PRESIDEN Joko Widodo berharap adanya pertarungan ide dan gagasan pada Pilpres 2024. Tetapi, sayangnya, kata dia, yang terjadi saat ini justru terlalu banyak dramanya. “Saya melihat akhir-akhir ini terlalu banyak dramanya, mestinya kan pertarungan gagasan, mestinya pertarungan-pertarungan ide, bukan pertarungan perasaan. Kalau yang terjadi pertarungan perasaan, repot semua kita,” ujarnya saat memberi sambutan dalam acara HUT ke-59 Golkar di Jakarta, Senin (6/11).
Entah apa ‘drama’ yang dimaksud Jokowi, entah perasaan siapa pula yang dia sebut. Kalau drama di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait putusan aturan batasan usia bacapres/bacawapres yang telah telanjang dipertontonkan di muka publik, itu jelas telah melukai perasaan dan rasa keadilan masyarakat. Putusan penjaga konstitusi yang dipimpin Anwar Usman memberikan karpet merah untuk keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, untuk berkontestasi dalam Pilpres 2024.
Perasaan publik juga terluka ketika sejumlah menteri dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden bergabung dalam tim sukses pasangan calon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.
Kalau Jokowi ingin pemilu benar-benar berkualitas, seharusnya ia tegas perintahkan para menteri dan Wantimpres itu mundur agar tidak bias. Tengah pula, apakah elok mereka berkampanye untuk paslon yang di dalamnya ada anak Presiden, sementara mereka masih berstatus sebagai pembantu sang ayah di pemerintahan? Betul semua pasangan calon atau kontestan ingin menang, tapi tetap harus mengedepankan sportivitas dan etika.
Kondisi pada tahun politik seperti drama dan sinetron sehingga bisa mengoyak perasaan publik harus dihentikan dan berganti dengan pertarungan gagasan. Sejatinya kontestasi pilpres adalah pertarungan gagasan, ide yang orisinal, autentik, dan progresif. Bukan gagasan yang menyontek dari pendahulu atau dari lawan politik. Negeri ini butuh gagasan cemerlang untuk menuju negara maju dan bisa bersaing dengan negara-negara lebih maju lainnya.
Konsistensi antara omongan dan perbuatan barangkali mungkin telah menjadi barang langka di negeri ini. Integritas, sebagai salah satu kriteria kualitas pemimpin, telah lama hilang. Yang menonjol ialah hipokrisi, lain di bibir lain di hati. Rakyat butuh pemimpin yang dapat menjadi teladan, pemimpin yang konsisten antara kata dan perbuatan. Satu hal yang juga harus diingat, rakyat kini juga semakin cerdas, bukan lagi sekadar penonton pasif yang mudah dibuai dan diperdaya dengan permainan kata-kata sang sutradara dan penulis cerita.