Diaspora Muhammadiyah, Khazanah lelet yang makin Relevan

Diaspora Muhammadiyah, Khazanah Lama yang makin Relevan
(Dok. Pribadi)

BEBERAPA waktu lalu, penulis diminta untuk bergabung dalam diskusi tentang diaspora. Shahibul hajatnya teman-teman dari Lembaga Komunikasi Alumni (Fokal) IMM se-Jawa Tengah, bertempat di SM Tower Yogyakarta. Mereka menyelenggarakan Musyawarah Area, yang didahului dengan diskusi bertajuk Transformasi dan Diaspora Kader Muhammadiyah, Implementasi Main-Frame Khitah Perjuangan.

Penulis memilih judul yang lebih simpel: Diaspora, Khazanah lelet yang makin Relevan dalam Alam Kemajuan. Tulisan ini merupakan presentasi penulis yang sudah ditambah dengan hasil diskusi yang melibatkan Prof Zakiyuddin Baedhowi (Wakil Ketua PWM Jawa Tengah) dan Dr Farid Wajdi (Korda Fokal Jawa Tengah), dan tentu juga peserta dari koordinator-koordinator Daerah Fokal se- Jateng.

Di samping itu, tulisan ini juga untuk menindaklanjuti hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah 29 September–1 Oktober 2023 di UM Yogyakarta.

 

Pengertian sempit dan luas

Istilah diaspora (bahasa Yunani kuno) yang berarti penyebaran atau penaburan benih. Kalau digunakan (tanpa huruf besar), diaspora merujuk kepada bangsa atau penduduk etnik mana pun yang terpaksa, atau terdorong untuk meninggalkan tanah air etnik tradisional mereka, penyebaran mereka di berbagai bagian lain dunia, dan hasil dari penyebaran dan budaya mereka.

Secara historis, istilah Diaspora (dengan huruf besar) digunakan orang-orang Yunani, artinya warga suatu kota kerajaan yang bermigrasi ke wilayah jajahan dengan maksud kolonisasi untuk mengasimilasikan wilayah itu ke dalam kerajaan. (Wikipedia, 27/9-2023:15.40).

Secara kelaziman kebahasaan diaspora termasuk istilah yang agak baru. Tetapi sesungguhnya, diaspora secara fungsional telah menjadi khazanah yang sangat tua. Karena sifat kebaruan dalam penggunaan istilah, pengertian diaspora tidak jarang menimbulkan bermacam-macam persepsi yang bermuara pada sikap positif dan negatif.

Sikap positif dalam konteks diaspora ialah jika muncul keinginan untuk tahu apa, siapa, dan bagaimana diaspora dalam relevansinya dengan kepentingan seseorang atau suatu kelompok, sedangkan sikap negatif, sebaliknya, yakni tidak merespons, tidak mau tahu ataupun bersikap skeptis.

Istilah diaspora secara sederhana dapat diartikan dengan penyebaran suatu kelompok. Termasuk dalam pengertian kelompok ialah kelompok keagamaan atau kelompok etnik ke luar lingkupannya yang asli. Dapat juga ditambahkan bahwa penyebaran ke luar “habitatnya” bisa secara paksa (dipaksa suatu keadaan) bisa pula karena sukarela atau pilihan hidup.

Diaspora, juga berkaitan dengan penyebaran orang-orang sebagai kelompok kolektif dan atau masyarakat. Golongan atau masyarakat yang memilih keluar dari lingkungan aslinya atau berdiaspora acapkali berkaitan dengan usaha untuk mempertahankan keberlangsungan hidup dalam konteks budaya, ataupun kebiasaan/tradisi, dan agama dan berbagai alasan lainnya. Asanya, di lingkungan yang baru mereka akan lebih eksis dan menemukan harapan baru.

Cek Artikel:  Pilkada Jakarta, antara Elektabilitas dan Politik Kekuasaan

Kalau kita kaitkan istilah diaspora dengan lingkup yang luas, dia akan berkaitan dengan persoalan-persoalan yang kompleks, yaitu multikulturalisme, ideologi global, dan atau hal-hal lain yang mengandung konsep mendasar dan dengan cakupan yang luas. Tetapi, dalam konteks tema di atas menelaah diaspora konteks transformasi Muhammadiyah cakupannya lebih sempit, spesifik, dan terukur untuk menjawab apa yang dapat dilakukan, dan bagaimana cara serta proses kader Muhammadiyah berdiaspora. Ukuran tepat tidaknya implementasi berdiaspora akan berkorelasi dengan realitas sejalan atau tidaknya dengan Khitah Perjuangan Muhammadiyah.

Sekadar untuk memberikan gambaran yang lebih konkret, menurut hemat penulis, diaspora dapat dianalogkan dengan praktik kultural yang telah berpuluh tahun terjadi, yakni program transmigrasi (bersifat setengah terpaksa), dan atau sikap kultural dari masyarakat tertentu, misalnya Minang, Batak, Makassar, dan suku-suku atau etnik lainnya yang memiliki kredo untuk berpindah tempat kehidupan, dan penghidupan di luar daerah kelahirannya sebagai suatu sikap kultural atau jati diri suku atau etnik.

Eksis kemiripan sikap kultural ini dengan dengan karakter diaspora. Kalau transmigrasi dan perpindahan tempat geografis lebih menekankan pada aspek tempat atau lokasi baru –yang sesungguhnya juga tidak bisa dipisahkan dengan sikap dan cara pandang baru, sedangkan diaspora lebih menekankan pada alasan dan pilihan, serta cara dan pandangan hidup baru.

Kalau kita gunakan analogi ini, kita bisa melihat bahwa dari penyebaran suatu masyarakat ke tempat yang baru saja memiliki dampak strategis, antara lain adanya upaya membangun kelompok dan kebiasaan di luar daerah, memberikan sumbangan real ke daerah asal yang dikenal dengan remitensi, dan sikap mendukung program-program kemajuan secara umum yang sedang terjadi di daerah asalnya.

Sudah barang tentu, diaspora yang direncanakan oleh suatu kelompok atau jemaah niscaya akan membawa tumbuhnya spirit baru yang lebih kuat, baik untuk menjaga eksistensinya di wilayah baru maupun spirit baru dalam rangka memelihara komitmen terhadap nilai-nilai perjuangan dan jemaah Muhammadiyah.

MI/Seno

 

Isu-isu penting diaspora

Dari bacaan baik secara tekstual maupun kontekstual, diaspora secara individual kurang lebih akan berkaitan dengan isu-isu sebagai berikut: sikap mental terbuka, sikap demokratis, berani menghadapi tantangan, memiliki optimisme, kemampuan dalam struggle for life, dan tidak kalah penting dari semua sikap tersebut ialah sikap mental berani menerima risiko.

Secara kelembagaan dan komitmen kolektif, diaspora memerlukan adanya pengakuan, lindungan, dorongan, dan seperangkat aturan yang dibangun dalam kesadaran pemikiran kolektif dan objektif. Dengan pandangan itu, diaspora dalam kaitan dengan perkaderan dan kualitas kader secara ringkas memerlukan kesadaran mendalam yang bersifat mengikat, tetapi dinamis dan berorientasi pada jemaah dan nilai-nilai perjuangan yang terus ditingkatkan.

Cek Artikel:  Guru Besar di Indonesia Mendorong Martabat dan Kualitas Akademik

Dalam kaitan ini, penulis ingat peristiwa sewaktu masih “diplonco” sebagai calon anggota IMM 1976. Demi itu ada seorang instruktur yang mengatakan, “Silakan saudara-saudara jadi apa saja, tetapi bawa mission Muhammadiyah.”

Dalam konteks jemaah, relevan tidaknya diaspora dapat diukur dari salah satu dari Khitah Perjuangan. Misalnya, Khitah Denpasar yang ditetapkan pada 2002, utamanya pada poin terakhir atau poin ke sembilan yang menegaskan bahwa, “Muhammadiyah senantiasa bekerja sama dengan pihak atau golongan mana pun berdasarkan prinsip kebajikan dan kemaslahatan, menjauhi kemudaratan, dan bertujuan untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik, maju, demokratis, dan berkeadaban.”

Poin kesembilan dari Khitah Denpasar ini, menurut hemat penulis, secara tekstual, relevan dengan semangat dan momentum untuk berdiaspora. Tetapi, secara fungsional dan faktual, banyak kader yang justru mengeluhkan kurangnya ruang keterbukaan dan payung kebijakan yang sejalan dengan poin kesembilan Khitah Denpasar ini.

Dalam diskusi Fokal Jateng juga muncul keluhan-keluhan yang khas dari suatu tindakan salah memahami dalam bentuk kebijakan yang beraneka versi. Misalnya, ada kader yang mempunyai latar belakang dan modal yang cukup untuk berkecimpung dalam politik. Rupanya dia tidak memperoleh izin untuk melaksanakan rencana pemunculan kader politik yang digagas dengan beberapa kader lainnya.

Pada sisi lain, ada kader yang seakan-akan tidak terbatasi “tembok birokrasi” sikap politik internal. Dengan tidak bermaksud memberikan insinuasi tertentu, hal semacam itu lebih merupakan pilihan subjektif-personal, yang kurang melihat persoalan tanggung jawab sosial politik Persyarikatan Muhammadiyah dalam berbangsa dan bernegara.

 

Beberapa khitah perjuangan

Di samping Khitah Denpasar, ada pula Khitah Perjuangan Muhammadiyah yang acapkali menjadi palang pintu dalam konteks berpolitik praktis ialah Khitah Ujung Pandang (Makassar) yang ditetapkan dalam Muktamar Pahamn 1971 di Ujung Pandang. Khitah Ujung Pandang memang digunakan sebagai strategi perjuangan khususnya menjadi acuan dalam bidang politik.

Matan dari Khitah Ujung Pandang sebagai berikut: 1. Muhammadiyah murni sebagai organisasi dakwah Islam yang tidak terafiliasi dengan partai politik mana pun. 2. Taatp anggota boleh bergabung dengan partai politik lainnya dengan catatan tetap tidak menyimpang dari anggaran dasar Muhammadiyah. 3. Pemantapan gerakan dakwah secara konstruktif dan positif terhadap Partai Muslimin Indonesia. 4. Mengamanatkan pada pimpinan Pusat Muhammadiyah supaya membuat skema dan langkah-langkah guna menyokong pembangunan nasional.

Cek Artikel:  Arti Kunjungan Paus Fransiskus

Khitah Ujung Pandang dikuatkan dengan Khitah Surabaya yang ditetapkan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-40 1980. Dalam Khitah Surabaya pada poin ketiga dinyatakan bahwa, “Muhammadiyah dan politik, menegaskan kembali hubungan antara organisasi dan partai sebagaimana tertulis dalam Khittah Ujung Pandang poin 1 dan 2.”

Artinya, Khitah Surabaya memperkuat penegasan kemurnian perjuangan Muhammadiyah dan tidak adanya afiliasi Muhammadiyah dengan partai mana pun. Tetapi, ada klausul bahwa anggota Muhammadiyah boleh bergabung dengan partai politik dengan catatan tetap tidak menyimpang dari anggaran dasar Muhammadiyah.

Khitah yang tidak lain ialah rencana strategis perjuangan tentu harus diselaraskan dengan situasi dan kondisi serta bentuk tantangan yang dihadapi. Oleh sebab itu, meskipun secara formal-normatif ditegaskan untuk dipedomani, khitah tetap memerlukan pemahaman ulang atau penjabaran yang sejalan dengan dinamika sosial politik kemasyarakatan yang ada.

Pernyataan itu penulis dasarkan kepada konsep Islam Berkemajuan sebagai grand design mutakhir dalam memberi garis perjuangan Persyarikatan Muhammadiyah.

Dalam forum Digital Society Discussion Series #5, Tantangan Islam Berkemajuan di Era Disruptif Center of Southeast Asian Social Studies Universitas Gadjah Mada (UGM), Haedar menjelaskan bahwa pandangan Islam Berkemajuan menjadikan Muhammadiyah wajib menghadirkan dakwah yang adaptif dan transformatif, bukan dakwah yang kaku dan eksklusif.

Haedar Nashir menegaskan, “Dakwah Islam, upaya mewujudkan Islam dalam kehidupan diproyeksikan sebagai jalan perubahan (transformasi) ke arah terciptanya kemajuan, kebaikan, keadilan, kemakmuran, dan kemaslahatan hidup umat manusia tanpa membeda-bedakan ras, suku, golongan, agama, dan sekat-sekat sosial lainnya.” (https://muhammadiyah.or.id/pandangan-islam-berkemajuan-cara-muhammadiyah-wujudkan-rahmatan-lil-alamin/penulis Afandi).

Sangat jelas bahwa tuntutan untuk melakukan pemaknaan ulang atas berbagai khitah agar sejalan dengan realitas sosial dan tantangan yang real sudah diisyaratkan dalam latar belakang pemikiran berbagai khitah tersebut. Termasuk dalam konsep Islam Berkemajuan. Dalam konteks dibukanya keran politik untuk kader berdiaspora, menurut hemat penulis, juga dapat dimaknai sebagai alat ukur seberapa kuat dan tingginya moralitas politik kader Muhammadiyah manakala diberi amanah jabatan strategis.

Dapat kiranya disimpulkan bahwa, meskipun sudah ada landasan formal Khitah Denpasar, dan latar belakang pemikiran yang mengarah pada perlunya fleksibiltas, ternyata belum cukup kuat adanya dorongan dari Persyarikatan untuk memberi kebijakan payung dan ruang bertempur bagi kader yang siap memasuki area perjuangan baru di ‘luar kandang’.

Menurut hemat penulis, ambiguitas itu, dan kesempitan ruang gerak untuk kader Muhammadiyah berkiprah di luar tembok Persyarikatan, perlu diakhiri dengan dibentuknya payung kebijakan yang efektif dan diberlakukan di semua level Persyarikatan Muhammadiyah.

Mungkin Anda Menyukai