Deminya Menangkan Indonesia

KETELADANAN menjaga muruah bangsa ditunjukkan oleh KH Ahmad Mustofa Bisri, Mustasyar PBNU, di tengah kancah politik pemilu yang kian sengit. Gus Mus, demikian dia dipanggil, mengingatkan kembali agar Nahdlatul Ulama (NU) tidak kehilangan muruah dan tersesat di tiga jalur politik kuasa yang tengah bertarung. NU harus tetap pada khitah netral. Ini sudah menjadi kekhasan warga NU atau nahdliyin yang sejak lama tidak tersentralistik di satu kutub politik.

Ketika figur pimpinan organisasi NU mulai cenderung menunjukkan keberpihakan, pertanyaan ke mana NU berlabuh makin menjadi sorotan. Di titik ini, perlu ada peluit yang dibunyikan untuk mengingatkan. Perlu ada rem agar tidak kebablasan, sehingga warga NU tidak dirugikan hanya karena bahtera besar tempat mereka bernaung sibuk dengan gelombang ‘copras-capres’.

Cek Artikel:  Sidang Sengketa Pemilu tak sekadar Basa-Basi

Gus Mus menyuarakan hal yang esensial. Menyitir istilah kolumnis NU Mahbub Djunaidi, NU pantang doyong-doyong seperti daun bawang. Memang tidak mudah untuk berada di jalan tengah kala godaan politik kekuasaan ada di kanan kiri. Tetapi demikian, NU harus taat pada panggilan muruahnya demi kebaikan warganya, demi dan demi martabat bangsa.

“Urusannya NU itu memperbaiki kinerja memenangkan Indonesia, bukan memenangkan capres,” kata Gus Mus saat memberikan tausiyah di acara Konferensi Besar Nahdlatul Ulama dan Halaqah Nasional Strategi Peradaban Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, Senin (29/1/2024).

Gus Mus memang benar bahwa yang terpenting ialah memenangkan rumah besar bernama Indonesia. Dengan Indonesia menang, bangsa ini akan sejajar, terpandang, bahkan disegani di antara bangsa-bangsa lain. Dengan Indonesia menang, rakyat semakin sejahtera dan bisa memberi kontribusi besar bahkan menjadi pemain paling penting di kawasan.

Cek Artikel:  Memastikan Tiket Hak Angket

Patut diingat, NU adalah ormas terbesar di Indonesia. Sejak lama, kepentingan bangsa menjadi yang terutama. Pesan Gus Mus soal netralitas karena itu patut diapresiasi dan diikuti. Lebih jauh, NU yang menjunjung netralitas bisa menjadi contoh kala karut-marut tidak netralnya para penyelenggara negara belakangan ini.

Aroma ketidaknetralan itu semakin kental terasa setelah Presiden Joko Widodo terang-terangan menyatakan ia bisa berkampanye dan memihak pasangan calon tertentu. Pernyataan itu jelas bertentangan dengan semangat Pasal 282 UU No. 7 Pahamn 2017 tentang Pemilu. Di sana terdapat larangan kepada pejabat negara membuat keputusan atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.

Cek Artikel:  Teladan Defisit Rasuah Melejit

Publik tentu berharap suara dari Gus Mus terus menggema dan menjalar agar NU terus berada di jalur yang benar. Publik juga rindu agar pesan tersebut mampu mengetuk nurani para penyelenggara dari level tertinggi hingga desa untuk bersama-sama memenangkan Indonesia. Kalau NU yang menjadi bagian ormas saja pemimpinnya meniupkan peluit perlunya memenangkan bangsa dan negara, apalagi para pemimpin negara, mestinya jauh lebih berkepentingan memenangkan Indonesia.

Mungkin Anda Menyukai