Di Kaki Silfester Hukum Bersujud

DULU, Sekeliling 15 tahun Lampau, kewibawaan hukum negeri ini runtuh akibat Gayus Tambunan. Hukum tak punya daya, keperkasaannya sirna, di hadapan pegawai pajak itu. Di rubrik Editorial edisi 6 Januari 2011, harian ini pun Membikin judul Kepada Gayus Hukum Bersujud.

Gayus Membikin heboh. Dia bukan pejabat. Pangkatnya baru penata muda, golongan IIIA. Tetapi, jangan tanya apa yang sudah dilakukannya. Dia Rupanya bagian Krusial dari mafia pajak. Dari laku jahatnya itu, dia didakwa korupsi senilai Rp102 miliar.

Total Terdapat empat kasus yang menjerat Gayus, tiga terkait dengan korupsi dan satu Tengah soal pemalsuan paspor. Singkat cerita, dia total harus menjalani 30 tahun hukuman penjara. Publik marah. Geram. Tengah-Tengah aparat yang semestinya mengamankan Bahkan menggasak Fulus rakyat.

Itu belum cukup. Rakyat makin marah, kian geram, lantaran Gayus gampang betul menjadikan hukum sebagai mainan. Tentu dia tak sendiri. Terdapat persekongkolan, Terdapat kongkalikong, dengan penegak hukum. Bukan Sekadar sekali, dua kali, tapi beberapa kali dia melenggang dari bui. Bolehlah kita sedikit mengenang masa kelam itu.

Pada Juli 2010, Gayus yang baru empat bulan mendekam di Rutan Mako Brimob kabur selama tiga hari. Tentu bukan karena sakti mandraguna. Bukan karena punya ajian belut putih. Tak perlu pula menjebol jeruji besi. Cukup menyuap Kepala Rutan Komisaris Iwan Siswanto Rp10 juta, Dapat jalan-jalanlah dia.

Cek Artikel:  Tolak Penyimpangan Hormati Pribadinya

Sebulan kemudian, kejadian itu terulang. Kali ini, dia keluar dari rutan 19 hari. Buat membeli kebebasannya, dia menyuap Rp70 juta. Durasi Gayus menikmati dunia luar Lalu bertambah. Pada September, dia keluar dari penjara 21 hari dengan Fulus jasa Rp70 juta. Gilanya Tengah, dia pelesir ke Makau dan Kuala Lumpur dengan identitas Bajakan.

Selama Oktober, Gayus malah Sekadar sehari mendekam di rutan. Selebihnya keluyuran dan hadir di persidangan. Sebagai Fulus Swasta, dia mengucurkan Rp114 juta.

Tetapi, sepandai-pandai tupai melompat suatu Demi Anjlok juga. Serapi apa pun Gayus dan aparat menjalin perselingkuhan jahat, Niscaya terbongkar jua. Pada November 2010, Gayus tertangkap oleh kamera wartawan tengah duduk di bangku penonton turnamen tenis Dunia di Denpasar, Bali. Topi, kacamata, dan rambut Bajakan gagal menutupi identitasnya.

Republik gaduh. Pejabat kalang kabut. Rakyat emosi tingkat tinggi. Demi itulah hukum Betul-Betul bangkrut. Ambruk karena penegaknya dapat dibeli. Hukum bersimpuh di kaki penjahat yang punya Fulus. Kiranya hanya sedikit negara yang hukumnya sedemikian bobrok.

Tak Sekadar Gayus yang Dapat memaksa hukum merunduk. Sebelum dan setelahnya juga Terdapat. Belakangan, kejadian serupa terulang. Meski beda cerita, konklusinya sama, yakni betapa hukum dibuat tak berdaya ketika menghadapi orang-orang tak Lazim. Kalau Gayus Dapat membeli hukum karena uangnya bejibun, kali ini hukum kehilangan wibawa Asal Mula pengaruh kuasa. Pemainnya ialah Silfester Matutina dan aparat penegak hukum, dalam hal ini kejaksaan.

Cek Artikel:  Rasuah Timah

Kalau Gayus leluasa keluar dari penjara, Silfester malah belum juga dipenjara. Sudah enam tahun putusan inkrah memvonisnya 1,5 tahun pidana kurungan dalam kasus fitnah dan pencemaran nama Berkualitas eks Wapres Jusuf Kalla. Tetapi, selama itu pula dia tetap menikmati kebebasan. Tangan hukum tak kuasa menyentuhnya. Jaksa eksekutor dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan seolah melunglaikan diri dengan Variasi alibi.

Terdapat Dalih, Silfester tak langsung dieksekusi setelah putusan inkrah lantaran pandemi covid-19. Dalih itu kiranya tak bernilai. Nihil. Bukankah putusan inkrah terbit pada Mei 2019 sementara pemerintah menetapkan wabah covid-19 sebagai situasi darurat pada April 2020? Terdapat waktu setahun.

Mantan Kajari Jaksel Anang Supriatna beralibi dirinya telah mengeluarkan surat perintah eksekusi Silfester setelah putusan inkrah, tapi yang bersangkutan sempat hilang. Alibi itu pun sulit diterima. Sesulit itukah menangkap Silfester? Toh dia tak kabur ke luar negeri.

Dalih Anang bahwa eksekusi tak terlaksana karena kemudian terjadi covid-19 kiranya juga zonk. Okelah kalau Dalih itu Betul. Pertanyaannya, kenapa setelah covid-19 mereda pada 2021 dan dinyatakan berakhir pada Juni 2023, Silfester tak juga dieksekusi? Lagi hilangkah dia? Mahacerdikkah dia hingga eksekutor tak Bisa melacaknya? Bukankah Silfester kerap muncul di ruang publik sebagai diehard Jokowi dan bagian dari tim pemenangan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024?

Cek Artikel:  Tulang Punggung Ekonomi

Pun ketika Terdapat fakta yang diungkap Roy Suryo pada akhir Juli 2025 bahwa Silfester Rupanya berstatus terpidana setelah perkaranya Pelan terlupakan atau sengaja dibuat lupa. Faktanya, kejaksaan tak melakukan apa-apa meski Dekat tiap hari Silfester nongol di televisi.

Realitasnya, Silfester belum dieksekusi hingga kini. Yang terjadi, Silfester tetap menjabat komisaris BUMN bergaji tinggi. Sama dengan sesama loyalis Jokowi, Ade Armando, yang terbelit oleh kasus penodaan Keyakinan.

Kalau begitu, Dalih apa Tengah yang hendak engkau sampaikan Buat menepis penilaian bahwa hukum telah dipaksa bersujud di kaki Silfester? Kepada Kajari Jaksel kita bertanya, tak terusik barang sedikit sajakah integritas dan nurani Anda karena eksekusi tak kunjung terealisasi?

Kepada Sanitiar Burhanuddin, Lagi banggakah Anda sebagai Jaksa Mulia ketika penegakan hukum oleh jaksa terkesan semaunya? Atau merasa cukupkah Anda memberikan instruksi ke anak buah Buat segera mencari dan mengeksekusi Silfester, soal Penyelenggaraan urusan nanti?

Terakhir, kepada Presiden Prabowo Subianto, Lagi percayakah Bapak kepada anak buah yang Buat mengeksekusi terpidana Silfester saja tak berkutik? Ini bukan soal Silfester pribadi. Ini urusan kewibawaan hukum, masalah kesetaraan dan keadilan, yang katanya hendak Bapak tegakkan setegak-tegaknya.

Mungkin Anda Menyukai