Dokter Depresi

Dokter Depresi?
Iqbal Mochtar, Pengurus PB IDI dan PP IAKMI, Ketua Kluster Kedokteran dan Kesehatan Ikatan Ilmuwan Indonesia Global (I4).(DOK PRIBADI)

MENTERI Kesehatan (Menkes) baru-baru saja merilis sebuah informasi bahwa 22% dokter peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) mengalami depresi dan 3,3% Ingin mengakhiri hidupnya. Informasi ini didasarkan skrining menggunakan kuesioner PHQ-9. Informasi ini mengejutkan dan menjadi Informasi sensasional, seolah program PPDS adalah program depresif dan pemicu gangguan mental.

Informasi Menkes ini Tak boleh diterima mentah-mentah. Setidaknya Eksis tiga isu Krusial.

Pertama, Tak Terang Dalih mengapa Menkes gandrung cawe-cawe urusan pendidikan dokter spesialis. Beberapa waktu Lampau, ia mengorek tentang bully PPDS, sekarang tentang depresi PPDS. Mungkin dianggapnya Segala urusan dokter adalah urusan Menkes. Atau mungkin Ingin ambil alih tugas mendidik PPDS? Padahal Tamat sekarang urusan PPDS itu adalah urusan Kemendikbud. Kemendikbud lah yang paling berwenang menelisik issu PPDS, termasuk isu kejiwaan ini.

Baca juga : Ini Tanda-Tanda Ibu Hamil yang Mengalami Gangguan Kesehatan Mental

Kalau mau obyektif, mestinya Kemenkes terlebih dahulu melakukan skirining kejiwaan staf Kemenkes yang jumlahnya ribuan. Pasalnya, beberapa waktu Lampau sebuah laporan jurnal menyebut bahwa Nyaris 80% pegawai Kemenkes mengalami stres. Kalau mau buat perubahan, lebih Bagus kondisi ini yang di-follow up. Apakah Akurat data ini. Kurang pas rasanya melakukan skrining eksternal pada PPDS sementara staf Kemenkes sendiri mengalami isu serupa? Kata kasarenya, Tak elok menelisik dapur orang sementara dapur sendiri Tak ditengok.  

Cek Artikel:  Menguatkan Patriotisme dan Kepedulian Anak Muda terhadap Bangsa

Kedua, Kemenkes adalah lembaga strategik bidang kesehatan. Mestinya hasil survei seperti ini dikaji dulu nilai keilmiahannya sebelum diumumkan ke masyarakat. Apakah memang kuesioner PHQ-9 yang digunakan sudah valid Kepada populasi peserta PPDS? Apakah kuesioner yang digunakan sudah divalidasi Kepada orang Indonesia dan reliabel digunakan? Lantas bagaimana dengan metode samplingnya, pengisian kuesionernya dilakukan berapa Pelan dan dalam kondisi apa, bagaimana analisis statistiknya, apa kelemahan penelitian dan sebagainya. Hasil skrining ini mesti direview dalam ranah ilmiah dulu sebelum disebarkan ke masyarakat. Bila perlu hasil ini dilaporkan dulu dalam jurnal biar Eksis pertanggungjawaban ilmiahnya. Langkah Menkes menyebar info secara langsung ke media menunjukkan Menkes kurang paham propper channel of communication. Tak Pandai memilah info yang Tetap sifatnya provisional.

Ketiga, skrining yang dilakukan Menkes ini Tak adekuat. Banyak indikasinya.

Baca juga : Pendidikan Dokter Spesialis Wajar Alami Fase Stres

Satu, melakukan skrining psikologis pada populasi yang sementara menjalani training atau pendidikan merupakan kerja irelevan. Karena by the nature, training memang Membangun stres dan depresi. Dimana-mana pada peserta pendidikan ketat mesti Eksis rasa tertekan, cemas dan depresi. Namanya juga training. Coba tanyakan peserta training di Akademi Militer, training menjadi pilot atau training menjadi penyelam. Apakah mereka Tak stress dan depress? Ya pastilah mereka mengalami stress dan depress. Ketika orang mengalami lack of authority maka Corak stress dan depress Niscaya Eksis.

Cek Artikel:  Pemilu TikTok

Malah aneh bila Eksis training ketat dan pesertanya senyum-senyum saja. Hasil meta analisis tentang stress dan depresi pada pendidikan kedokteran sudah dipublikasi oleh banyak jurnal. Rata-rata mahasiswa yang mengalami gangguan berkisar 30-40%. Bahkan di Tiongkok Eksis yang Tamat 75%.

Dua, apakah kuesioner PHQ-9 relevan digunkan Kepada PPDS? Kuesioner singkat ini dibuat di Amerika tahun 2001. Sudah lebih 23 tahun. Awalnya, kuesioner ini hanya digunakan oleh dokter di klinik Kepada mendeteksi pasien yang kemungkinan mengalami depresi. Eksis 9 pertanyaan dalan kuesioner ini. Kalau dibaca, sebagian pertanyaan ini kualitasnya dan jawabannya Pandai samar-samar. Pandai menimbulkan interpretasi berbeda-beda, apalagi kalau dilakukan serampangan.

Baca juga : Caleg Stres yang Gagal di Pemilu 2024 di Depok Lanjut Bertambah

Di antara pertanyaannya samar-samar misalnya, Apakah Anda merasa susah tidur atau tidur berlebihan? Apakah merasa letih atau kekurangan tenaga? Apakah kurang nafsu makan atau kelebihan makan? Apakah berbicara agar Pelan?

Cek Artikel:  Manajemen Haji dan Penguatan Kelembagaan

Ini kan pertanyaan vague. Kalau pertanyaan ini diajukan kepada mahasiswa yang menjalani PPDS tentu saja Segala akan menjawab ‘iya’. Ujung-ujungnya, nanti Segala peserta PPDS dianggap stres dan depresi.

Tiga, peran kuesioner PHQ-9 hanyalah sebagai skrininig atau penapis. Bukan Penaksiran. Hasil skrining adalah provisonal condition. Skrining hanya mengidentifikasi potensi dan bukan menegakkan Penaksiran. Kalaupun seseorang terdeteksi positif pada sebuah skrining, harusnya dilanjutkan dengan berbagai pemeriksaan lain Kepada penegakan Penaksiran. Apabila hasilnya hanya merupakan skrining dan bukan final Penaksiran, apakah Akurat seorang Menteri lantas mengumumkan secara luas kepada masyarakat? 

Intinya, daripada mengutak-atik hal Tak Terang, Menkes lebih Bagus Konsentrasi menangani masalah kesehatan masyarakat Indonesia yang Tetap sangat tertinggal. Kasus demam berdarah periode ini jumlahnya 3 kali lipat dibanding periode tahun Lampau. Nomor kejadian dan Mortalitas tuberkulosis Tetap sangat tinggi, Nomor Mortalitas Bayi dan Nomor Mortalitas Ibu kita Lanjut tinggi tanpa penurunan signifikan. Atau program stunting yang prevalensinya hanya turun 0,1% tahun ini padahal Anggaran yang digelontorkan sudah triliunan rupiah. Ini tugas Penting Kemenkes. Bukan utak-atik hal yang bukan domainnya. (Z-6)

Mungkin Anda Menyukai