Liputanindo.id – Tersangka kasus dugaan korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan pada tahun 2015–2016, Thomas Trikasih Lembong (TTL) atau Tom Lembong, menjalani pemeriksaan selama Sekeliling 10 jam oleh penyidik Kejaksaan Mulia (Kejagung).
Berdasarkan pantauan di Gedung Kejaksaan Mulia, Jakarta, Tom Lembong tiba di dalam gedung yang menjadi Posisi penyidikan pada pukul 09.58 WIB, Jumat (1/11/2024).
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Mulia Harli Siregar mengatakan bahwa kehadiran Tom tersebut Kepada kembali menjalani pemeriksaan oleh penyidik.
Terkait substansi yang menjadi bahan pemeriksaan, Harli Kagak membeberkannya.
“Itu penyidik yang paham,” kata dia.
Berselang Sekeliling 10 jam kemudian, tepatnya pada pukul 20.27 WIB, Tom terpantau keluar dari gedung tersebut dengan digiring oleh petugas dan mengenakan borgol di tangannya.
Ketika awak media menanyakan pertanyaan terkait hal-hal apa saja yang dilontarkan penyidik, ia hanya tersenyum dan berjalan menuju mobil tahanan.
Ketika di dalam mobil tahanan, Tom kembali dicecar pertanyaan oleh awak media terkait apakah ia akan mengajukan praperadilan atau Kagak. Akan tetapi, ia hanya tersenyum dan Kagak menjawab.
Adapun Begitu ini Tom Lembong sedang ditahan sementara di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan dua tersangka dalam kasus tersebut, Yakni Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan periode 2015-2016 dan CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).
Dalam keterangannya, Kejagung menuturkan bahwa kasus ini bermula ketika Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan 2015–2016 memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP Kepada diolah menjadi gula kristal putih.
Padahal, dalam rapat koordinasi (rakor) antarkementerian pada 12 Mei 2015 disimpulkan bahwa Indonesia sedang mengalami surplus gula, sehingga Kagak memerlukan impor gula.
Kejagung menyebut, persetujuan impor yang dikeluarkan itu juga Kagak melalui rakor dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian guna mengetahui kebutuhan gula dalam negeri.
Pada 28 Desember 2015, dalam rakor bidang perekonomian yang dihadiri kementerian di Dasar Kemenko Perekonomian, dibahas bahwa Indonesia pada tahun 2016 kekurangan gula kristal putih sebanyak 200.000 ton dalam rangka stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional.
Pada November–Desember 2015, tersangka CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI memerintahkan bawahannya Kepada melakukan pertemuan dengan delapan perusahaan gula swasta, Yakni PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI.
Pertemuan itu Kepada membahas kerja sama impor gula kristal mentah Kepada diolah menjadi gula kristal putih.
Pada Januari 2016, tersangka Tom Lembong menandatangani surat penugasan kepada PT PPI yang pada intinya menugaskan perusahaan tersebut Kepada melakukan pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi harga gula melalui kerja sama dengan produsen gula dalam negeri Kepada mengolah gula kristal mentah menjadi gula kristal putih sebanyak 300.000 ton.
Selanjutnya, PT PPI Membikin perjanjian kerja sama dengan delapan perusahaan tersebut. Kejagung mengatakan bahwa Semestinya dalam rangka pemenuhan stok gula dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah gula kristal putih secara langsung dan yang hanya dapat melakukan impor adalah Badan Usaha Punya Negara (BUMN), yakni PT PPI.
Akan tetapi, dengan sepengetahuan dan persetujuan tersangka Tom Lembong, persetujuan impor gula kristal mentah itu ditandatangani. Delapan perusahaan yang ditugaskan mengolah gula kristal mentah itu sejatinya juga hanya Mempunyai izin Kepada memproduksi gula rafinasi.
Hasil gula kristal putih yang diproduksi delapan perusahaan tersebut kemudian seolah-olah dibeli oleh PT PPI. Padahal, gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta ke masyarakat melalui distributor terafiliasi dengan harga Rp16.000 per kilogram, lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET) yang sebesar Rp13.000 per kilogram dan Kagak dilakukan melalui operasi pasar.
Dari praktik tersebut, PT PPI mendapatkan upah sebesar Rp105 per kilogram dari delapan perusahaan yang terlibat.
Kerugian negara yang timbul akibat perbuatan tersebut senilai kurang lebih Rp400 miliar, yakni nilai keuntungan yang diperoleh delapan perusahaan swasta yang Semestinya menjadi Punya BUMN atau PT PPI. (Ant)

