Daya Magis Kesetiaan Hachiko

TOKYO, Jepang, tidak hanya berbicara soal peradaban supermodern. Kisah kesetiaan paling hebat sepanjang sejarah tersimpan apik dalam tugu anjing Hachiko di halaman Stasiun Shibuya.

Berbondong-bondong orang dari seluruh penjuru dunia mampir di tugu Hachiko. Mereka rela antre untuk menunggu giliran berfoto sambil memegang patung Hachiko.

Daya magis Hachiko ada pada kesetiaannya. Harus jujur diakui bahwa kesetiaan mulai luntur dari diri manusia modern terutama para politikus. Mencari kesetiaan itu ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Orang yang setia adalah orang yang menjaga kenangan dan masa kini bersama-sama.

Politisi mengikat kesetiaan kepada kepentingan pragmatis. Mereka menjauhi makna leksikon kesetiaan yang berarti keteguhan hati; ketaatan (dalam persahabatan, perhambaan, dan sebagainya).

Hachiko ialah anjing jantan jenis akita inu. Ia lahir di Kota Odate pada 10 November 1923. Hachiko bertransformasi menjadi anjing yang setia kepada tuannya ketika Profesor Ueno membawa dan memeliharanya di Tokyo.

Kesetiaan diperlihatkan Hachiko yang setiap hari mengantar dan menjemput di Stasiun Shibuya, menunggu Profesor Ueno pulang mengajar di Universitas Kekaisaran Tokyo. Ketika sang profesor meninggal dunia pada 1925, Hachiko masih terus menantinya di Stasiun Shibuya setiap hari hingga 10 tahun kemudian.

Cek Artikel:  Kisah Klise Berburu Harun Masiku

Terkait kesetiaan, tidaklah berlebihan jika aktris Gilda Radner berpikir bahwa anjing adalah makhluk yang paling menakjubkan; mereka memberikan cinta tanpa syarat. “Bagi saya, mereka (anjing) adalah panutan untuk hidup.”

Sejatinya kesetiaan menjadi penting dalam sebuah negara. Postulat bernegara yang kerap dirujuk ialah kesetiaan kepada partai politik berakhir begitu pengabdian kepada negara dimulai. Praktik yang dilakukan di negeri ini ialah kesetiaan kepada partai berakhir menjelang pemilihan presiden.

Keberadaan partai politik menjadi syarat utama demokrasi. Tak ada demokrasi tanpa partai politik. Kiranya pembangunan partai politik mengarah pada penguatan sistem dan kelembagaan.

Fakta kasatmata saat ini ialah kesetiaan kepada partai sangat longgar karena tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Hanya kepentingan yang abadi. Jangan heran, begitu mudah orang meninggalkan partai yang telah membesarkan karier politiknya untuk mencari peluang yang baru.

Cek Artikel:  Guru Kencing Berlari

Undang-Undang Nomor 2 Mengertin 2008 tentang Partai Politik menyebutkan partai politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi, antara lain, bakal calon anggota DPR RI dan DPRD; bakal calon presiden dan wakil presiden; dan bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Rekrutmen jabatan publik itu mestinya dilakukan secara demokratis dan terbuka. Pangkal masalah para kader menempuh jalan pisah karena proses rekrutmen amat elitis. Tak mengherankan jika kader partai melepas status petugas partai untuk bergabung dengan capres dari partai lainnya.

Proses pemilihan presiden dan wakil presiden kali ini terang benderang memperlihatkan watak ketidaksetiaan kepada partai politik. Kader partai yang pernah menduduki jabatan publik serta-merta berpaling dukungan kepada kader partai lain.

Tak sedikit pula kader partai lompat pagar untuk bisa dicalonkan partai lain menjadi calon anggota legislatif. Politisi kutu loncat menjadi fenomena lima tahunan seturut agenda pemilu.

Cek Artikel:  Perlawanan Riang

Ketidaksetiaan lainnya dalam bentuk pengingkaran sumpah jabatan. Eksis pejabat cawe-cawe dalam pemilu padahal mestinya ia setia pada sumpahnya untuk menjalankan undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya.

Pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi juga sebagai bentuk ketidaksetiaan kepada sumpahnya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugasnya, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian.

Politik pragmatis telah menguapkan kesetiaan kader kepada partai kendati pengabdian kepada negara belum dimulai. Manuel Luis Quezón, mantan Presiden Persemakmuran Filipina (1878), pernah menyatakan, “My loyality to party end when my loyality to country begins,” yang artinya ‘kesetiaan saya kepada partai berakhir ketika kesetiaan kepada negara dimulai’.

Kesetiaan menjadi daya magis Hachiko yang jarang ditemukan contohnya di kalangan pejabat publik. Cermatlah kata novelis Mark Twain, “Semakin banyak saya belajar tentang orang, semakin saya menyukai anjing saya.”

Mungkin Anda Menyukai