Dolar Melesat, Waspada Krisis Obat

Dolar Melesat, Waspada Krisis Obat
Rizky Fajar Meirawan – Pengajar Universitas Indonesia Maju dan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta(Dok)

TREN penguatan kurs Dolar Amerika (USD) terhadap Rupiah (Rp) terus berlangsung dan belum menunjukkan pertanda akan berakhir. Sejak 11 April 2024, kurs USD menembus Rp16.000. Bagi industri berbahan baku impor, penguatan USD, berarti peningkatan biaya produksi. Kementerian Kesehatan, sebagaimana dikutip oleh Bisnis.com menyatakan, 90 persen bahan baku obat (BBO) adalah produk impor. Kalau tren depresiasi rupiah terhadap USD terus berlanjut, harga obat di tingkat konsumen dapat mengalami kenaikan 10—20 persen.

Opsi selain menaikkan harga jual adalah memaksimalkan produksi obat, dengan bahan baku yang tersedia di gudang pabrik dan industri farmasi. Produsen obat dan perusahaan farmasi, kemungkinan menunda pembelian dan pengadaan BBO impor. Tetapi, implementasi strategi hal ini, berdampak pembatasan produksi obat.

Tanpa tata kelola yang baik, hal tersebut akan memicu krisis obat. Pengaruhnya adalah peningkatan angka kesakitan atau prevalensi, baik penyakit menular, tidak menular, termasuk gangguan jiwa. Krisis obat juga memicu kenaikan angka morbiditas (penularan penyakit), mortalitas (kematian), dan fatalitas (kematian akibat penyakit). Penulis memberikan 3 langkah strategis untuk mencegah krisis obat, yaitu Manajemen Peredaran dan Pengawasan Obat; Optimasi Obat Tradisional; dan Memaksimalkan Promosi Kesehatan.

Baca juga : Anies Sasarankan Indonesia Setop Impor Bahan Baku Obat pada 2029

Cek Artikel:  Keamanan Siber sebagai Pilar Ketahanan Negara

Pemerintah perlu memaksimalkan manajemen peredaran dan pengawasan obat. Terutama meningkatkan pengawasan dan pembatasan konsumsi obat tanpa resep. Sering ditemui, masyarakat secara mandiri mengonsumsi obat jenis antibiotika, ketika merasakan gejala peradangan. Misalnya merasakan demam, sakit kepala, serta nyeri dan bengkak di beberapa bagian tubuh. Konsumsi antibiotika secara mandiri ini, akan memicu resistensi bakteri, dampak dari konsumsi obat yang tidak tepat dosis dan tidak tepat indikasi medis. Selain itu, konsumsi obat tanpa resep juga berisiko menimbulkan efek samping dan kontra indikasi.

Pengawasan peredaran obat dan menjual obat sesuai resep akan meningkatkan efektivitas pengobatan. Penyembuhan penyakit secara tuntas, akan meminimalkan potensi kambuh atau munculnya kasus penyakit yang sama di kemudian hari, sehingga masyarakat tidak perlu mengonsumsi obat di masa mendatang. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak pada penurunan kebutuhan obat.

Di tengah tingginya biaya impor BBO, optimasi obat tradisional menjadi alternatif jalan keluar. Obat tradisional atau jamu, memiliki potensi sebagai bahan terapi kausatif, simtomatis, dan suportif, sebagaimana obat dan produk farmasi. Jamu dengan bahan baku tanaman lokal, seperti temu-temuan, bawang, sirih, dan aneka daun-daunan, terbukti secara ilmiah berkhasiat sebagai zat anti-mikroba dan anti-kanker. Definisinya, tanaman lokal tersebut dapat digunakan sebagai bahan dalam pengobatan yang sifatnya kausatif, seperti pembunuh sel bakteri atau sel kanker.

Cek Artikel:  Perdagangan Dunia Menavigasi Tantangan dan Kesempatan Baru

Baca juga : Guru Besar Unila Apresiasi Kementan dalam Penyiapan Bahan Baku Obat dan Vaksin Hewan

Ramuan jamu dan obat tradisional juga dapat dimanfaatkan untuk meredakan gejala klinis yang muncul. Seperti menurunkan suhu tubuh dan meredakan nyeri. Salah satu contoh pemanfaatan jamu dalam proses pengobatan untuk meredakan gejala klinis yang muncul (simtomatis) adalah Obat Batuk

Hitam (OBH). Produk ini merupakan contoh jamu dengan khasiat pereda batuk dan pilek pada infeksi saluran pernafasan. Selain itu, jamu dan obat tradisional, khususnya ramuan temu-temuan, telah terbukti secara ilmiah mampu meningkatkan imunitas (ketahanan) tubuh. Hal ini menunjukkan potensi jamu sebagai bahan penunjang (suportif) pengobatan penyakit menular.

Pengembangan dan riset obat tradisional menjadi sediaan farmasi yang teruji klinis, merupakan sebuah kebutuhan bersama. Seluruh pihak terkait, wajib berkontribusi dalam proses pengembangan dan riset tersebut, karena proses ini membutuhkan sumber daya dan finansial yang besar. Ketersediaan obat tradisional dan jamu teruji klinis, akan meningkatkan kemandirian industri farmasi nasional dan menurunkan ketergantungan terhadap BBO impor.

Baca juga : Kimia Farma Gandeng Sinopharm Kembangkan Bahan Baku Obat

Cek Artikel:  Prabowo dan Diplomasi Good Neighbors Policy di ASEAN

Dalam sudut pandang kesehatan masyarakat, peningkatan derajat kesehatan berjalan efektif dan efisien melalui perilaku dan gaya hidup sehat dari masyarakat. Strategi mengembangkan perilaku dan gaya hidup sehat adalah memaksimalkan kegiatan promosi kesehatan (promkes). Konten, format, dan kemasan promkes ini harus “ramah” media sosial. Karena secara rata-rata, konsumsi media sosial masyarakat Indonesia, seturut data dari Tetapta adalah selama 3 jam 11 menit per hari. Optimasi promosi kesehatan dapat melalui beberapa langkah sebagai berikut :

  1. Keunikan dan kreativitas produksi konten.
  2. Kolaborasi penyampaian pesan bersama social media influencer dan key opinion leader.
  3. Produksi konten media sosial berbasis pemasaran sosial atau social marketing.
  4. Intensitas social media activation. Misalnya penyelenggaraan kuis atau giveaway.
  5. Kerjasama pemerintah dengan perusahaan penyedia platform media sosial terkait dengan kuota iklan layanan masyarakat.

Terbentuknya perilaku dan gaya hidup sehat adalah faktor penghambat (preventif) kejadian penyakit dan meningkatkan (promotif) derajat kesehatan masyarakat. Hal ini akan membuat angka kebutuhan obat secara nasional dapat terkendali.

***

Baca juga : Menkes: Saya Mau Harga Obat di Indonesia Murah dan Transparan

Rizky Fajar Meirawan

Pengajar Universitas Indonesia Maju dan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta

 

 

Mungkin Anda Menyukai