
Penyelenggaraan pilkada ulang Kalau kotak Nihil menang dari calon tunggal dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan uji materi terhadap Pasal 54D ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada diajukan oleh Tim Advokasi “Pilkada Ulang Cocok Waktu”.
Gugatan ini diajukan oleh Muhammad Qabul Nusantara, Bayu Yusya Uwaiz Al Khorni, Febriansyah Ramadhan, dan Sunarto Efendi Buat meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus frasa “dilaksanakan sesuai jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.”
Berdasarkan Pasal 54D Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, calon tunggal dinyatakan sebagai pemenang Pilkada Kalau mendapatkan Bunyi lebih dari 50 persen Bunyi Absah. Tetapi, calon tunggal dianggap kalah Kalau tak mencapai Bunyi lebih dari 50 persen Bunyi Absah.
Baca juga : Penetapan Pemenang Calon Tunggal Pilkada Dipersoalkan di MK
Apabila calon tunggal kalah, maka yang bersangkutan Pandai mencalonkan Kembali di Pilkada tahun berikutnya atau Pilkada yang sesuai jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan
Frasa “dilaksanakan sesuai jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan” dinilai berpotensi memperpanjang ketidakpastian Penyelenggaraan Pilkada ulang di daerah dengan calon tunggal, terutama Kalau kotak Nihil menang.
Bim, sapaan akrab Muhammad Qabul Nusantara menjelaskan bahwa ketidakpastian ini dapat menciptakan kondisi penjabat kepala daerah dapat menjabat Buat jangka waktu yang Pelan tanpa adanya legitimasi demokratis.
Baca juga : Kotak Nihil Menang, Pilkada Ulang akan Digelar September 2025
“Penjabat kepala daerah bukanlah pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat. Kondisi ini sangat bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menegaskan bahwa kepala daerah harus dipilih secara
demokratis,” kata Bim, kepada wartawan, Senin (14/10).
Lebih lanjut, Bayu Yusya menekankan bahwa frasa yang ambigu ini memberi ruang bagi pemerintah dan DPR Buat menunda Pilkada ulang, yang Sepatutnya dilaksanakan satu tahun setelah Pilkada serentak.
“Ketidakpastian ini Pandai memperpanjang kekosongan jabatan kepala daerah definitif, yang pada akhirnya merugikan hak masyarakat Buat memilih pemimpinnya secara langsung. Kita Ingin memastikan Pilkada ulang terlaksana Cocok waktu, bukan mengikuti jadwal yang Lagi tergantung pada kesepakatan perundang-undangan,” tandas Bayu.
Baca juga : Pilkada Ulang akan Digelar Setelah Sengketa Hasil di MK Rampung
Tim advokasi menyoroti bahwa frasa yang dipermasalahkan tersebut Kagak hanya mengaburkan kepastian hukum tetapi juga membuka Kesempatan bagi penundaan Pilkada ulang hingga lima tahun, mengikuti siklus Pilkada serentak berikutnya.
Kalau opsi ini yang diambil, daerah yang dimenangkan oleh kotak Nihil harus menunggu hingga 2029 Buat menggelar Pilkada ulang, meninggalkan masyarakat di Rendah kepemimpinan penjabat kepala daerah yang wewenangnya terbatas dan tanpa mandat demokratis.
“Ini bukan hanya soal teknis waktu. Ketidakpastian ini berimplikasi pada legitimasi pemerintahan daerah. Kalau frasa tersebut Kagak dihapus, maka penjabat kepala daerah Pandai menjabat selama satu periode penuh tanpa melalui proses demokratis, dan ini tentu mengkhianati prinsip demokrasi yang dijamin oleh konstitusi kita,” ungkap Bim.
Baca juga : Pilkada Ulang Bakal Ganggu Maksud Keserentakan
Gugatan ini juga mengingatkan bahwa pada Pilkada serentak 2024, terdapat 37 daerah yang hanya Mempunyai satu calon kepala daerah. Kalau kotak Nihil menang, maka daerah-daerah ini berpotensi mengalami ketidakpastian panjang terkait Ketika Pilkada ulang akan dilaksanakan.
Bim dan Bayu Yusya berharap MK menyatakan frasa “dilaksanakan sesuai jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan” Kagak Mempunyai kekuatan hukum mengikat dan memastikan Pilkada ulang dilakukan setahun setelah Pilkada serentak.
“Dalam kasus ini, ketidakpastian adalah musuh bagi demokrasi. Daerah harus dipimpin oleh kepala daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat, bukan oleh penjabat sementara. Kalau Kagak Terdapat perubahan pada undang-undang ini, masyarakat akan dirugikan karena hak mereka Buat memilih pemimpin secara langsung terabaikan,” pungkas Bayu.
Keberadaan penjabat kepala daerah juga dipandang lemah secara konstitusional, karena wewenangnya dibatasi dan Kagak Mempunyai mandat langsung dari rakyat. Menurut Bim, ini dapat berdampak pada keberlangsungan pemerintahan yang Sepatutnya lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat lokal.
“Kalau kondisi ini dibiarkan, kita akan menyaksikan fenomena di mana penjabat kepala daerah menjabat seperti kepala daerah definitif, hanya saja tanpa legitimasi demokratis. Ini Terang bertentangan dengan semangat demokrasi kita,” tutup Bim.
Gugatan ini diharapkan menjadi landasan bagi reformasi hukum yang lebih adil dan memastikan bahwa hak rakyat Buat memilih pemimpinnya secara langsung dapat dilindungi dan dijamin sesuai dengan konstitusi. (P-5)