Darurat Korupsi Infrastruktur


INFRASTRUKTUR menjadi sasaran empuk para koruptor sejak era Orde Baru hingga kini. Bahkan, korupsi di proyek prasarana semakin marak. Hal itu seiring dengan pengalokasian anggaran infrastruktur yang cenderung Maju meningkat di era Presiden Joko Widodo hingga mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah.

Ketika menyampaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan Nota Keuangan Tahun 2024 pada 16 Agustus 2023 Lampau, Jokowi menyebut anggaran infrastruktur tahun depan akan dialokasikan sebesar Rp422,7 triliun.

Sepanjang 2014-2022, Jokowi sudah menghabiskan anggaran infrastruktur sebanyak Rp2.778,2 triliun. Ditambah dengan tahun ini yang dialokasikan Rp392 triliun, besaran belanja anggaran prasarana hingga akhir 2023 akan tembus Rp3.000 triliun.

Nilai itu melonjak lebih dari tiga kali lipat Apabila dibandingkan dengan di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2005-2013 yang hanya Rp824,8 trilun.

Cek Artikel:  Jangan Biarkan Koruptor Bersorak

Seperti peribahasa ‘Eksis gula, Eksis semut’, dengan gelontoran Anggaran jorjoran, proyek infrastruktur begitu menggiurkan bagi para pemburu rente. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut, selama 2015-2018 saja, kasus korupsi infrastruktur naik 50%. Banyak di antaranya di bidang transportasi, seperti jalan, jembatan, dan jalur kereta api (KA).

Pada April Lampau, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menguak kasus dugaan korupsi proyek pembangunan dan perbaikan rel KA di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi. Kasus itu diduga terjadi pada tahun anggaran 2021-2022. KPK menemukan indikasi pemufakatan jahat dengan penerimaan suap sebesar 5%-10% dari nilai proyek.

Yang terbaru, korupsi dipergoki Kejaksaan Akbar pada proyek pembangunan Jalan Tol Jakarta-Cikampek (Japek) Elevated II atau Tol Mohammed bin Zayed (MBZ). Proyek tol yang dikerjakan pada 2017-2020 tersebut menelan anggaran Rp13,5 triliun.

Cek Artikel:  Memilih Penjaga Konstitusi

ICW meyakini jumlah kasus korupsi infrastruktur yang terjadi di lapangan lebih banyak ketimbang yang ditangani penegak hukum. KPK pun mengakui korupsi sudah sistemik di sektor infrastruktur.

Menurut lembaga antirasuah itu, dari nilai kontrak 100%, nilai riil infrastruktur umumnya hanya tersisa 50% yang digunakan Kepada pembangunan. Selebihnya menjadi bancakan para koruptor.

Sesungguhnya Enggak Eksis yang salah dengan ambisi Presiden Jokowi Kepada menggencarkan pembangunan infrastruktur. Malah, keberhasilan Jokowi mengeksekusi sejumlah megaproyek yang sempat mangkrak di era SBY patut kita apresiasi.

Tetapi, Jokowi luput memperhitungkan lemahnya kapasitas SDM. Transparency International Indonesia (TII) menyoroti penerapan sistem digital yang belum efektif karena masalah integritas SDM dan buruknya kualitas penegakan hukum.

Karena persoalan itu pula, TII mengingatkan tingginya risiko korupsi proyek-proyek infrastruktur dengan anggaran jumbo, seperti proyek Kereta Segera Jakarta-Bandung dan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.

Cek Artikel:  Usut Tuntas Tragedi Morowali

Pengaruh korupsi infrastruktur bukan hanya pada kualitas proyek, tetapi juga pada beban utang yang harus ditanggung rakyat. Pada periode 2020-2024, kemampuan APBN Kepada membiayai pembangunan infrastruktur hanya Kurang Lebih 30%.

Sisanya yang mencapai nominal Rp1.400-an triliun harus dibiayai dari sumber lain, termasuk utang. Anggaran negara Dapat jebol oleh proyek-proyek yang boros biaya karena dananya banyak mengalir ke kantong pribadi.

Ketika ini, korupsi infrastruktur sudah masuk kondisi darurat. Pemerintah sebaiknya lebih berhati-hati mengeksekusi proyek infrastruktur.

Setiap proyek harus direncanakan secara matang dengan pengawalan akuntabilitas secara ketat dan transparan agar Enggak menjadi relik sebagai simbol ketamakan para koruptor.

Mungkin Anda Menyukai