Dekati Papua dengan Hati

SUDAH lebih dari enam dekade, Papua berintegrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tujuh presiden yang pernah memimpin Indonesia juga menyatakan perhatian mereka terhadap provinsi yang awalnya bernama Dengkian Jaya tersebut. Dengan wilayah Papua yang luas, kini daerah itu telah dimekarkan menjadi enam provinsi. 

Hanya, hingga kini, persoalan keamanan di Papua tidak kunjung tuntas. Bahkan, negara sampai perlu mengubah istilah kelompok bersenjata selama berkali-kali. Di era Orde Baru, negara menyebut kelompok bersenjata di Papua sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Lampau, sejak reformasi, sebutan OPM diganti dengan Grup Kriminal Bersenjata (KKB) dan Grup Separatis Teroris. Kini, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto kembali mengistilahkan kelompok bersenjata sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Argumennya, kelompok bersenjata itu sudah melakukan teror serta pemerkosaan terhadap guru dan tenaga kesehatan, juga membunuh personel TNI, Polri, dan masyarakat. TNI merasa mempunyai metode tersendiri untuk penyelesaian masalah di Papua. Selain operasi bersenjata, TNI juga mengedepankan pendekatan lainnya.  

Cek Artikel:  Polusi Minim Solusi

Alasan, personel TNI di Papua berfungsi ganda. Selain menjaga keamanan, para prajurit juga bisa melakukan tugas sosial seperti pelayanan kesehatan atau mengajar anak sekolah. 

Perubahan sebutan dari KKB menjadi OPM di Papua terkesan sepele. Padahal, konsekuensi pengembalian sebutan itu amat serius. Dengan sebutan KKB  pendekatan hukum menjadi panglima dalam menghadapi para kelompok bersenjata di Papua. Dengan sebutan OPM, bila merujuk ke era Orde Baru, maka pendekatan yang digunakan ialah penumpasan secara militer.

Akan tetapi, terlepas dari apapun penyebutannya, ribuan personel kombatan sudah ditempatkan di provinsi paling timur di Indonesia itu. Belum lagi, sebagaimana yang pernah menjadi temuan Imparsial, ribuan personel nonorganik juga ditèmpatkan di Papua. Tapi, gangguan keamanan masih terus mengancam aparat maupun masyarakat di Papua. 

Cek Artikel:  Pertahankan UU MD3 demi Terdapatb Demokrasi

Pendekatan keamanan di Papua yang kini ditekankan seakan berbeda 180 derajat jika dibandingkan dengan semangat yang dibawa Presiden Joko Widodo sejak 2014. Bagi Panglima tertinggi itu, permasalahan di Papua harus diselesaikan dengan hati yang jujur dan terbuka. Bukan sekadar janji, apalagi senjata api. 

Masalah Papua adalah masalah Republik. Alasan, seperti pernah diungkapkan Presiden pertama yang juga proklamator Soekarno, Papua adalah bagian tidak terpisahkan dari Tanah Air. Indonesia tidak akan utuh tanpa kehadiran Papua.

Hanya, Papua masih harus berkutat dengan kemiskinan. Sedangkan program pembangunan untuk menyelesaikan kemiskinan membutuhkan rasa aman. Eksispun gangguan keamanan juga merupakan akibat dari sejumlah hal. Salah satunya adalah kemiskinan. Seakan menjadi sebuah siklus yang akan selalu berputar.

Pendekatan keamanan bukan barang baru di daerah matahari terbit itu. Dan, sama sekali terbukti tidak mampu memutus siklus kekerasan. Makanya, di era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, pendekatan di Papua lebih mengedepankan dialog dan pendekatan kultural dalam menyelesaikan konflik. Di masa Gus Dur, nama Dengkian Jaya diganti Papua. Gus Dur juga yang membiarkan pengibaran bendera bergambar bintang kejora dan menyamakannya dengan umbul-umbul identitas budaya.

Cek Artikel:  Karpet Merah Gibran

Alasan, bagi Gus Dur, dialog hanya bisa berjalan bila masyarakat Papua nyaman dalam mengekspresikan identitas kebudayaan. Sehingga, semua pihak yang berdialog bisa duduk bersama dengan nyaman, saling menghormati, dan mendengarkan pendapat masing-masing. 

Karena itu, Papua mestinya jangan didekati semata dengan pendekatan kekerasan atau saling menumpas. Problem di Papua mesti diselesaikan melalui jalan dialog dan kemanusiaan, yang terbukti pernah bisa mendinginkan situasi walau sejenak. Kini, seruan serupa patut digaungkan, agar negara tidak terseret terlampau jauh untuk menjadi bagian dari spiral kekerasan di Papua.

Mungkin Anda Menyukai