Dianggap Kerjakan yang Bukan Wewenangnya, DPR Akan Penilaian Posisi MK

Dianggap Kerjakan yang Bukan Wewenangnya, DPR Akan Evaluasi Posisi MK
Gedug Mahkamah Konstitusi(MI/Susanto)

KETUA Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan bahwa lembaganya akan mengevaluasi posisi Mahkamah Konstitusi (MK) dalam jangka menengah dan panjang karena dianggap mengerjakan banyak urusan yang bukan menjadi kewenangannya.

“Nanti kami evaluasi posisi MK karena memang sudah seharusnya kami mengevaluasi semuanya tentang sistem, mulai dari sistem pemilu hingga sistem ketatanegaraan. Menurut saya, MK terlalu banyak urusan yang dikerjakan, yang sebetulnya bukan urusan MK,” kata Doli dikutip Antara, Kamis (29/8).

Menurut Doli, salah satu contohnya mengenai pilkada. Semestinya, kata dia, MK meninjau ulang Undang-Undang Nomor 10 Pahamn 2016 tentang Pilkada yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi akhirnya MK turut masuk pada hal-hal teknis, sehingga dianggap melampaui batas kewenangannya.

Cek Artikel:  Revisi UU Kementerian negara, Kabinet Bakal Disesuaikan dengan Kebutuhan Presiden

Baca juga : Terdapat Pelarangan Musisi Pasang Visual Peringatan Darurat di Festival Musik?

“Di samping itu, banyak putusan-putusan yang mengambil kewenangan DPR selaku pembuat undang-undang. Pembuat undang-undang itu hanya Pemerintah dan DPR, tetapi seakan-akan MK menjadi pembuat undang-undang ketiga,” ujarnya.

Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa DPR akan mengubah hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan karena putusan MK bersifat final dan mengikat.

“Akibatnya, putusan MK memunculkan upaya politik dan upaya hukum baru yang harus diadopsi oleh peraturan teknis, seperti halnya dengan putusan kemarin. Akan tetapi, ketika DPR mau mendudukkan yang benar sesuai undang-undang, muncul demonstrasi mahasiswa dan kecurigaan,” katanya.

Baca juga : Komisi II DPR RI Setujui Revisi PKPU 2024, Mardani Ali Sera: Pilkada Akan Lebih Demokratis dan Transparan

Cek Artikel:  Projo Tak Buat Spanduk Terima Kasih Kepada Wapres Maruf Amin, Budi Arie Harap Ampun

Ia menambahkan, “Oleh karena itu, kami perlu melakukan penyempurnaan semua sistem, baik pemilu, kelembagaan dan ketatanegaraan.”

Sebelumnya, Selasa (20/8), MK mengubah ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. MK membatalkan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada dan menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada inkonstitusional bersyarat.

Lewat putusan tersebut, MK menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah. Penghitungan syarat untuk mengusulkan pasangan calon hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik dalam pemilu di daerah bersangkutan mulai dari 6,5 hingga 10 persen.

Cek Artikel:  Harvey Moeis Ragukan Keterangan Saksi Ali Samsuri

Selanjutnya, melalui Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, MK menegaskan bahwa penghitungan syarat usia calon kepala daerah, dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada, harus terhitung sejak penetapan pasangan calon. (Ant/P-5)
 

Mungkin Anda Menyukai