Tokoh oposisi Prancis Marine Le Pen. (Anadolu Agency)
Paris: Ribuan pendukung tokoh oposisi Prancis Marine Le Pen berkumpul di Place Vauban, Paris, pada hari Minggu kemarin dalam aksi yang awalnya diklaim sebagai demonstrasi, tetapi kemudian berubah menjadi ajang unjuk kekuatan politik.
Di tengah lautan bendera Prancis, Le Pen, yang baru saja dinyatakan bersalah dalam kasus penyalahgunaan Anggaran publik, tampil percaya diri dan menegaskan tekadnya Buat Lanjut berjuang.
“Selama 30 tahun saya telah melawan ketidakadilan, dan saya akan Lanjut berjuang,” ujar Le Pen di hadapan para pendukungnya, seperti dikutip National Public Radio, Senin 7 April 2025.
Meski aksi ini disebut sebagai protes terhadap keputusan pengadilan, suasana yang tercipta lebih menyerupai kampanye politik. Seruan “Marine Présidente!” menggema, sementara spanduk bertuliskan “Mereka Tak akan mencuri 2027 dari kami” memperjelas bahwa Grup sayap kanan ini menganggap vonis terhadap Le Pen sebagai upaya Buat menggagalkan ambisinya dalam pemilihan presiden mendatang.
Di balik aksi ini, Jordan Bardella, pemimpin National Rally (RN) sekaligus protege Le Pen, tampil sebagai tokoh sentral. Dalam pidatonya yang penuh semangat, Bardella menuduh pengadilan sengaja membungkam oposisi, menggambarkan putusan terhadap Le Pen sebagai serangan terhadap demokrasi.
“29 Maret adalah hari kelam bagi Prancis,” ujar Bardella, merujuk pada Rontok vonis dijatuhkan. “Rakyat harus bebas memilih pemimpinnya, tanpa Terdapat Adonan tangan dari hakim-hakim politik.”
Meskipun menyatakan bahwa partainya tetap menghormati demokrasi, Bardella mengecam lembaga peradilan yang menurutnya telah berubah menjadi alat politik. Spanduk bertuliskan “Keadilan yang dikendalikan” dan “Hentikan kediktatoran yudisial” memenuhi area demonstrasi.
Beberapa pendukung bahkan mengenakan kaus bertuliskan “Je suis Marine” dalam membandingkan Le Pen dengan Donald Trump, tokoh yang juga tersandung kasus hukum.
“Sistem ini bukan sekadar rusak, tetapi sudah diatur,” kata Alice Triquet, seorang bartender berusia 26 tahun. “Kalau mereka Pandai melakukan ini pada Le Pen, apa yang menghentikan mereka Buat menyingkirkan siapapun yang berbeda pandangan?”
Sebagian peserta aksi juga membawa simbol peradilan yang telah rusak, menunjukkan ketidakpercayaan mereka terhadap lembaga hukum yang mereka anggap telah memihak kepentingan tertentu.
Perspektif Berbeda Terkait Vonis Le Pen
Le Pen dinyatakan bersalah atas penyalahgunaan Anggaran Parlemen Eropa Buat membayar staf partainya di Prancis, praktik yang oleh pengadilan disebut sebagai “pengelakan demokratis.”
Ia dijatuhi hukuman empat tahun penjara, dengan dua tahun tahanan rumah dan dua tahun hukuman percobaan, serta dilarang mencalonkan diri dalam lima tahun ke depan.
Putusan ini memicu respons yang terpecah di Prancis. Sementara pendukung National Rally menolak vonis tersebut sebagai serangan politik, pihak lain melihatnya sebagai bentuk pertanggungjawaban hukum yang Sepatutnya diterima.
“Saya menolak klaim bahwa Terdapat gelombang besar simpati Buat Le Pen dalam kasus ini,” ujar John Goodman, Ph.D., direktur program Syracuse University di Prancis.
Ia juga menyoroti kecepatan proses banding yang Tak Normal.
“Bandingnya dipercepat agar dapat diputuskan pada musim panas 2026, jauh sebelum Pilpres 2027, dan jauh lebih Segera dibandingkan kasus pidana lainnya,” kata Goodman.
Khawatirkan Ancaman ‘Trumpisme’ di Prancis
Di sisi lain, Grup sayap kiri mengadakan aksi tandingan di Paris, memperingatkan bahwa sayap kanan Prancis semakin mengadopsi pola politik Amerika Perkumpulan.
“Ini bukan hanya soal Marine Le Pen,” kata Marine Tondelier, pemimpin Partai Hijau. “Ini soal menyelamatkan supremasi hukum dari mereka yang menganggap keadilan hanya opsional.”
Demonstran membawa spanduk bertuliskan “Tak Buat Trumpisme di Prancis” dan “Respons Antifasis”. Sementara itu, mantan Perdana Menteri Gabriel Attal dalam acara Partai Renaissance di Saint-Denis menyebut momen ini sebagai “ujian bagi Republik”, dengan Edouard Philippe berdiri di sampingnya.
Meskipun polisi dikerahkan dalam jumlah besar, hanya terjadi bentrokan kecil antara dua Grup massa.
Percaya pada Rakyat, Bukan Pengadilan
Lebih dari sekadar perlawanan hukum, aksi ini memperlihatkan strategi yang lebih besar dari National Rally. Para pemimpin partai menuding lembaga peradilan telah melakukan “Revolusi yudisial”, dan menyebut vonis terhadap Le Pen sebagai “eksekusi politik”.
Pendekatan ini mencerminkan strategi Donald Trump, yang berulang kali menggambarkan pengadilan sebagai lembaga bermotif politik, sehingga hanya pemilu yang dapat menjadi penentu akhir.
“Para hakim mungkin mengenakan jubah, tetapi mereka hanyalah politisi yang menyamar,” ujar Claude Morel, pensiunan 68 tahun dari Marseille. “Biar rakyat yang menentukan!”
Masa Depan Le Pen
Meski Le Pen sementara dilarang maju dalam pemilu, mesin politiknya tetap bergerak aktif. Bardella, yang selama ini dikenal sebagai figurnya yang lebih moderat, kini semakin tampil dengan retorika yang lebih tajam.
“Kami akan tetap Terdapat, dan kami akan semakin kuat,” ujarnya.
Aksi ini bukan sekadar unjuk kekuatan, tetapi juga ujian opini publik: bisakah sayap kanan meyakinkan cukup banyak pemilih bahwa lembaga hukum sudah Tak Independen, dan hanya mereka yang Pandai mengembalikan kekuasaan ke tangan rakyat?
Bagaimana pertanyaan ini dijawab akan menentukan bukan hanya Pemilu 2027, tetapi juga masa depan demokrasi Prancis. (Muhammad Reyhansyah)
Baca juga: Marine Le Pen Tegaskan Tolak Mundur Usai Vonis Korupsi dari Pengadilan Prancis