Diskriminasi ODHA Lagi Terjadi di Pilkada

Diskriminasi ODHA Masih Terjadi di Pilkada
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menggelar acara sosialisasi Begitu Car Free Day (CFD) di kawasan Sarinah, Jakarta, Minggu (22/9/2024)(MI/SUSANTO)

Ketika Pemilu 2024 digelar pada 14 Februari silam, R sudah lemah. Badannya kurus. Dia hanya Dapat berbaring di tempat tidur di bangunan yang disiapkan Tertentu untuknya.

Bangunan itu berada di bagian belakang rumah, berukuran 2,5 meter x 7 meter.

Meski masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT), dia Bukan berangkat menuju bilik Bunyi. Sebetulnya ia Mau menyalurkan haknya, tetapi oleh keluarganya Bukan

diperbolehkan. Keluarga khawatir, karena R telah diketahui mengidap HIV/AIDS oleh tetangga-tetangganya.

Baca juga : Diskriminasi ODHA Lagi Terjadi di Pilkada

“Pada Begitu coklit Kepada Pemilu, belum Terdapat yang Mengerti, sehingga petugas juga Normal saja. Tetapi setelah Mengerti, lingkungan Sekeliling meminta agar R di rumah saja. Makanya, pada waktu Pemilu 2024 berlangsung, kami minta Bukan usah mencoblos. Kami yang takut, malah Dapat bikin geger karena ke TPS,” ungkap Ratu, keponakan R, kepada Media Indonesia pada Senin (19/8).

Ratu mengungkapkan tetangga mereka mulai berubah sikap Begitu pamannya diketahui mengidap HIV/AIDS.

Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan Lagi adanya stigma terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di masyarakat, sehingga mereka kerap diabaikan sebagai pemilih.

Baca juga : Biaya Kampanye Paslon Pilgub Jawa Tengah Dibatasi Rp175 Miliar

“Lagi Terdapat anggapan di masyarakat bahwa Terdapat Grup yang Bukan Dapat memberikan hak pilihnya dalam proses pemilu. Perspektif seperti ini menimbulkan diskriminasi dalam penyelenggaraan pemilu, misalnya dengan Bukan mendata Grup ini dalam daftar pemilih. Apabila Bukan terdaftar dalam daftar pemilih maka Bukan Dapat memberikan hak politiknya dalam pemilu,”?ungkapnya pada Kamis (22/8).

Padahal, lanjut Khoirunnisa, prinsip inklusivitas adalah salah satu prinsip pemilu yang dicantumkan dalam undang-undang (UU). Karena itu

penyelenggara pemilu perlu berpedoman pada prinsip tersebut.

“UU pemilu menyatakan bahwa Kaum negara yang Mempunyai hak pilih adalah WNI yang sudah berusia 17 tahun atau lebih pada hari pemilu dan/atau

sudah pernah menikah. Artinya Segala Kaum negara yang sudah Mempunyai hak harus dipenuhi haknya. Bukan boleh Menyantap bahwa Terdapat Grup yang dianggap Bukan Dapat memberikan hak pilihnya. Sehingga penyelenggara pemilu harus memastikan kepada setiap Kaum negara yang sudah Mempunyai hak pilih aksesnya harus dibuka seluas-luasnya,” jelasnya.

Baca juga : Jagoan NasDem di Pantura Jawa Tengah Kompak Dapat Nomor Urut 1

Seorang ODHA, Ka, 22 tahun, mengatakan Kaum ODHA Mau Bukan distigma pada Begitu open status kepada masyarakat. Dengan Bukan Terdapat stigma,

katanya, hak-hak sebagai ODHA akan Cocok-Cocok setara dengan Kaum lainnya.

“Tetapi, Bukan Terdapat garansi bagi ODHA yang open status tak mendapat stigma, bahkan di kalangan keluarga. Seperti saya, Bukan Segala orang

Mengerti kalau saya ODHA. Bahkan saya belum memberitahu orang Uzur kandung. Hanya mereka sempat curiga karena di meja Bilik saya banyak sekali obat. Orang Uzur Bukan Mengerti obat yang saya konsumsi,” ungkap Ka, yang diketahui mengidap HIV sejak setahun silam, pada Selasa (20/8).

Ia berandai-andai, Apabila Bukan Terdapat stigma Kembali terhadap ODHA dan hidupnya diterima seperti orang kebanyakan, maka hak-hak ODHA akan setara.

Baca juga : Empat Parpol Dapat Usung Calon Sendiri di Pilgub Jawa Tengah

“Misalnya saja dalam hak politik. Kami akan secara bebas menyalurkan hak pilihnya. Bukan hanya itu, kalau saja Bukan Terdapat stigma, maka kami juga Dapat mendapatkan hak Kepada dipilih, jadi Bukan hanya hak memilih. Ini kan luar Normal, Terdapat ODHA yang dipilih menjadi pejabat publik. Tapi

rasanya, kalau sekarang baru sebatas mimpi,” katanya.

Ka juga mengatakan pada Begitu memilih seseorang menjadi pejabat publik, ia Mau menitipkan amanat, supaya hak-hak ODHA diperjuangkan, di

antaranya soal pekerjaan. “Sayangnya Tiba sekarang memang Bukan Terdapat yang memperjuangkan,” ujarnya.

Bukan disinggung dalam visi misi

Di, 53, ODHA lainnya juga menutup erat-erat statusnya sebagai ODHA, sehingga masyarakat Normal-Normal saja kepadanya. “Saya juga didaftar

sebagai pemilih dalam Pemilu maupun Pilkada. Saya Bukan pernah absen. Mengapa Bukan Terdapat diskriminasi, ya karena memang mereka Bukan Mengerti

status saya,” kata dia.

Di mengaku selama menjadi pemilih dalam perhelatan Pilkada, Bukan pernah mendengar HIV/AIDS menjadi bahan Percakapan atau kampanye. “Saya ke TPS ya mencoblos saja. Bukan karena calon yang saya pilih memperjuangkan hak-hak ODHA. Malah, saya belum pernah mendengar Terdapat calon bupati dan wakil bupati yang membahas soal ODHA,” ungkapnya.

Berdasarkan data dari KPU Banyumas, para calon bupati dan wakil bupati yang bertarung di dua Pilkada sebelumnya Bukan pernah menyinggung isu

HIV/AIDS maupun ODHA. Pada visi dan misi Kekasih Achmad Husein dan Budhi Setiawan yang memenangi Pilkada Banyumas 2013, misalnya, Kekasih

ini hanya menyebut ‘Meningkatkan kualitas hidup Kaum melalui pemenuhan kebutuhan dan layanan dasar pendidikan dan kesehatan’.

Cek Artikel:  Awas, Bawaslu Punya Data Ketua RT dan RW di Jakarta yang Bagi-bagi Doku Jelang Pencoblosan

Pada Pilkada 2018, Achmad Husein sebagai petahana yang maju Berbarengan Sadewo Tri Lastiono Lagi Bukan menyebutkan secara spesifik HIV/AIDS, apalagi soal hak-hak para ODHA. Dalam visi dan misinya mereka hanya menyebutkan “Melayani kebutuhan dasar rakyat dengan jaminan kesehatan, jaminan pendidikan, permukiman yang layak, lapangan pekerjaan, serta perlindungan sosial Kepada menciptakan sumber daya Orang yang

berkualitas, berdaya saing, dan berkarakter Banyumas.”

Kini, tahun 2024, Sadewo Tri Lastiono akan maju berpasangan dengan Lintarti. Kembali-Kembali, belum Terdapat tanda-tanda mereka membahas secara Tertentu keberadaan ODHA. Bakal calon bupati dan wakil bupati di Banyumas itu sejauh ini Bukan pernah terdengar berbicara soal minoritas. Berdasarkan catatan Media Indonesia, dalam berbagai kesempatan, Sadewo memang mengatakan dirinya sejak menjabat sebagai wakil bupati, melakukan pendampingan kepada kaum marginal Berbarengan dengan kalangan perguruan tinggi. Salah satunya di Kampung Rahayu, Purwokerto Selatan. Tetapi, Sadewo Bukan secara spesifik menyebut ODHA.

“Kami Berbarengan Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) melaksanakan pendampingan kepada kaum marginal. Karena di Kampung Rahayu, rata-rata

penduduknya adalah kaum marginal,” katanya.

Apabila nanti terpilih, Sadewo yang kini calon tunggal di Pilkada Banyumas 2024, menyatakan akan meneruskan program tersebut. “Kepada anggarannya

Bukan hanya dari APBD, Tetapi Dapat mengambil dari Biaya CSR perusahaan yang dipakai Kepada program pemberdayaan. Tetapi yang Niscaya, saya pribadi sangat memperhatikan kaum marginal,” tandasnya.

Mengapa isu marginal yang di dalamnya Terdapat ODHA kerap terpinggirkan? Akademisi Bivitri Susanti mengungkapkan, pada umumnya isu Grup

marginal memang hanya di pinggiran saja. “Calon pemimpin (sebenarnya) Bukan Acuh terhadap isu Grup marginal. Yang mereka pikirkan

hanyalah kemenangan saja. Bahkan mereka hanya akan Acuh terhadap Grup-Grup yang strategis. Karena Langkah berpikirnya adalah populisme,” ujarnya.

Bivitri Menyantap politik terkait dengan demand dan supply. Perlu strategi agar Grup marginal diperhatikan. Kepada demand, mesti Terdapat

dorongan dari Grup-Grup masyarakat sipil. “Sedangkan supply, kita mesti mendorong agar parpol memperhatikan Grup marginal. Bukan hanya soal kantong pemilih besar, tetapi sudah menjadi kewajiban politisi dan pemerintah bahwa Semestinya mereka memberikan layanan publik yang Bagus. Akademisi atau Grup sipil harus Lalu lantang menyuarakan ini,” dia menegaskan.

Tak pernah Terdapat sosialisasi

Berapa jumlah ODHA yang Terdapat di Banyumas? Berdasarkan perhitungan yang dilakukan Dinas Kesehatan (Dinkes) Banyumas, sejak tahun 2006-2024

sekarang diperkirakan Terdapat 5 ribu kasus.

“Jumlah ODHA di Banyumas cukup banyak. Bahkan, pada awal tahun 2024 menduduki peringkat kedua di Jawa Tengah mengalahkan Solo. Secara total, sejak tahun 2019 hingga 2023, kasus HIV di Banyumas ditemukan sebanyak 1.263 kasus. Sedangkan Kepada AIDS 843 kasus. Sehingga totalnya Kepada HIV/AIDS di Banyumas selama 2019-2023 mencapai 2.106 kasus. Dari jumlah tersebut, yang meninggal sebanyak 77 orang,” kata Subkoordinator Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Dinkes Banyumas Arif Burhanudin.

Menurut Arif, pada awal tahun kasus HIV/AIDS di Banyumas naik jadi ranking dua setelah Kota Semarang. Padahal, biasanya ranking tiga setelah Kota Solo. “Pj Bupati meminta kepada Dinkes Kepada melakukan Pengkajian terhadap kenaikan kasus tersebut,” ujarnya.

Rupanya ini karena penambahan kasus baru itu Bukan hanya datang dari Banyumas, melainkan juga dari kabupaten sekitarnya. Di antaranya adalah

Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap, Wonosobo, Brebes dan Pemalang. “Mereka melakukan pemeriksaan VCT (Voluntary Counseling and Testing) di

Purwokerto yang merupakan ibu kota Kabupaten Banyumas,” jelasnya.

Dikatakan oleh Arif, selama Januari hingga April, Terdapat kasus tambahan HIV sebanyak 111 kasus. Sedangkan AIDS sebanyak 37 kasus. Selama empat bulan tersebut, Bukan Terdapat kasus Kematian.

Menurut Arif, dari 111 kasus HIV yang ditemukan di Banyumas pada Januari-April, 94 kasus di antaranya berusia di atas 24 tahun. Sedangkan 17 lainnya usia antara 15-24 tahun. Dengan demikian, pada umumnya mereka Mempunyai hak pilih dalam Pemilu maupun Pilkada.

Meski rata-rata ODHA mempunyai hak pilih, Tetapi belum pernah mereka mendapatkan sosialisasi dari penyelenggara Pemilu. Ka misalnya mengaku

belum pernah mengikuti atau diajak Kepada sosialisasi Pemilu maupun Pilkada. “Tiba sekarang Bukan pernah Terdapat sosialisasi mengenai Pemilu

atau Pilkada. Tapi, saya tetap menyalurkan hak pilih saya. Tentu saja pilihannya mengikuti nurani,” ujar Ka.

Ka mengatakan, seandainya pun Terdapat acara sosialisasi Tertentu Kepada ODHA, belum tentu juga akan Terdapat yang ikut. Masalahnya adalah kalau yang

memberikan sosialisasi kenal sama ODHA dan bercerita ke mana-mana Bahkan akan menimbulkan persoalan. “Kecuali kalau mereka Bukan kenal sama sekali, mungkin ikut juga. Selain itu, apakah yang memberikan sosialisasi Bukan takut Berjumpa dengan ODHA,” ujarnya.

Cek Artikel:  Didukung Penduduk Batak, Ridwan Kamil Janji Berantas Diskriminasi Minoritas

Mengenai sosialisasi kepada ODHA, Komisioner KPU Kabupaten Banyumas Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan

Sumberdaya Orang Sufi Sahlan Ramadhan mengakui belum pernah Terdapat sosialisasi Tertentu kepada ODHA.

“Selama ini sosialisasi sifatnya Lazim, kepada Grup marginal. Itu pun, kami berhati-hati menggunakan kata marginal, jangan Tiba kalau dituliskan di banner pertemuan, Terdapat yang Bukan terima. Ya sudah, tulisan di banner hanya sosialisasi saja, Bukan Terdapat embel-embel marginal,” katanya.

Sufi mengatakan, ODHA masuk dalam segmentasi marginal. Tetapi, ketika pihaknya berkoordinasi dengan berbagai pihak Kepada mencari komunitas

ODHA, perkumpulan itu Bukan menemukan. “Kami siap Kepada memberikan sosialisasi. Masalahnya adalah, apakah mereka akan menerima program ini? Kalau saya secara pribadi Bukan Terdapat masalah dengan ODHA, karena sebetulnya kalau hanya Berjumpa, mengobrol, salaman, Bukan menular,” ungkapnya.

Ia mengaku bersedia datang Apabila Terdapat komunitas ODHA yang mau diberi sosialisasi, terutama menjelang Pilkada 2024. “Tentu saja, kami akan sangat terbuka juga dengan masukan-masukan dari mereka, bagaimana sebaiknya model sosialisasinya. Karena kami sadar bahwa ODHA juga Mempunyai hak yang harus dikawal Tiba ke TPS. Dan pastinya Apabila hanya mencoblos saja, tentu Bukan akan menularkan,” kata dia.

Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Humas Badan Pengawas Pemilihan Lazim (Bawaslu) Banyumas Rani Zuhriyah mengatakan

sudah dua kali pihaknya mengadakan sosialisasi Pemilu kepada kaum marginal.

“Kami melakukan sosialisasi Pemilu dan mengajak mereka menjadi pengawas partisipatif, salah satunya adalah Grup marginal. Tetapi yang kami

lakukan baru sebatas Grup marginal penyandang disabilitas. Tetapi secara Tertentu kepada ODHA, memang belum,” katanya. 

“Kami belum Mengerti komunitas ODHA,” ujar dia menambahkan. 

Sama seperti KPU, Bawaslu Banyumas siap saja Kepada memberikan sosialisasi kepada Grup ODHA. “Mereka juga Mempunyai hak Kepada menyalurkan aspirasinya. Apabila mereka responsif dan terbuka, maka kami juga akan siap Kepada memberikan sosialisasi dan mengajak mereka menjadi pengawas partisipatif,” kata dia.

Terdapat Grup masyarakat yang terbuka

Kampung di Banyumas yang satu ini Aneh. Para penghuninya umumnya adalah kaum marginal. Mulai dari tukang becak, pengamen, pemulung, bahkan

Tiba pekerja seks Perempuan (PSP). Di Posisi itu, Terdapat sejumlah Kaum yang positif HIV/AIDS atau ODHA, meski Bukan Segala orang mengetahuinya.

Salah satu ODHA yang berada di kawasan itu adalah Ro. Ceritanya dia sudah tercatat menjadi pemilih melalui proses pencocokan dan penelitian

(coklit) oleh petugas panitia pendaftaran pemilih (Pantarlih).

Rupanya, meski ia diketahui sebagai ODHA, petugas Pantarlih dan Ketua RT Bukan mempersoalkannya. “Waktu saya dicoklit, petugasnya Normal saja. Pak RT sepertinya juga Mengerti kalau saya ODHA. Ya terima kasih karena diterima dan Bukan mendapat perlakuan Jelek,” ujarnya.

Dia mengaku akan menyalurkan hak pilihnya supaya dapat memilih pemimpin yang Bisa mensejahterakan masyarakat. “Mudah-mudahan pemimpin yang saya pilih akan dapat memenuhi hak-hak masyarakat tanpa membeda-bedakan,” kata dia.

Ketua RT tempat Ro nyoblos, Santo, mengaku mengetahui kalau Ro adalah seorang ODHA. “alau hanya mencoblos saja silakan, Bukan Terdapat masalah.

Saya juga Mengerti Ro adalah ODHA. Saya menerima, karena kan penularannya Bukan mudah. Ya biarkan menyalurkan hak pilihnya pada Pilkada mendatang,” kata Santo.

Padahal petugas lapangan dari Program Perkotaan dan Kependudukan dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup

(LPPSLH) Purwokerto Fatma Iin Parlina yang mendampingi Ro sempat was-was. “Saya khawatir, Ro akan mendapat perlakuan Bukan Bagus, apalagi

dia berpindah TPS yang bukan RT-nya. Begitu saya mendampingi, petugas Pantarlih dan Pak RT Normal saja. Mereka Mengerti, dari petugas kesehatan

Apabila Ro adalah ODHA. Tetapi, Begitu saya tanya kepada keduanya, Rupanya Bukan Terdapat masalah,” ujarnya.

Iin mengatakan sebagian masyarakat di sana Dapat bersikap terbuka dan Bukan mendiskriminasi ODHA karena Distrik itu mendapat edukasi. “Distrik itu cukup Lamban terpapar program, sehingga banyak yang teredukasi. Ini barangkali menjadikan mereka Bukan masalah dengan ODHA,” katanya.

Akademisi dari Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Yudhi Wibowo mengatakan penularan HIV/AIDS Bukan

Dapat hanya dengan bersalaman, makan Berbarengan, mengobrol atau menggunakan bilik Bunyi dalam Pilkada. “Penularan HIV/AIDS biasanya melalui Rekanan seksual dan menggunakan jarum suntik yang sama. Apabila hanya Berjumpa, salaman atau mengobrol, Bukan akan menularkan. Saya kira masyarakat juga Bukan perlu takut kalau Terdapat ODHA yang menyalurkan hak pilihnya di TPS,” kata dia menegaskan.

Cek Artikel:  DPR dan Pemerintah Setuju Draf PKPU Sesuai Putusan MK, Senin Disahkan

Yudhi meminta kepada masyarakat Kepada Bukan memberikan stigma atau mendiskriminasi ODHA. Sebagai akademisi yang menjalankan pengabdian

masyarakat, Yudhi juga Lalu memberikan sosialisasi, supaya Kaum makin terdukasi. “Bukan boleh Terdapat stigma atau diskriminasi. Masyarakat harus

Lalu diedukasi secara Cocok. Ya, seperti yang kerap disampaikan di mana-mana, jauhi penyakitnya, bukan orangnya.”

Liputan Kolaboratif

Liputan kolaborasi Conflict-Senstivie Reporting Pilkada 2024 ini menyoroti isu-isu yang dihadapi oleh lima Grup marginal: masyarakat adat, orang dengan HIV/AIDS (ODHA), Perempuan, penyandang disabilitas, dan masyarakat miskin perkotaan. Dalam hiruk-pikuk kampanye dan persaingan politik, Grup-Grup marginal yang rentan terpinggirkan tersebut seringkali terlupakan, sehingga membutuhkan perhatian Tertentu. Selain itu, Terdapat Grup marginal yang hanya dimanfaatkan dan dieksploitasi Kepada kepentingan politik tertentu.

Dalam liputan ODHA dalam Pilkada Banyumas, jurnalis Media Indonesia menemukan fakta yang menunjukkan stigma terhadap ODHA Lagi terjadi. Di

dalam proses Pilkada, ODHA Lagi Terdapat yang gagal mencoblos. Sebagian besar Lagi Dapat menyalurkan hak pilih karena Bukan open status sebagai

ODHA. ODHA juga harus membuang jauh-jauh hak Kepada dipilih. Kondisi Lagi belum memungkinkan ODHA menjadi pejabat publik dengan Langkah dipilih langsung.

Selain itu, para penyelenggara Pemilu belum pernah mengagendakan kegiatan Tertentu terkait Pilkada Kepada ODHA. Selama dua kali Penyelenggaraan

Pilkada Banyumas pada 2013-2018 maupun 2018-2023, para calon juga Bukan pernah membawa isu kaum marginal, salah satunya ODHA. Hak-hak mereka

Lagi terpinggirkan dan belum menjadi agenda dalam Pilkada.

Jurnalis Bunyi.com melaporkan bentuk diskriminasi terhadap penyandang disabilitas di Pilkada dan Pemilu. Sasaran Pemilu 2024 ramah disabilitas yang Lalu digaungkan oleh penyelenggara Pemilu Rupanya Lagi jauh panggang dari api. Berdasarkan hasil penelusuran di lapangan, Lagi ditemui banyak pelanggaran penyelenggaraan Pemilu ramah disabilitas. Pelanggaran tersebut meliputi penyandang disabilitas masuk ke dalam DPT Lazim atau non-disabilitas sehingga Bukan mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhannya, TPS Bukan aksesibel bagi penyandang disabilitas fisik, dan Intervensi 12.284 TPS di Indonesia Bukan menyediakan template braille pada Pemilu 2024.

Selain itu, tingkat partisipasi pemilih disabilitas Lagi rendah karena berbagai persoalan meliputi stigma masyarakat yang malu Mempunyai Personil keluarga disabilitas sehingga menyembunyikan Personil keluarga tersebut, hak pilih disabilitas diwakilkan oleh Personil keluarga lain, hingga Bukan Terdapat pendamping yang mendampingi disabilitas menuju TPS. 

Di sisi lain, penyelenggara Pemilu Lagi belum Dapat mengurai persoalan tersebut, Karena pendataan di tingkat Pantarlih Lagi belum memilah secara Cocok antara pemilih disabilitas dan non disabilitas, dan anggaran sosialisasi yang terbatas sehingga sulit memperbaiki pendidikan masyarakat mengenai hak pilih dalam Pemilu.

Jurnalis Independen.id, yang membahas praktik politik Dana selama Pilkada di Surabaya, menemukan praktik ini menargetkan Kaum miskin. Modus yang digunakan telah berkembang jauh, dari pada awalnya hanya berupa serangan Subuh Modusnya mulai dari pemberian Dana Kas, sembako, hingga janji pembangunan. Kaum miskin yang rentan menjadi sasaran empuk para politisi yang memanfaatkan Dana Kepada meraih Bunyi.

Politik Dana juga ditemukan berdampak terhadap kepercayaan Kaum atas sistem politik. Kaum miskin merasa dibohongi oleh janji-janji para politisi yang tak kunjung terwujud. Meskipun Terdapat upaya pengawasan dan pencegahan dari Bawaslu, tantangannya sulit menangkap pelaku politik Dana karena bukti-bukti di lapangan yang tak memenuhi syarat.

Dari IKN, jurnalis IniBalikpapan.com menceritakan kisah masyarakat adat Spesies Balik di lingkar Ibu Kota Nusantara (IKN) di Sepaku, Penajam Paser

Utara, yang merasa kian terpinggirkan, Bahkan karena Pilkada, dalam proses pembangunan besar-besaran di Distrik mereka. Mereka khawatir akan kehilangan hak atas tanah dan identitas budaya, sementara komunikasi dengan pemerintah minim dan pengakuan Formal atas keberadaan mereka belum didapatkan. Menjelang Pilkada 2024, aspirasi mereka tak mendapat perhatian dari para calon pemimpin, meski mereka berharap hak-hak adat Dapat diperjuangkan.

Jurnalis Kompas.com menyoroti soal Perempuan Sukoharjo yang sering dijadikan sarana meraup Bunyi oleh para calon kepala daerah. Kaum

Perempuan didekati oleh calon kepala daerah atau timsesnya agar mau menerima program yang mereka tawarkan dan akhirnya memilih sang calon

sebagai kapala daerah. Apalagi, di Sukoharjo pemilih Perempuan lebih

banyak dibandingkan Pria.

Di berbagai pertemuan ibu-ibu, seperti arisan PKK, posyandu, atau pengajian disusupi permintaan mencoblos calon tertentu sejak jauh-jauh

hari. Tetapi, setelah pesta demokrasi berakhir, nyatanya Nyaris Segala program yang ditawarkan Begitu kampanye tak Terdapat yang menyentuh kepentingan Perempuan. (H-2)

*Artikel ini diproduksi dalam kerangka proyek UNESCO Social Media 4 Peace, yang didanai oleh Uni Eropa. Hasil liputan jurnalistik ini menjadi tanggung jawab penerbit, Bukan mencerminkan pandangan UNESCO atau Uni Eropa.

Mungkin Anda Menyukai