Dilema Rekanan Gender di Arab Saudi

AKANKAH gerakan emansipasi Perempuan yang marak di Arab Saudi sejak beberapa tahun terakhir ini akan mengantarkan pada Rekanan gender setara? Apakah gerakan pemberdayaan Perempuan di Arab Saudi Dapat mengantarkan negara-kerajaan itu seperti Amerika atau Indonesia dalam hal Rekanan gender dan peran publik Perempuan?

Sebagaimana Arab Saudi, Perempuan di Amerika dan Indonesia juga dulu Mempunyai peran yang sangat terbatas di ruang publik meskipun Terdapat sejumlah tokoh Perempuan yang menjadi pionir di berbagai bidang sosial, politik, pemerintahan, dan pendidikan.

Ungkapan Jawa seperti ‘sumur, dapur, kasur’ (pekerjaan Perempuan itu mencuci, memasak, dan melayani suami), ‘konco wingking’ (Mitra/orang di belakang suami), atau ‘suwargo nunut neroko katut‘ (masuk surga atau neraka ikut suami) menunjukkan peran marginal Perempuan sebagai ‘makhluk domestik’ dan pasif dalam sejarah sosial-politik Indonesia walaupun di daerah tertentu Terdapat budaya matriarki.

Di Amerika, selama berabad-abad, ruang publik (dunia politik, pendidikan, hukum, dan pekerjaan) juga didominasi dan dikontrol kaum Lelaki. Meskipun gerakan feminisme Kepada melawan Cult of Domesticity sudah dimulai sejak abad ke-19 (ditandai dengan Seneca Falls Convention, New York, 1848), Rekanan gender Tak sepenuhnya setara.

Hal itu terbukti, misalnya, dengan munculnya gender balance policy di perguruan tinggi karena Tetap adanya Penguasaan kaum Lelaki sebagai tenaga pengajar, peneliti, dan staf administrasi. Dalam batas tertentu, Rekanan gender di Indonesia Demi ini jauh lebih Berkualitas daripada di Amerika, apalagi Arab Saudi.

 

Dampak EMANSIPASI Perempuan

Pertanyaan yang saya kemukakan di awal paragraf Tak mudah Kepada dijawab. Selama puluhan tahun mengajar di sebuah universitas Punya kerajaan di Arab Saudi, saya sedikit memahami kompleksitas Interaksi gender dan problem emansipasi Perempuan.

Satu sisi angin reformasi sosial, termasuk emansipasi Perempuan, Terang membawa Dampak positif bagi kaum Perempuan. Misalnya, Perempuan yang dulu, di Demi Mimbar sosial-keagamaan Saudi dikontrol Grup islamis konservatif (Terkenal dengan Julukan Sahwa), sangat terbatas dalam hal akses pekerjaan di luar rumah, kini nyaris Seluruh sektor publik dan bidang pekerjaan, mereka Dapat melamarnya. Bahkan sektor pekerjaan yang masuk kategori berisiko tinggi yang identik dengan Lelaki (misalnya keamanan, teknik, dan transportasi Lumrah), Perempuan juga Dapat melamarnya.

Karena itu, jangan heran Kalau sejak beberapa tahun terakhir pekerja Perempuan Dapat dijumpai di mana pun: bandara, stasiun, terminal, kampus, mal, pabrik, perkantoran, dan sebagainya. Pekerja media (misalnya televisi, radio, koran) yang dulu dipenuhi Lelaki kini banyak Perempuan yang bekerja menjadi anchor media.

Bahkan saya pernah ditemui petugas sensus penduduk yang juga seorang Perempuan Saudi cekatan dengan bahasa Inggris yang Lancar. Ia datang ke rumah Kepada menanyakan jumlah penghuni atau keluarga serta data singkat kami (pekerjaan, pendidikan, gaji, dan lain-lain).

Cek Artikel:  Tumpulnya Hukum Pidana Pemilu

Sebelumnya, khususnya sejak 1980-an, fenomena itu Tak akan pernah dijumpai di Saudi karena dalam perspektif Grup islamis dan religius-konservatif (terutama Wahabi, Salafi, atau Hanbali), kaum Perempuan hanya dibolehkan mengerjakan urusan domestik di dalam rumah atau menurut istilah orang Jawa dulu: sumur (mencuci), dapur (memasak), dan kasur (melayani suami).

Selain pekerjaan, Dampak emansipasi Perempuan merambah di sektor pendidikan tinggi, termasuk akses beasiswa. Di dunia pendidikan tinggi yang dulu didominasi Lelaki kini Perempuan juga mendapatkan akses yang sama. Universitas saya dulu adalah ‘kampus Lelaki’ (Seluruh dosen, staf, pejabat kampus, dan mahasiswa adalah kaum pria). Tetapi, sejak beberapa tahun terakhir mulai diimbangi atau diisi dengan kaum Perempuan.

Apakah Perempuan menyambut gembira aneka perubahan sosial dan emansipasi di era Raja Salman dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman?

Tentu saja mereka menyambutnya dengan antusias. Mereka yang selama ini terkungkung di rumah dan urusan domestik bak burung yang hidup di dalam sangkar kini Dapat leluasa terbang menjelajahi sektor publik yang luas.

Mereka yang dulu bergantung pada Bapak dan/atau suami dalam urusan finansial kini Dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri (misalnya, membeli Pakaian dan pernik-pernik lainnya, makan di restoran, atau sekedar ngopi di kafe) tanpa harus meminta Dana kepada Bapak/suami. Orangtua pun Gembira karena setidaknya itu Dapat meringankan beban finansial mereka.

 

EMANSIPASI DAN Rekanan GENDER

Tetapi, apakah emansipasi Perempuan dengan sendirinya berdampak pada praktik kesetaraan gender? Apakah Perempuan betul-betul mendapatkan hak yang sama, misalnya urusan upah atau gaji, seperti Lelaki?

Berbagai studi beberapa tahun terakhir ini (misalnya Hind Abdulkarim Alsudays dalam karyanya yang berjudul The Determinates of Pay Inequality between Men and Women: Evidence from Saudi Arabia) menunjukkan, meskipun kesempatan bekerja bagi Perempuan sudah merambah berbagai sektor dan partisipasi Perempuan di pasar kerja sudah meningkat pesat sehingga Dapat meminimalkan pengangguran bagi Perempuan, mereka belum mendapatkan upah setara dengan Lelaki Kepada bidang pekerjaan dan kualifikasi yang sama.

Sebuah studi yang dilakukan Lauren Clingen dari Princeton University, bekerja sama dengan Alnahda Center for Research yang berbasis di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, menunjukkan unadjusted gender wage gap di sektor swasta mencapai 49%. Artinya, setiap Lelaki yang mendapatkan upah SR100, Perempuan Sekeliling SR51.

Cek Artikel:  Maksudficial Intelligence Solusi Cerdas dalam Bingungkatan Efisiensi dan Keadilan Sistem Perpajakan di Indonesia

Pada 2023, Mendunia Business Outlook, sebuah publikasi bisnis yang berbasis di Inggris, juga melaporkan upah rata-rata Kepada Lelaki Saudi Sekeliling SR9.872 (Sekeliling Rp43 juta), Perempuan Sekeliling SR6.280 (Rp27,3 juta). Ini artinya, ketidaksetaraan upah berbasis gender Tetap menjadi isu Istimewa di Saudi.

Isu lain yang Tak kalah Krusial ialah Perempuan Tetap terbatas kesempatan Kepada pekerjaan-pekerjaan level menengah-atas (seperti posisi manajer dan pimpinan). Dengan kata lain, Perempuan Tetap terbatas di sektor pekerjaan bergaji rendah (low-paying jobs).

 

SEJUMLAH Elemen PENGHALANG

Terdapat sejumlah Elemen Krusial yang menjadi penyebab gender wage gap sekaligus penghalang terwujudnya gender wage equality di Arab Saudi. Elemen-Elemen tersebut, antara lain, kultur patriarki yang kuat, Kebiasaan-Kebiasaan tradisional kesukuan yang Tetap dominan, dan tentu saja ajaran keislaman khususnya mazhab Hanbali yang dianut di negara-kerajaan itu. Ketiga Elemen itu berkaitan, saling memengaruhi, atau sudah melebur menjadi bagian integral kultur masyarakat Saudi sehingga cukup sulit Kepada diurai mana yang paling dominan.

Arab Saudi ialah negara-kerajaan berbasis tribalisme dan hukum Islam (ala mazhab Hanbali tentunya). Masyarakat Saudi ialah masyarakat muslim dan Etnis sekaligus sehingga Kebiasaan-Kebiasaan keislaman dan kesukuan sama-sama memengaruhi kultur dan perilaku sosial masyarakat. Praktik masyarakat Saudi ialah cerminan dari nilai-nilai kesukuan dan keislaman itu.

Berkualitas ajaran, Kebiasaan, dan hukum keislaman maupun kesukuan di Arab Saudi (setiap Etnis di dunia ini Mempunyai ‘aturan main’ berlainan) sama-sama berwatak patriarki, sama-sama memberi privilese kepada kaum Lelaki, dan sama-sama kurang memberi ruang pada kesetaraan gender dalam pengertian ‘sama rata sama rasa’.

Sulit Kepada mempraktikkan hukum kesetaraan gender di Arab Saudi karena, selain pengaruh ajaran normatif Islam, praktik ketidaksetaraan alias gender gap itu sudah menjadi bagian integral dari struktur, kultur, dan Kebiasaan masyarakat setempat. Misalnya, ‘Lelaki sebagai kepala rumah tangga’ yang bertanggung jawab dalam Seluruh urusan kesejahteraan istri dan anak-anak bukan semata-mata doktrin Religi Islam, melainkan juga ajaran masyarakat Etnis Arabia yang sudah dipraktikkan selama ribuan tahun bahkan sebelum Islam hadir di abad ketujuh Masehi.

Bagi masyarakat Saudi, Lelaki Mempunyai tanggung jawab lebih besar daripada Perempuan. Karena mempunyai tanggung jawab lebih besar, wajar Kalau Lelaki menerima upah lebih besar. Sejauh ini, bagi Lelaki Saudi pamali Kalau Perempuan yang memenuhi kebutuhan finansial urusan rumah tangga.

Cek Artikel:  Afirmasi Buat Pengesahan RUU PPRT

Karena itu, bagi Lelaki Saudi, lebih Berkualitas membujang Tak menikah daripada menikah, tetapi Tak Dapat menghidupi anak-istri lantaran Tak/belum bekerja atau ‘dihidupi’ oleh istri mereka yang bekerja. Soal ini Tak Terdapat di ‘kamus’ kaum pria.

Sebaliknya, Perempuan Saudi pun Tak mau menikahi Lelaki yang Tak Mempunyai pekerjaan layak yang dapat menghidupi kebutuhan hidup mereka (dan anak-anak). Hingga Demi ini, istilah home daddy (Yakni suami yang mengurus anak dan urusan domestik lainnnya di rumah karena istri mereka bekerja di luar) seperti laiknya di negara-negara Barat, termasuk Amerika, belum atau sulit terwujud di Arab Saudi.

Menariknya, Perempuan Saudi juga secara implisit dan eksplisit menyetujui ‘jabatan kepala rumah tangga’ itu ialah Lelaki. Karena itu, Perempuan Saudi merasa Tak Mempunyai tanggung jawab Kepada urusan-urusan yang menurut mereka menjadi tanggung jawab Lelaki, Yakni Bapak/suami sebagai kepala rumah tangga, misalnya urusan pendidikan anak, suplai makanan, atau belanja aneka kebutuhan rumah tangga.

Jadi, meskipun Perempuan sudah bekerja dan mendapatkan gaji, Dana gajian itu mereka gunakan Kepada keperluan sendiri dan Kepada menyenangkan diri-sendiri (membeli busana, menonton pertunjukan, makan Nikmat di restoran, dan lain-lain), bukan Kepada berbagi dengan suami/Bapak Kepada membantu meringankan keperluan rumah tangga (misalnya biaya pendidikan anak dan belanja bulanan).

Itulah sebabnya upah yang Tak sama itu sejauh ini relatif Tetap diterima karena dilatari tanggung jawab sosial yang Tak setara antara Lelaki dan Perempuan. Perempuan Saudi sendiri belum tentu mau kalau status ‘kepala rumah tangga’ (sebagai penanggung jawab urusan finansial) disandangkan kepada mereka seperti Normal terjadi di Amerika atau dalam batas tertentu Indonesia.

 

MUNGKINKAH TRANSFORMASI TERJADI?

Fenomena ketidaksetaraan gender ini juga dulu terjadi di Amerika (dan negara Barat lainnya) dan juga Indonesia. Tetapi, meskipun Tak seratus persen, pelan-pelan praktik ketidaksetaraan itu berubah atau bertransformasi, Berkualitas di ruang privat maupun ranah publik. Misalnya, Tak seperti dulu, siapa pun kini Dapat membiayai urusan atau keperluan rumah tangga, termasuk kebutuhan sekolah anak-anak dan belanja bulanan.

Di negara-negara Barat (Indonesia juga demikian) sudah terbiasa Perempuan bekerja di luar rumah (Kepada Indonesia misalnya sebagai TKW) sementara Lelaki mengurusi urusan domestik di dalam rumah menjadi home daddy.

Apakah masyarakat Saudi juga kelak akan mengalami transformasi seperti masyarakat Barat (dan Indonesia)? Hanya waktu yang Dapat menjawabnya. Tetapi, bukankah Tak Terdapat yang Tak mungkin di kolong rembulan ini?

Mungkin Anda Menyukai