Dialektika Islam dan Pancasila

Dialektika Islam dan Pancasila
(Dok. Pribadi)

PANCASILA merupakan produk dialektika yang menghasilkan sintesis bahwa Indonesia bukan negara agama dan bukan pula negara sekular, melainkan negara dengan agama menempati posisi yang sangat penting. Pancasila adalah negara agamais yang lebih bersifat substantif, dan bukan negara agama yang lebih bersifat formalistis.

Kesepakatan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara berproses dari persidangan BPUPK. Pembahasan dan perdebatannya berlangsung sangat alot, terutama saat pembahasan dasar negara. Sidang ini mendengarkan pidato dari para tokoh, seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Soepomo, Ki Bagus Hadikusumo, Masykur, Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Ahmad Sanusi, dan Agus Salim, Wongsonegoro, dan Mohamad Yamin.

Copot 29 Mei 1945 Yamin berpidato tentang lima asas dasar negara. Copot 31 Mei 1945 Soepomo berpidato tentang lima prinsip dasar negara dan Ki Bagus berpidato tentang dasar negara Islam. Copot 1 Juni 1945 giliran Sukarno berpidato tentang ‘Pancasila’.

Tiba akhir masa sidang pertama, belum ditemukan titik temu terkait dasar negara maka dibentuk Panitia Sembilan yang diberi tugas menggodok masukan-masukan dari hasil persidangan BPUPK. Sesudah perundingan yang cukup sulit, 22 Juni 1945 Panitia Sembilan kembali bertemu dan menyepakati Piagam Jakarta, yang di antaranya berisi kalimat: ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.

MI/Seno

 

Mengaburkan peran kelompok Islam

Disayangan, perdebatan dasar negara seolah hanya dikuasai kelompok nasionalis. Golongan Islam seakan tak terlibat dalam perdebatan tersebut. Sumber-sumber autentik terkait pidato dan tanggapan tokoh-tokoh Islam sulit ditemukan sehingga ketika berbicara BPUPK selalu identik dengan Yamin, Soepomo, dan Sukarno.

Salah satu sebabnya Yamin tidak menyertakan pidato ataupun tanggapan dari tokoh-tokoh kelompok Islam dalam risalah yang ditulisnya. Sementara itu, pidato dari kelompok nasionalis justru dimuat lengkap, rapi, dan jelas. Wajar bila ada tuduhan bahwa Yamin sengaja membuang halaman-halaman yang berisikan pidato atau tanggapan dari kelompok Islam.

Tuduhan itu tidak berlebihan. Pertama, kalau membaca buku Naskah Persiapan UUD 1945, yang tidak terdapat pidato dari kelompok Islam timbul keganjilan terkait ‘naskah asli’ Risalah BPUPK tersebut. Awalnya risalah persidangan BPUPK dan PPKI disimpan oleh Pringgodigdo, tetapi kemudian dinyatakan ‘hilang’. Akibatnya, buku Naskah Persiapan UUD 1945 karya Yamin menjadi sumber primer setiap mengkaji sejarah Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru.

Risalah versi Yamin ini banyak perbedaan dengan risalah asli Pringgodigdo. Banyak pidato anggota BPUPK yang tak dimasukkan ke buku Yamin. Arsip Pringgodigdo memuat inti dari usulan-usulan yang disampaikan oleh Panitia Sembilan, termasuk rancangan Piagam Jakarta.

Cek Artikel:  Menggali Potensi Digital Indonesia, Panggilan untuk Inklusi dan Partisipasi

Kedua, belakangan didapati naskah pidato Ki Bagus pada sidang BPUPK 31 Mei 1945. Naskah ini kemudian dimasukkan ke Risalah BPUPKI yang diproduk ketika Mensesneg dijabat Akbar Tandjung. Dalam pidatonya Ki Bagus menyarankan Islam sebagai dasar negara, dengan argumen bahwa sebagian besar rakyat Indonesia beragama Islam.

Membaca Risalah BPUPK dan PPKI terasa sekali tarik-menarik kelompok Islam dan kelompok nasionalis. Golongan Islam berkeras atas pendapatnya untuk mendirikan negara Islam. Ki Bagus misalnya berkeras rumusan Sila Pertama: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tetapi, usulan ini dan usulan lainnya yang berkenaan dengan Islam selalu ditolak kelompok nasionalis.

Merasa usulan kelompok Islam selalu ditolak, Ki Bagus sampai menyatakan: “Kami sekalian yang dinamakan wakil-wakil Islam mohon dengan hormat, supaya dari permulaan pernyataan Indonesia merdeka sampai kepada pasal-pasal di dalam UUD itu yang menyebut Allah atau agama Islam atau apa saja, dicoret sama sekali, jangan ada hal-hal itu. Kata ‘rahmat-Nya’, ‘berkat-Nya’, ‘pertolongan-Nya’ dicoret saja.” Usulan ini langsung ditolak Sukarno.

Selesai sidang, semalaman Sukarno melobi kelompok Islam. Ketika sidang dibuka, Sukarno langsung meminta agar usulan kelompok Islam diakomodasi, seperti ‘Negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’. Hasil lobi Sukarno disepakati dan dimuat dalam Piagam Jakarta.

Piagam Jakarta yang disepakati di BPUPKI ini, ketika hendak ditetapkan sebagai UUD, mengalami perubahan. Penyebabnya, laporan Shigetada Nishijima (staf dan juru bahasa Tadeshi Maeda) yang diterima Hatta pada 17 Agustus 1945 yang membawa pesan dari Indonesia Timur, bahwa mereka keberatan dengan kalimat: ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’, yang dinilai diskriminatif karena mengkhususkan kelompok agama tertentu. Bila anak kalimat tersebut tetap dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945, mereka lebih baik berdiri di luar Republik Indonesia.

Dalam merespons aduan tersebut, di hari yang sama diadakan pertemuan kilat yang diinisiasi oleh Sukarno, Hatta dan tokoh lainnya, seperti Ki Bagus, Kasman Singodimejo, Teuku Muhammad Hasan, Supomo, Radjiman Widyodiningrat, Otto Iskandar Dinata, Abdul Kadir, Ratulangi, Soerjomihardjo, Latuharhary, I Bagus Ketut Pudja, dan Andi Pangeran.

Cek Artikel:  Partisipasi Pemuda dalam Kebijakan Ekonomi

Melalui pertemuan yang tak sampai 3 jam, hal-hal penting terkait ‘Islam’ dicoret dari naskah aslinya. Hasil ‘kompromi baru’ ini telah mengubah secara fundamental isi Piagam Jakarta. (1) Kata Mukadimah diganti Pembukaan. (2) Dalam Pembukaan, anak kalimat: ‘Berdasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ diubah menjadi ‘Berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa’. (3) Pasal 6 ayat 1, ‘Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam’, kata-kata ‘dan beragama Islam’ dicoret. (4) Pasal 29 ayat 1 berubah menjadi ‘Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa’, sebagai pengganti ‘tujuh kata’ dalam Piagam Jakarta.

Menurut Kasman Singodimejo, Ki Bagus sangat gigih mempertahankan Piagam Jakarta. Meski pada akhirnya menyetujui pencoretan sebagian isi Piagam Jakarta, Ki Bagus menawarkan agar Sila Pertama setelah ‘Ketuhanan’ ditambahkan anak kalimat ‘Yang Maha Esa’ sehingga Sila Pertama menjadi: ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Kata ‘Yang Maha Esa’ dinilai sebagai kompensasi dari Piagam Jakarta. Dengan diterimanya usulan Ki Bagus, Sidang PPKI 18 Agustus 1945 mengesahkan UUD 1945 minus Piagam Jakarta.

 

Jiwa besar umat Islam

Peristiwa politik ’18 Agustus 1945′ bisa dilihat dalam dua hal. Pertama, jiwa besar kelompok Islam. Dapat dibayangkan, yang diubah itu hal prinsip terkait syariat Islam, yang diperjuangkan cukup alot di persidangan BPUPK. Tetapi, demi kepentingan bangsa yang lebih besar, kelompok Islam rela semua kata ‘Islam’ dihapus.

Kedua, perubahan Piagam Jakarta tidak bisa dipahami sebagai tidak adanya titik temu antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis. Bahkan ketika menyepakati Piagam Jakarta pertanda adanya titik temu. Begitu pun ketika terjadi perubahan atas isi Piagam Jakarta.

Menteri Keyakinan Alamsyah Ratu Prawiranegara, 1978, menyatakan, “Peristiwa 18 Agustus 1945 sebagai hadiah terbesar umat Islam kepada bangsa dan kemerdekaan Indonesia, demi menjaga persatuan Indonesia.”

Pernyataan ini tidak berlebihan. Bayangkan, sebagai negara dengan muslim mayoritas, tetapi tidak berdasarkan Islam. Upaya mendudukkan Islam sebagai dasar negara dilakukan lewat mekanisme yang elegant dan demokratis. Bahwa kemudian kelompok Islam ‘hanya’ memperoleh Piagam Jakarta pun legowo. Bahkan ketika Piagam Jakarta masih harus ditawar dengan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ juga legowo.

Perubahan Piagam Jakarta tak bisa dilihat sebagai persoalan ‘kalah menang’, tapi lebih karena adanya kesadaran kebangsaan dari kelompok Islam. Kalau semata ‘kalah menang’, kelompok Islam tentu akan bertahan dengan Piagam Jakarta karena diputuskan lewat sidang BPUPK.

Cek Artikel:  Menakar Tiga Kandidat dari Sudut Negara Kesejahteraan

Sejak terjadinya ‘kesepakatan’ 18 Agustus 1945, posisi Pancasila kukuh sebagai dasar negara. Ketika berlangsung persidangan Konstituante, tak mampu juga meloloskan kembali Piagam Jakarta masuk UUD 1945. Konstituante bahkan dinilai gagal karena tak mampu mengambil kata sepakat terkait UUD.

Kegagalan ini dijadikan pembenar bagi Sukarno untuk mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Dekrit ini bisa disebut sebagai penutup semua perdebatan dasar negara sejak BPUPK hingga Konstituante. Selepas itu, praktis tak ada lagi perdebatan serius terkait dasar negara. Yang ada hanya riak-riak kecil seperti perdebatan tentang asas tunggal Pancasila dan niat yang gagal untuk mengembalikan Piagam Jakarta saat amendemen UUD 1945 pada 1999-2002.

Kukuhnya Pancasila bisa dilihat pada dua hal. Pertama, perdebatan dasar negara sebenarnya telah berakhir pada 18 Agustus 1945. Eksis kesadaran dari kelompok Islam untuk menyepakati konsensus baru dengan mengubah isi Piagam Jakarta. Konsensus ini didorong oleh kesadaran akan pentingnya menjaga persatuan. Kalau kelompok Islam kekeh mempertahankan Piagam Jakarta, kebersatuan Indonesia akan terkoyak. Berlaku kaidah ushul dar’u al-mafasid muqaddamun ‘ala jalb al-mashalih, menghindari kerusakan (besar) harus didahulukan daripada mengambil manfaat (sedikit).

Kedua, konsensus 18 Agustus 1945 secara substansi tak mengurangi arti perjuangan kelompok Islam yang mencoba menghadirkan dasar negara Islam. Paras Islam, meski dalam pengertian yang lebih substantif, tetap terakomodasi di dalam Pancasila versi 18 Agustus 1945.

Bukan berubahnya isi Mukadimah UUD 1945, kecuali namanya berubah menjadi Pembukaan dan dihapusnya ‘tujuh kata’ pada alinea terakhir dan Sila Pertama Pancasila serta Pasal 29 ayat 1 UUD 1945, menegaskan bahwa Indonesia tak kehilangan wajahnya sebagai negara agamais meski bukan negara Islam atau ‘seminegara agama’ versi Piagam Jakarta.

Kalau menggunakan pendekatan fikih: ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu, apa yang tak dapat diraih semuanya, yang sedikit jangan ditinggalkan, kelompok Islam sebenarnya hanya menurunkan sedikit derajat perjuangan untuk menggapai kompromi dan konsensus yang elegant.

Memperjuangan dasar negara Islam tak berhasil dan hanya mendapatkan Piagam Jakarta. Kemudian Piagam Jakarta ternyata harus dikompromikan dengan menghasilkan konsensus baru maka kompromi dan konsensus 18 Agustus 1945 merupakan hasil terbaik dan maksimal dari perjuangan kelompok Islam.

Mungkin Anda Menyukai