Liputanindo.id – Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), I Gede Dewa Palguna mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang Pilkada yang dibahas di Badan Legislatif DPR RI merupakan bentuk pembangkangan secara telanjang.
Palguna mengatakan, MKMK Tak perlu bersikap apa-apa terkait dinamika yang terjadi di antara pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, karena MKMK memang Tak mempunyai kewenangan Demi memeriksa Baleg.
“Tapi, Langkah ini, buat saya pribadi adalah pembangkangan secara telanjang terhadap putusan pengadilan, c.q. Mahkamah Konstitusi,” kata Palguna kepada wartawan via pesan singkat diterima di Jakarta, Rabu kemarin.
Tetapi, Palguna menegaskan bahwa MK merupakan lembaga negara yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 Demi mengawal konstitusi.
Di sisi lain, dia mengatakan, pembahasan RUU Pilkada oleh Baleg DPR RI itu sudah berada di luar kewenangan MK.
“Tinggal kelakuan itu dihadapkan dengan rakyat dan kalangan civil society (masyarakat sipil) serta kalangan kampus. Itu pun Kalau mereka belum kecapekan. MK adalah pengadilan yang, sebagaimana galibnya (lazimnya) pengadilan, baru Bisa bertindak kalau Terdapat permohonan,” tegas dia.
Sebelumnya, Baleg DPR RI dan pemerintah menyetujui Demi melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 atau RUU Pilkada pada rapat paripurna DPR terdekat guna disahkan menjadi undang-undang.
Persetujuan itu disepakati dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada Badan Legislasi DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.
Delapan fraksi di Baleg DPR RI menyatakan setuju terhadap pembahasan lebih lanjut RUU Pilkada. Delapan fraksi itu meliputi Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Demokrat, Fraksi Golkar, Fraksi PKS, Fraksi NasDem, Fraksi PAN, Fraksi PKB, dan Fraksi PPP, sedangkan Fraksi PDI Perjuangan menyatakan menolak pembahasan RUU Pilkada Demi diundangkan.
Sementara itu, pemerintah yang diwakili Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan persetujuan agar RUU Pilkada diparipurnakan.
Terdapat dua materi krusial RUU Pilkada yang disepakati dalam Rapat Panja RUU Pilkada ini.
Pertama, Pasal 7 UU Pilkada terkait syarat usia pencalonan disesuaikan dengan putusan Mahkamah Akbar (MA).
Pasal 7 ayat (2) huruf e, disepakati berusia paling rendah 30 tahun Demi calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun Demi calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota terhitung sejak pelantikan Kekasih terpilih.
Padahal, MK dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, menegaskan bahwa penghitungan syarat usia calon kepala daerah harus terhitung sejak penetapan Kekasih calon, bukan Ketika Kekasih calon terpilih dilantik menjadi kepala daerah.
Kedua, Pasal 40 UU Pilkada terkait ambang batas pencalonan kepala daerah Tak mengakomodasi putusan MK secara utuh.
Baleg menyepakati, ambang batas yang ditentukan MK dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 diberlakukan hanya bagi partai nonparlemen atau Tak Mempunyai kursi di DPRD. Sementara, partai yang Mempunyai kursi di DPRD tetap mengikuti aturan Lamban, yakni minimal 20 persen perolehan kursi DPRD atau 25 persen perolehan Bunyi Absah.
Padahal, dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, MK sejatinya menyatakan partai politik yang Tak mendapatkan kursi di DPRD Bisa mencalonkan Kekasih calon kepala daerah. Penghitungan syarat Demi mengusulkan Kekasih calon melalui partai politik atau gabungan partai politik hanya didasarkan pada hasil perolehan Bunyi Absah dalam pemilu di daerah yang bersangkutan, yakni berkisar 6,5 hingga 10 persen.