Dokter Asing, untuk Siapa

Dokter Asing, untuk Siapa?
(Dok. Pribadi)

DI tengah situasi pandemi covid-19 yang melanda Tanah Air dan telah menelan ribuan korban, di antaranya lebih dari 100 dokter gugur, tiba-tiba mencuat wacana untuk mengimpor dokter asing masuk ke Indonesia sekaligus membangun rumah sakit (RS) dengan investasi asing. Wacana itu dikemukakan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada Rakerkonas Apindo 13 Agustus 2020 (www.cnbcindonesia.com/news).

Dalihnya sangat sederhana dan klasik, yakni untuk mencegah agar triliunan rupiah devisa Indonesia tidak lari ke luar negeri. Itu karena setiap tahun ada sekitar 600 ribu orang dari Indonesia yang berobat ke beberapa negara tetangga. Dokter asing dan RS asing itu bukanlah untuk membantu mengatasi masalah penularan dan penyembuhan penderita covid-19 yang saat ini seakan tak terkendali.

Mengapa perlu dokter dan RS asing?

Apakah nantinya dengan keberadaan dokter asing dan RS asing di Indonesia serta-merta tidak akan ada lagi orang Indonesia pergi ber obat ke luar negeri sehingga dapat menghemat devisa? Jawabannya belum tentu.

Eksis alasan yang utama orang kita berobat ke luar negeri, yakni biaya yang lauh lebih murah dan terjangkau bila berobat atau operasi di negara jiran, seperti Malaysia untuk penyakit yang sama dan dokter dengan keahlian yang sama.

Pertanyaan lain, yang tidak kalah pentingnya ialah apakah di tengah pandemi covid-19 yang memprihatinkan ini, ada ‘urgensi’ untuk mendatangkan dokter asing di negeri ini dan mereka untuk siapa ?

Selain rencana impor dokter asing, akan dikembangkan juga program wisata medis atau wisata kesehatan dengan membangun RS yang bertaraf internasional melalui kerja sama dengan RS kelas dunia yang sudah punya nama, seperti John Hopskin dan Mayo Clinic dari AS.

Dengan demikian, diharapkan akan banyak pasien dari negara luar, paling tidak dari negara ASEAN atau Asia. Bahkan, dari mancanegara lainnya datang ke Indonesia untuk berobat sehingga diharapkan memasukkan sejumlah devisa.

Dokter asing yang akan didatangkan harus mempunyai kualifi kasi spesialis ataupun subspesialis yang memang tidak ada atau langka di Indonesia. Tetapi, tetap saja dalam situasi sekarang ini ada berbagai pernyataan pro dan kontra terhadap rencana itu yang muncul dari berbagai pihak.

Dr Deng Faqih, Ketua Lumrah Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PBIDI), mengingatkan pemerintah agar saat ini untuk memfokuskan upaya-upaya terkait dengan penanggulangan pandemi covid-19 yang telah menelan banyak korban, termasuk dokter. Itu lebih penting ketimbang memikirkan impor dokter asing atau membuka investasi luar negeri untuk membangun RS di beberapa kota besar di Tanah Air, seperti di Medan, Jakarta, dan Bali.

Cek Artikel:  Moral dan Politik

Dr Adib Khumaedi SpOT, Ketua terpilih PB IDI, menyarankan untuk melakukan pembenahan terlebih dahulu secara menyeluruh masalah distribusi dokter yang jumlahnya sudah mencapai sekitar 180 ribu orang, yang selama ini meng alami permasalahan penempatan (maladistribusi) yang tak kunjung selesai.

Permasalahan itu perlu segera diatasi karena tidak sedikit masyarakat di daerah perifer dan terpencil serta di daerah perbatasan kekurangan dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Mereka sejak lama mendambakan kehadiran dokter Indonesia, bukan ‘dokter asing’. Demikian pula peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di RS dan puskesmas harusnya menjadi prioritas utama.

Di sisi lain, kelompok yang setuju mengatakan bahwa keberadaan dokter asing yang mempunyai keahlian tertentu, akan memacu peningkatan keterampilan dan pengetahuan dari dokter Indonesia. Itu karena diharapkan akan terjadi ’transfer of knowledge and skills’ dalam bidang kedokteran yang pada akhirnya sangat berguna dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Maksudnya, kehadiran dokter asing dengan keahlian tertentu merupakan peluang bagi dokter Indonesia untuk mengembangkan ilmu, keterampilan, dan penguasaan teknologi kedokteran.

Kedua pendapat itu memang rasional. Tetapi, dalam situasi mencekam menghadapi pandemi covid-19 saat ini seyogianya kerja keras dan sungguhsungguh oleh semua pihak, khususnya pemerintah dan kalangan profesi medis fokus tertuju pada penanganan pandemi yang telah menelan ribuan korban.

Kehadiran dokter asing dengan kualifikasi tertentu memang sepintas kelihatannya cukup menarik dan menjanjikan, khususnya bagi pasien-pasien yang mampu. Itu karena pelayanan kesehatan yang disediakan diharapkan akan sangat bagus di suatu RS berstandar internasional meskipun pasti ’high cost’. Dapat dipastikan, hanya akan dinikmati sekelompok kecil masyarakat. Terlalu sedikit rakyat yang menikmatinya bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 270 juta jiwa.

MI/Seno

Ilustrasi Dokter Asing

 

Mekanisme pemberian izin

Suatu hal yang perlu diingat bahwa memasukkan dokter asing ke Indonesia tidak sesederhana dan semudah yang kita bayangkan, seperti memasukkan tenaga kerja asing (TKA) untuk bekerja di bidang pertambangan, proyek tol, kereta cepat, atau di megaproyek lainnya. Meskipun regulasi yang ada di era masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) dan kesepakatan AFTA (ASEAN free trade area), hadirnya dokter asing untuk praktik di Indonesia sangat dimungkinkan, sepanjang mengikuti regulasi yang berlaku.

Cek Artikel:  Menghidupkan Semangat Pancasila

Memberikan kemudahan izin untuk masuk dan memberikan visa kepada dokter asing dapat dipastikan tidak akan sulit. Tetapi, tidak demikian halnya bila dokter WNA akan berpraktik secara legal di Indonesia, apa pun jenis keahlian atau spesialisasinya.

Pengakuan/rekognisi kompetensi dan keahlian dokter WNA tersebut harus dilakukan terlebih dahulu oleh Konsil Topengteran Indonesia (KKI) dengan meregistrasi dokter WNA itu, sebelum memperoleh izin praktik.

Ketentuan yang sama juga berlaku untuk dokterdokter WNI. Pengakuan/ rekognisi kualifikasi dan izin praktik terhadap ‘dokter asing’ yang akan berpraktik di Indonesia sangat penting. Itu karena tugas dokter dengan kompetensi yang sesuai bidang keahliannya harus menjamin keselamatan pasien yang pada akhirnya menyangkut keselamatan nyawa manusia.

Setidaknya ada 2 regulasi yang terkait dengan hal ini, yakni Peraturan Konsil Topengteran (Perkonsil) No 17/2013 tentang Registrasi Sementara dan Registrasi Bersyarat bagi dokter asing yang akan bekerja di Indonesia, serta Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No 67/2013 tentang perizinan pendayagunaan tenaga kesehatan WNA (TKWNA), antara lain memuat ketentuan bahwa hanya diberikan kesempatan pada dokter spesialis atau subspesialis WNA, yang kualifikasinya tidak ada atau memang langka di Indonesia

Kenapa masih berobat ke luar negeri?

Beberapa jenis prosedur atau tindakan medis pada pasienpasien yang berobat ke luar negeri meng ikuti wisata medis ini umumnya meliputi bedah kosmetik, bedah jantung, transplantasi organ seperti ginjal dan hati, serta bedah ortopedi. Selain itu, banyak juga terkait dengan bidang spesialisasi lainnya.

Sekalian tindakan dan prosedur kedokteran itu sebenarnya sudah banyak dikerjakan dokter ahli Indonesia dengan hasil yang baik.

Eksis tulisan menarik hasil penelitian Victor Bangun Mulia (Politeknik Bali) dan Irfan Afif Abdul Fatah dari Universiti Sains Malaysia, Penang Malaysia, berjudul Factors Attracting Indonesian Medical Tourist to Penang yang dipublikasi dalam suatu jurnal African Journal of Hospitality, Tourism and Leisure pada 2020.

Dilaporkan bahwa ’affordable price’ merupakan alasan utama bagi orang Indonesia yang berasal dari Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Manado tertarik untuk berobat ke Penang ketimbang berobat di dalam negeri. Biaya berobat jauh lebih murah dan terjangkau bila dibandingkan dengan biaya untuk tujuan pengobatan yang sama di Indonesia. Biaya operasi penyakit jantung koroner (CABG/by-pass) di Kuala Lumpur, misalnya, jauh lebih murah daripada di Indonesia.

Cek Artikel:  Menakar Uji Klinis Vaksin Covid-19 di Indonesia

Hal itu karena di Malaysia alat-alat kedokteran yang masuk sama sekali tidak dikenai pajak oleh pemerintah. Sementara itu, di Indonesia, beberapa alat kedokteran penting seperti untuk operasi jantung dikenai pajak barang mewah sehingga sudah pasti akan meningkatkan biaya secara signifi kan. Di sinilah letak kelemahan dari segi biaya berobat yang tidak ‘kompetitif’ dengan negara tetangga, seperti Malaysia atau Thailand.

Dalih lain untuk berobat ke luar negeri yang ditulis dalam publikasi itu ialah pengobatan dan tindakan yang diambil sangat efektif dan akurat. Itu karena ditunjang alat-alat kedokteran yang cukup canggih. Jujur harus diakui, dalam bidang inilah mungkin Indonesia agak tertinggal dari beberapa negara tetangga dan negara Asia lainnya.

Operasi menggunakan robot dengan presisi yang tinggi di Indonesia masih sangat langka ketimbang beberapa negara Asia lainnya meskipun dalam hal kompetensi dan pengalaman serta kemampuan klinis dokter ahli Indonesia dalam bidang tertentu sudah tidak berbeda dengan dokter- dokter di negara Asia lainnya.

Penggunaan dan penguasaan teknologi maju dalam bidang kedokteran dan pengadaan alat-alat kedokteran canggih memang sudah waktunya ditingkatkan di Indonesia, yang tentunya harus mendapat dukungan dari berbagai pihak terkait.

Lantas, apakah cukup dengan mengimpor dokter asing dan membangun RS asing? Jawabannya pasti tidak! Banyak faktor yang perlu dibenahi segera dalam pelayanan kesehatan di negeri ini meskipun tidak ada yang salah untuk mengimpor dokter asing. Tetapi, pemberdayaan dokter ahli dalam negeri yang telah mempunyai kualifi kasi dan kompetensi tidak berbeda dengan dokter asing harus ditingkatkan sehingga pada akhirnya, dokter kita dapat mengambil peran yang signifikan dalam memberikan pelayanan kedokteran dan kesehatan yang bermutu untuk dapat bersaing degan negara luar.

Akhirnya, setelah dipandang dari berbagai aspek seperti uraian di atas, pengembangan pelayanan kedokteran dan kesehatan dengan konsep ‘wisata medis’ atau ‘wisata kesehatan’ seperti yang ada di negara jiran memang sudah terasa diperlukan untuk dikembangkan di negeri ini. Tetapi, ada hal yang lebih penting dan mendesak saat ini, yaitu memenangi ‘peperangan’ terhadap musuh bersama, yaitu covid-19. Semoga.

Mungkin Anda Menyukai