendadak terkenal karena tetap berjualan di tengah serangan bom oleh teroris di Jalan MH Tamrin, Jakarta Pusat, pada 2016 (Medcom.id, 2016). Ini adalah simbol keteguhan dan semangat Kaum Buat Tak takut menghadapi teror.

Mental Jamal dan istrinya ini patut menjadi perhatian oleh pemerintah dalam memberikan edukasi kepada masyarakat. Bahwa yang diinginkan oleh pelaku teror ialah rasa takut dan kekacauan. Sementara menghadapinya dengan tenang, terukur, dan penuh kewaspadaan, akan melemahkan Grup teror melakukan hal serupa.

 

ANCAMAN SUNYI

Di era awal 2000-an, Grup teroris di Indonesia memilih strategi ‘aksi besar’ seperti ledakan bom berdaya hancur tinggi di tempat publik. Motivasinya Terang, yakni mengejutkan dunia, mengirim pesan politik, sekaligus meraih publikasi Mendunia. Tetapi, strategi itu mulai berubah setelah aparat keamanan meningkatkan tekanan. Penangkapan tokoh-tokoh Krusial, pembubaran jaringan, serta operasi intelijen yang intens Membangun mereka sulit Tengah melancarkan aksi skala besar.

Sebagai gantinya, muncul pola baru: serangan kecil, sporadis, bahkan dilakukan oleh individu tanpa jaringan besar. Fenomena ini dikenal dengan istilah lone wolf terrorism. Serangan semacam ini memang Tak menghasilkan korban massal, tetapi tetap menebar ketakutan. Bom bunuh diri di salah satu gereja di Surabaya (2018) adalah Teladan Konkret. Pelakunya seorang ibu yang membawa dua anaknya (Media Indonesia, 2018). Mereka sepasang suami istri muda yang diduga terpapar ideologi radikal lewat internet.

Cek Artikel:  112 Tahun Muhammadiyah dan Pentingnya Menjadi Gerakan Ilmu

Di sinilah letak persoalan baru. Apabila dulu ancaman datang dari Grup terorganisasi seperti Jamaah Islamiyah (JI) atau Jamaah Ansharut Daulah (JAD), kini radikalisasi berlangsung lewat jalur sunyi: ruang digital, Lembaga kecil, bahkan lingkaran keluarga. Media sosial, kanal YouTube, atau grup percakapan privat menjadi lahan subur penyebaran ideologi kebencian.

Berbeda dengan pola Pelan, ancaman semacam ini sulit dideteksi aparat. Tak Terdapat persiapan logistik besar, Tak Terdapat pertemuan rahasia, bahkan Tak Terdapat jaringan luas. Cukup satu orang terpapar paham radikal, Lampau mengambil tindakan nekat, dan korban Dapat berjatuhan. Dalam teori chaos, fenomena ini dikenal dengan butterfly effect, sebuah kekacauan kecil di satu tempat dapat berdampak pada peristiwa besar dan meluas, seperti yang terjadi pada Arab Spring.

 

Tak BOLEH LENGAH

Fakta bahwa dalam 10 tahun terakhir Tak Terdapat serangan teror di Indonesia patut diapresiasi. Itu menunjukkan efektivitas Badan Intelijen Negara, aparat keamanan, terutama Densus 88, dalam menekan jaringan teroris. Indonesia bahkan dinilai oleh banyak pengamat dunia, salah satunya Roger Paget (2016), telah berhasil dalam program deradikalisasi dan patut menjadi Teladan bagi negara lain.

Tetapi, keberhasilan ini menyimpan risiko lain, yakni rasa puas diri. Masyarakat mungkin berpikir ancaman terorisme sudah selesai, padahal ia hanya berubah Jenis. Bahkan di Begitu tenang inilah, Grup radikal Dapat membangun kembali pengaruhnya secara perlahan.

Beberapa Teladan pergeseran kekuasaan seperti yang terjadi di Afghanistan dan Suriah memberikan gambaran kepada kita bahwa terorisme itu Tak pernah Wafat. Mereka meredup di satu masa, tetapi akan menyala kembali pada waktu yang Benar.

Dunia Tak pernah membayangkan bahwa Taliban, yang selama 20 tahun tanpa henti ditekan oleh tentara Amerika dengan persenjataan yang lengkap, tiba-tiba berbalik menguasai Afghanistan dan mengambil alih negara yang didukung penuh oleh negara superpower seperti Amerika. Teladan yang Dekat sama juga terjadi di Suriah, bagaimana Hayat Tahrir al-Sam berhasil mengonsolidasi Grup-Grup bersenjata kecil yang terlibat dalam perang Keluarga dan berhasil menggulingkan pemerintah tiran Basar al-Asad.

Berita baiknya, ancaman kebangkitan terorisme di Indonesia Tetap menjadi perhatian Istimewa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Dalam sebuah pernyataannya pada 7 September Lampau di Hambalang, beliau dengan tegas menyampaikan bahwa ancaman teror itu Tetap Terdapat dan Konkret. Kekacauan seperti yang terjadi pada akhir Agustus Lampau Dapat menjadi pemantik bagi bangkitnya gerakan teror. Kekhawatiran ini cukup beralasan, karena ancaman terorisme Terang berpengaruh pada keberhasilan dua poin Asta Cita yang diprogramkan beliau, Yakni poin pertama dan kedelapan.

Cek Artikel:  Jakarta Menuju Era Baru

Bahkan, hari ini ancaman terorisme juga Tak Tengah tunggal. Di satu sisi, jaringan seperti Al-Qaeda dan ISIS Tetap menjadi ancaman Mendunia dan Mendunia energy bagi aktivitas teror di seluruh dunia. Di sisi lain, Terdapat pula indikasi bahwa ekstremisme Dapat berkelindan dengan isu-isu lain seperti pemimpin tiran, intoleransi, politik identitas, hingga ujaran kebencian berbasis Religi. Sekalian itu menciptakan ekosistem subur bagi ideologi teror Buat tumbuh.

Setidaknya Terdapat tiga tantangan besar yang perlu diperhatikan Indonesia dalam menghadapi ancaman terorisme masa depan. Pertama, ancaman digital. Ruang maya kini menjadi medan perang ideologi. Grup radikal menggunakan media sosial Buat menyebarkan propaganda, merekrut Personil, bahkan memberi instruksi teknis pembuatan bom. Indonesia, dengan jumlah pengguna internet yang masif, sangat rentan terhadap infiltrasi semacam ini.

Kedua, ancaman ‘domestik’. Teror Tak selalu hadir dalam bentuk Grup bersenjata atau jaringan radikal, tetapi Dapat muncul dari dinamika domestik sosial-politik yang sulit dideteksi. Gerakan ini Dapat berwujud provokasi identitas, penyebaran disinformasi, dan polarisasi politik yang merusak kohesi sosial masyarakat.

Berbeda dengan Grup teror klasik, ancaman ini sering kali Tak Mempunyai struktur organisasi yang Terang, Tak terikat pada ideologi tunggal. Kerumitannya bertambah ketika Terdapat kemungkinan kekuatan eksternal atau negara lain memanfaatkan kerentanan ini dengan mendorong konflik sosial, memelihara ketegangan politik, atau bahkan menyalurkan dukungan tersembunyi Buat menciptakan instabilitas.

Ketiga, keterkaitan dengan isu Mendunia. Situasi geopolitik Dunia, misalnya konflik di Palestina atau ketegangan antarnegara yang melibatkan isu Religi dan ras seperti konflik India-Pakistan, Dapat berimbas pada Indonesia. Radikalisasi sering kali menggunakan narasi penderitaan umat di luar negeri Buat membangkitkan simpati dan mengobarkan militansi. Indonesia harus mewaspadai bagaimana narasi Mendunia itu dipelintir Buat kepentingan perekrutan lokal.

Dua Sepuluh tahun terakhir membuktikan bahwa terorisme Dapat ditekan, tetapi ancamannya tak pernah Benar-Benar hilang. Karena itu, ke depan yang terpenting bukanlah sekadar menindak, melainkan mengobati luka sosial yang menjadi sumber lahirnya kekerasan. Pemerintah harus Dapat menjamin terwujudnya keadilan dan kesejahteraan warganya. Grup sipil wajib digandeng dalam menjaga agar masyarakat tetap bebas beraktivitas, Sembari meneguhkan bahwa Indonesia adalah rumah yang Kondusif bagi Sekalian warganya.

Mungkin Anda Menyukai