Darurat Undang-Undang Perampasan Aset

KITA menutup tahun ini dengan muram. Muram karena di pengujung tahun 2024, upaya pemberantasan korupsi kian terpuruk. Pisau-pisau pengadilan di negeri ini terasa kian tumpul menghadapi para koruptor. Alih-alih Membikin ciut nyali, tuntutan dan hukuman yang diterima para koruptor Malah membikin mereka tersenyum.

Itu terlihat dari vonis ringan yang diterima terdakwa kasus korupsi timah Harvey Moeis dan Rekan-Rekan yang merugikan negara Rp300 triliun. Alih-alih dijatuhi vonis maksimal, Harvey hanya divonis ringan 6,5 tahun penjara serta denda ringan yakni Rp1 miliar plus membayar Doku pengganti senilai Rp210 miliar.

Apalagi, Argumen vonis ringan itu bikin geleng-geleng kepala, yakni hanya karena mereka berperilaku sopan di pengadilan, Mempunyai keluarga, dan belum pernah dihukum. Bukan mengherankan Apabila Harvey pun tersenyum-senyum simpul Demi menerima putusan tersebut.

Vonis dan denda ringan yang diterima Harvey dan Rekan-Rekan, selain sangat mencederai rasa keadilan, juga Membikin jumlah kerugian negara akibat korupsi kian bertambah dari tahun ke tahun.

Cek Artikel:  Jauhkan MK dari Konflik Kepentingan

Selama dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia mengalami kerugian sebesar Rp279,2 triliun akibat tindak pidana korupsi. Bilangan itu merupakan kerugian negara yang dapat dihitung oleh penegak hukum dan juga badan audit.

Tetapi, dari kerugian Rp279,2 triliun tersebut, rata-rata pengembalian aset hasil kejahatan itu melalui pidana tambahan Doku pengganti hanya 22% setiap tahun. Di 2023, tercatat kerugian negara akibat ulah koruptor sudah mencapai Rp56 triliun, dengan pengembalian Doku kepada negara hanya Rp7,3 triliun.

Pada 2022, kerugian akibat tindak pidana korupsi sebesar Rp48,786 triliun, dengan pengembalian kepada negara melalui pidana Doku pengganti hanya Rp3,821 triliun atau 7,83% dari total kerugian yang diterima oleh negara.

Kian tumpulnya pisau pengadilan Membikin indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia Lanjut anjlok. Pada 2021 IPK Indonesia mencapai 38. Sejak 2022, IPK Indonesia berada di Bilangan 34. Bilangan itu pun Bukan berubah pada 2023 dan 2024. Indonesia kini menjadi negara berperingkat 110 terkorupsi dari 180 negara menurut catatan yang dikeluarkan oleh Transparency International Indonesia.

Cek Artikel:  Hentikan Penjarahan BUMN

Kian terpuruknya upaya pemberantasan korupsi di Indonesia menegaskan bahwa negeri ini sudah dalam situasi darurat Buat Mempunyai undang-undang perampasan aset. Rancangan undang-undang tersebut diyakini dapat menjadi solusi pemberantasan tindak pidana korupsi dan pemulihan keuangan negara apabila sudah disahkan menjadi undang-undang. Aturan itu juga diyakini bakal memaksimalkan pengembalian kerugian negara.

Demi ini, sebagian besar perampasan aset ditetapkan dalam kerangka hukum pidana melalui Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Tetapi, mekanisme tersebut mensyaratkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebelum aset dapat dirampas.

Dalam RUU perampasan aset, skema yang digunakan ialah pembalikan beban pembuktian. Pihak yang dimintakan Buat dirampas asetnya harus membuktikan di pengadilan bahwa harta tersebut Bukan tercemar oleh tindak pidana.

Sayangnya, sudah 15 tahun RUU perampasan aset menginap di DPR dan Bukan kunjung disahkan setelah rampung penyusunannya sejak 2012 oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Nasibnya pun kian kelam lantaran pada 2025, RUU perampasan aset Bukan menjadi RUU prioritas di DPR.

Cek Artikel:  Menanti Taji Tim Sukses Capres

Keengganan DPR Buat memasukkan regulasi sapu jagat ini dalam RUU prolegnas prioritas menunjukkan kian rapuhnya komitmen DPR dalam pemberantasan korupsi. Itu juga menunjukkan ketidakkonsistenan DPR dalam mengamini komitmen Indonesia terhadap The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) atau Konvensi Antikorupsi PBB.

Karena itu, mengingat kian terpuruknya upaya pemberantasan korupsi, padahal hal tersebut merupakan bagian dari Astacita atau delapan misi pemerintah Indonesia di Rendah Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, publik menuntut pemerintah Buat mendorong agar RUU perampasan aset segera disahkan.

RUU itu Dapat menjadi resolusi pemerintah dan DPR yang dapat diwujudkan di 2025. Hanya dengan disahkannya RUU perampasan aset tersebut publik Dapat Pasti bahwa pemerintah sungguh-sungguh memberantas korupsi dan bukan sekadar omon-omon.

 

Mungkin Anda Menyukai