Deindustrialisasi Awal

TENGAH bulan Lewat, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat memberikan keterangan miris: sepanjang 2025 ini (lima bulan) sudah Terdapat lima pabrik di Jawa Barat yang menutup operasional mereka dan melakukan pemutusan Interaksi kerja (PHK) terhadap ribuan karyawan mereka. Kepala Bidang Interaksi Industrial Disnakertrans Jawa Barat Firman Desa mengatakan lima pabrik yang gulung tikar itu tersebar di tiga daerah, yakni Kabupaten Bekasi, Kota Cimahi, dan Kabupaten Garut.

Biar Kagak disangkal dan dianggap mengada-Terdapat, baiklah saya perinci lima industri manufaktur yang gulung tikar itu. Terdapat PT Sanken Indonesia, PT Yamaha Music Product Asia, dan PT Tokai Kagu yang ketiganya berlokasi di Kabupaten Bekasi; PT Danbi Dunia di Kabupaten Garut; dan PT Bapintri di Kota Cimahi.

Dalih penutupan pabrik itu bervariasi, mulai Dampak ekonomi Dunia hingga residu dari pandemi covid-19 yang belum selesai. Yang Niscaya, akibat lanjutan dari penutupan lima pabrik tersebut ialah sebanyak 3.200 pekerja terkena PHK.

Biar Kagak dikatakan mengarang, saya sebutkan pula detail perincian data mereka yang terkena PHK, yakni di PT Sanken Indonesia Terdapat 459 orang kena PHK, di PT Yamaha Music Product Asia 200 orang, di PT Tokai Kagu 195 orang, di PT Danbi International di Kabupaten Garut 2.079 orang, dan di PT Bapintri 267 orang.

Cek Artikel:  Inkonstitusionalitas Bersyarat

Dengan demikian, bertambahlah jumlah total pekerja terkena PHK di Jawa Barat dalam kurun 1,5 tahun menjadi 30 ribu pekerja. Tahun Lewat, PHK di Jawa Barat mencapai 26.820 orang. Sektor paling banyak melakukan PHK ialah industri manufaktur. Kawasan paling banyak terjadi PHK ialah daerah Cikarang dan Bekasi yang mencapai 2.965 orang, Karawang 3.138 orang, dan Kota Bekasi 4.346 orang.

Jumlah PHK pada tahun ini, bila ditambah dengan PHK tahun sebelumnya pada 2024 menjadi Dekat 85 ribu pekerja. Sebelumnya, pada 2023, Bilangan PHK di Jawa Barat mencapai 54.131 orang, kebanyakan dari sektor barang dan jasa, aneka industri, dan barang konsumsi.

Data di Jawa Barat itu juga termasuk sebagian dari kondisi industri nasional yang terpuruk dalam dua Sebelah tahun terakhir. Awal tahun ini, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (Apsyfi) memaparkan sebanyak 60 perusahaan tekstil dalam negeri mengalami guncangan bisnis dalam dua tahun terakhir.

Apsyfi memberikan data bahwa sebanyak 34 perusahaan telah menutup usaha mereka dan menghentikan operasional pabrik. Sisanya, yakni sebanyak 26 perusahaan, menempuh jalur PHK, merumahkan pekerja, hingga relokasi pabrik ke luar negeri. Selama kurun itu, Sekeliling 250 ribu pekerja terkena PHK.

Cek Artikel:  Pecunia Non Olet

Saya memulai data-data dari Jawa Barat itu Demi membuka ruang perdebatan yang Tetap Mantap, yakni jawaban atas pertanyaan benarkah deindustrialisasi telah terjadi di negeri ini? Sejauh ini, Terdapat dua kutub dalam menjawab isu itu. Satu kutub Percaya deindustrialisasi telah terjadi.

Bahkan, mereka menyebut deindustrialisasi Awal, alias deindustrialisasi sebelum negeri ini sepenuhnya masuk era industri. Kutub lainnya menolak telah terjadi deindustrialisasi. Kutub itu berasal dari pejabat pemerintah.

Para Spesialis dan analis ekonomi menyebut negeri ini telah mengalami deindustrialisasi Awal. Personil Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri menyebut deindustrialisasi Awal tergambar dari makin minimnya Bagian kontribusi sektor industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB). Sejumlah analis dan lembaga ekonomi menyampaikan argumentasi serupa.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan distribusi industri pengolahan atau manufaktur terhadap PDB Tetap merosot dalam satu Sepuluh tahun ini. Pada 2014, distribusi industri pengolahan terhadap PDB Tetap 21,02%. Tetapi, pada 2019 tersisa 19,7% dan pada 2023 kian merosot menjadi 18,67%. Tetapi, pada 2024 sedikit naik menjadi 19,13%.

Salah satu penyebab deindustrialisasi Awal terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan. Penyakit belanda itu terjadi ketika sebuah negara melakukan Pendayagunaan besar-besaran sumber daya alam mereka secara mentahan, bukan Sebelah diolah, apalagi diolah berbentuk barang jadi.

Cek Artikel:  Maling Duit Rakyat Lagi Berkeliaran

Sepanjang 2000 Tiba dengan 2011, kita mengalami mild dutch disease akibat booming komoditas. Akibatnya, kinerja ekspor industri manufaktur Mekanis loyo karena tipe industri itu bukan sebagai pembuat harga sebagaimana industri ekstraktif.

Tetapi, lain analis lain pula pendapat pemerintah. Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita membantah telah terjadi deindustrialisasi di Indonesia. Ia mengacu pada sejumlah lembaga, Berkualitas dalam maupun luar negeri, yang menyebut industri manufaktur Tetap jadi penggerak Primer pertumbuhan ekonomi nasional.

Berdasarkan data World Bank dan United Nations Statistics, Agus mengatakan nilai manufacturing value added (MVA) Indonesia pada 2023 menembus Bilangan US$255,96 miliar. Capaian itu disebut sebagai yang tertinggi yang pernah diraih Indonesia. Tentu, itu bila dilihat dari sisi nilai.

Akan tetapi, yang Jernih, terjadi atau belumnya deindustrialisasi, fakta menunjukkan sudah Terdapat lebih dari 60 pabrik gulung tikar dalam dua Sebelah tahun. Sudah Terdapat penambahan Bilangan pengangguran hingga lebih dari 83 ribu orang. Distribusi sektor manufaktur terhadap PDB juga cenderung turun. Lalu, kita harus bilang apa Tengah?

Mungkin Anda Menyukai