Dilema Mengertinan Soal Perberasan

DILEMA soal perberasan belum juga berkesudahan. Sejak dulu hingga kini, soal beras selalu memantik masalah, baik ketika panen raya maupun di kala sebaliknya.

Sudah menjadi kebiasaan, tatkala terjadi panen raya, harga gabah turun, bahkan tak jarang anjlok. Sudah menjadi kelaziman, ketika harga gabah turun, petani meradang. Jangankan mendapatkan untung dari banting tulang beberapa bulan menanam dan merawat padi, mereka malah kerap merugi. Nasib buruk itu selalu terulang, bahkan boleh dibilang telah menjadi gejala tahunan.

Kagak cuma petani yang kerap bernasib buruk dalam urusan beras.

Rakyat sebagai konsumen sama saja. Dalam beberapa bulan belakangan, jalan napas mereka tersumbat karena tingginya harga beras. Beban hidup mereka yang sudah berat semakin berat lantaran harus membeli makanan pokok itu dengan merogoh kantong lebih dalam.

Cek Artikel:  Indonesia Darurat Rasuah

Begitulah siklus buruk perberasan di negeri ini, negeri agraris yang sering dibanggakan sebagai negeri subur makmur gemah ripah loh jinawi. Siklus itu pun kembali terrepitisi kali ini. Setelah konsumen lama terhimpit mahalnya harga beras, giliran petani yang siap-siap menjerit. Panen raya mulai Maret lalu memang baik buat rakyat karena harga beras akan kembali bersahabat. Tetapi situasi itu buruk bagi petani lantaran harga gabah terus turun.

Tanda-tanda itu sudah terlihat nyata. Ketua Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso meyakini penurunan harga gabah seiring dengan panen raya yang akan mencapai puncaknya bulan ini. Menurutnya, harga gabah sudah di kisaran Rp5.000-Rp6.000 per kilogram, menurun cukup tajam ketimbang Februari yang Rp7.000 per kilogram.

Cek Artikel:  Berharap Satgas Judi Tancap Gas

Badan Pusat Tetaptik (BPS) juga mencatat harga gabah kering panen di tingkat petani pada Maret di angka Rp 6.736/kg. Harga itu lebih murah 7,24% secara bulanan, namun masih lebih tinggi 27,71% daripada periode yang sama tahun lalu. Harga gabah kering giling juga turun 5,47% secara bulanan menjadi Rp 8.121/kg, kendati masih melambung 34,22% secara tahunan.

Situasi seperti itu tentu tak boleh dibiarkan. Pemerintah mesti selekasnya menunjukkan kehadiran, memperlihatkan keberpihakan, agar harga gabah tak turun makin dalam, supaya nasib petani tak kian memprihatinkan. Membeli gabah dari petani dengan harga yang menguntungkan mereka adalah keniscayaan. Meningkatkan harga pembelian pemerintah (HPP) ialah keharusan. Itulah kewajiban Bulog saat ini. Itulah tugas Badan Pangan Nasional (Bapanas) kini.

Cek Artikel:  Peringatan Darurat Garuda Biru : Alarm Demokrasi Kekhawatiran Netizen

Lebih dari itu semua, sudah saatnya pemerintah menanggalkan penyelesaian sesaat, baik saat panen raya yang merugikan petani maupun saat beras langka yang merugikan konsumen.

Solusi jangka panjang pantang dipinggirkan. Membantu petani mengatasinya tingginya biaya produksi, umpamanya, tak bisa lagi sekadar basa-basi. Mengurangi subsidi pupuk yang merupakan salah satu komponen terbesar biaya produksi padi adalah bukti basa-basi itu.

Tanpa solusi yang komprehensif, petani akan terus menjerit saat panen raya. Tanpa solusi simultan, rakyat akan selalu megap-megap karena beras langka dan harga menggila. Tugas itu memang tak gampang, tetapi buat apa ada pemerintah kalau maunya hanya yang mudah-mudah? 

Mungkin Anda Menyukai