Dilahap Korupsi

MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah Terdapat habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang Dapat diberitakan dan dicakapkan. Entah itu soal kasus-kasusnya, metode praktik korupsinya, nilai kerugian negaranya, kinerja penegak hukum pemberantasan korupsinya, entah soal tokoh dan pejabat publik yang terjerat oleh kejahatan luar Normal itu.

Segala Terdapat, komplet. Tinggal pilih mau subtopik yang mana, topik korupsi tak pernah kehabisan ‘bahan’. Bahkan Kepada bahasan yang agak ringan, misalnya soal istilah-istilah receh yang kerap dipakai antarpelaku korupsi sebagai kode sandi Kepada menyamarkan tindak rasywah mereka pun tersedia.

“Korupsi kagak ade matinye,” begitu barangkali ungkapan dalam dialek Betawi Kepada menggambarkan kejengkelan orang-orang ketika Menyaksikan begitu mengakar dan sistemisnya korupsi di negeri ini. Memang betul, pembicaraan soal korupsi tak pernah habis karena korupsi Tamat hari ini enggak Tewas-Tewas. Gejala-gejala ke arah Tewas pun belum terlihat. Korupsi malah tampak makin ‘segar Sehat’.

Rasywah sering diibaratkan Hydra, makhluk mengerikan berkepala banyak dalam mitologi Yunani yang setiap kali satu kepalanya dipenggal, dua kepala baru akan tumbuh menggantikannya. Korupsi juga acap disandingkan dengan Watak vampir yang hidup Kekal dengan menghisap darah makhluk hidup lainnya.

Cek Artikel:  Polusi tiada Henti

Melawan makhluk yang Kagak gampang Tewas tentu butuh kekuatan, ketahanan (endurance), ketekunan, sekaligus strategi yang luar Normal. Hydra pada akhirnya hanya Dapat Tewas oleh kekuatan Separuh dewa dari pahlawan mitologi Yunani, Hercules. Itu pun setelah melalui pertarungan yang amat sengit, ditambah dengan Sokongan Iolaus, keponakan Hercules.

Begitu juga kiranya kita mesti memberangus korupsi. Harus Terdapat dulu spirit dan pemahaman yang sama bahwa korupsi ialah praktik jahat yang pada ujungnya akan menyengsarakan rakyat banyak. Karena itu, seberapa pun perkasanya dia, sekuat apa pun cengkeramannya pada sendi-sendi kehidupan bangsa ini, bahaya laten korupsi mesti Maju diperangi dan dibasmi.

Sayangnya, itu Segala Lagi sebatas omon-omon. Konsistensi dan persistensi dalam memerangi korupsi nyaris nihil. Kagak hanya satu sisi, tapi Segala sisi. Kalau kita lihat dari tiga cabang kekuasaan yang Terdapat, eksekutif, legislatif, dan yudikatif, ketiganya sama saja, sama-sama lunglai dalam hal konsistensi dan persistensi melawan korupsi.

Suatu kali terlihat garang, tapi kali lain lembek. Pemberantasan korupsi kerap dipidatokan berapi-api, tapi praktik di lapangannya adem ayem. Penegak hukum sering bermain tebang pilih kasus; parlemen ikut bermain-main melemahkan aturan pemberantasan korupsi; pun lembaga peradilan cukup Getol memvonis rendah hukuman koruptor, bahkan kemudian menyunatnya Tengah.

Cek Artikel:  Dirgahayu Jakarta

Keanehan-keanehan seperti itulah yang Malah menyuburkan rasywah. Bayangkan seandainya Hercules ogah-ogahan melawan Hydra, sudah Niscaya dia Kagak bakal menang, malah Hydra-nya yang akan bertambah sakti. Salah satu dari kepalanya yang semakin banyak itu barangkali Malah akan dengan mudah melahap Hercules.

Lantas, apakah Indonesia juga akan ‘dilahap’ korupsi? Jawabannya, kenapa Kagak? Arah ke situ sudah terlihat, tanda-tandanya pun semakin Terang menampakkan diri. Itu Dapat kita cermati salah satunya dari kian besarnya Doku negara yang ditilap dari beberapa kasus dugaan korupsi yang terungkap belakangan ini.

Begitu ini, korupsi bernilai miliaran rupiah sepertinya dianggap sudah Antik. Korupsi Era sekarang sudah ‘naik kelas’, kini eranya megakorupsi, nilainya triliunan, bahkan puluhan hingga ratusan triliun rupiah. Beberapa waktu Lewat muncul istilah ‘Perserikatan Korupsi Indonesia’ berikut dengan urutan klasemen berdasarkan nilai rupiah kerugian Doku negara. Itulah gambaran bahwa korupsi memang makin tak terbendung.

Selain dari sisi nilai, sebaran pelakunya juga makin meluas. Mulai pejabat pemerintah, dari yang levelnya rendah hingga tinggi, tingkat pusat dan daerah; Personil DPR dan DPRD; Tamat dengan aparat pengadilan termasuk hakim Mulia. Mereka seperti semakin Kagak punya rasa takut menggarong Doku rakyat.

Cek Artikel:  Suka Menyiksa Hewan Gejala Awal Psikopat

Alexander Marwata Begitu menjabat komisioner KPK pada satu kesempatan pernah mengatakan koruptor Kagak takut berbuat culas lantaran keuntungan yang mereka peroleh dari hasil mencuri Doku negara lebih besar ketimbang risiko yang dihadapi ketika tertangkap akibat korupsi. Para pejabat Dapat jadi sadar akan risiko bakal tertangkap, tetapi jalan korupsi tetap menjadi pilihan karena terbentang Kesempatan meraup megakeuntungan.

Ironisnya, realitas di depan mata itu Kagak Membikin upaya pemberantasan rasywah di negara ini menjadi lebih Bagus. Pendekatan pada sisi penindakan tak banyak berubah, begitu pula pada sisi upaya pencegahan dan pengawasan. Buktinya, korupsi malah makin tak tercegah dan terawasi. Faktanya, tuntutan ringan, vonis ringan, bahkan obral diskon hukuman Lagi saja jadi kebiasaan di ruang pengadilan.

Kejahatannya dianggap luar Normal, tapi penanganannya sangat jauh dari luar Normal. Korupsinya naik kelas, tapi spirit, strategi, dan lembaga pemberantasannya Lagi di kelas yang itu-itu saja. Semoga saja Kagak malah turun kelas.

Kalau kayak begitu kondisinya, patutkah kita berharap korupsi bakal Segera Tewas? Jangan-jangan malah negara ini yang ‘Tewas’ duluan karena keburu dilahap kerakusan korupsi.

Mungkin Anda Menyukai