
SEJARAH mencatat, sejak lelet halalbihalal telah menjadi tradisi khas Indonesia yang mengisi ruang-ruang sosial pasca-Idul Fitri pada bulan Syawal. Tetapi, di tengah dinamika bangsa yang semakin berkemajuan, perlu melakukan pembacaan ulang terhadap Arti mendalam dari khazanah kultural ini.
Jika sebagian besar umat Muslim Indonesia melaksanakan halalbihalal, Tetapi perlu Lalu didorong Demi lebih memahami dimensi sosial-ekonominya. Dengan menggelorakan gerakkan Kasih zakat dan filantropi Islam Demi semakin mendorong percepatan putaran roda ekonomi syariah.
Fenomena ini memacu dan memicu semangat mentransformasikan halalbihalal menjadi gerakan kolektif Demi pemberdayaan mustahik dan mengoptimalisasi peran muzaki Demi penguatan ekonomi syariah nasional.
Alasan, halalbihalal sering dipahami sekadar sebagai ajang silaturahmi. Padahal, nilai ekonomi syariah yang terinspirasi dari spirit kebersamaan seperti halalbihalal tumbuh signifikan setiap tahun, dengan partisipasi mustahik sebagai pelaku usaha Lalu meningkat. Ini membuktikan bahwa tradisi ini bukan hanya ritual, melainkan katalis pemberdayaan ekonomi umat.
Esensinya jauh lebih dalam: ia adalah manifestasi nilai-nilai sosial-ekonomi syariah yang Pandai menggerakkan pemberdayaan mustahik (penerima zakat) dan memperkuat regulasi halal. Dalam konteks keindonesiaan, halalbihalal Kagak hanya mempertemukan Insan, tetapi juga menjadi katalis bagi penguatan ekonomi syariah, etika sosial, dan produksi halal yang berkelanjutan.
Dalam perspektif sosiologis, halalbihalal adalah social capital yang memperkuat kohesi bangsa. Nilai-nilainya telah melahirkan ekosistem ekonomi syariah, mulai dari perbankan hingga industri halal. Kemudian, regulasi seperti Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH), juga lahir dari semangat ini. Legislasi yang Kagak hanya menjamin kehalalan, tetapi juga membuka lapangan kerja bagi mustahik.
Regulasi Halal: dari Konsep ke Aksi Konkret
UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menjadi bukti Konkret kolaborasi ulama, pemerintah, dan pelaku usaha. Regulasi ini mendorong pertumbuhan industri halal Indonesia, yang diprediksi mencapai 281 miliar dolar Amerika Perkumpulan (AS) pada 2025, menurut State of the State of Dunia Islamic Economy (SGIE) Report 2023.
Sementara SGIE Report 2024 mencatat, pengeluaran Muslim dunia Demi produk halal mencapai 2,4 triliun dolar AS dan diprediksi akan Lalu meningkat hingga 3 triliun dolar AS pada 2025. Di Indonesia, proyeksi konsumsi halal mencapai Rp 281,6 miliar dengan kontribusi industri halal terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional dan berkira-kira mencapai Rp 11,7 triliun atau 48,34% dari PDB pada 2025.
Di sisi lain, dari segi hukum, UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, semakin menegaskan prinsip kehalalan harta. BAZNAS memastikan zakat Kagak hanya disalurkan, tetapi juga dimanfaatkan Demi pemberdayaan mustahik Demi pengentasan kemiskinan, sesuai pesan Al-Qur’an:
“Sungguh, Kami Betul-Betul telah menciptakan Insan dalam keadaan susah payah. Apakah dia (Insan) itu mengira bahwa Kagak Eksis seorang pun yang berkuasa atasnya? Dia mengatakan, “Diriku telah menghabiskan harta yang banyak.” Apakah dia mengira bahwa Kagak Eksis seorang pun yang melihatnya? Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata, lidah, dan sepasang bibir, serta Kami juga telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan)? Maka, tidakkah sebaiknya dia menempuh jalan (kebajikan) yang mendaki dan sukar? Tahukah Engkau apakah jalan yang mendaki dan sukar itu? (Itulah upaya) melepaskan perbudakan atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan, (kepada) anak yatim yang Mempunyai Rekanan kekerabatan atau orang miskin yang sangat membutuhkan.” (QS. Al-Balad: 4-16).
Dalam perspektif sosiologis, halalbihalal berfungsi sebagai social glue yang merekatkan Rekanan antarindividu dan komunitas. Nilai-nilai silaturahmi ini kemudian menginspirasi terciptanya ekosistem ekonomi syariah yang inklusif. Sehingga, aset perbankan syariah Indonesia Lalu bertumbuh setiap tahun, dengan partisipasi muzaki dan mustahik sebagai nasabah juga meningkat. Hal ini membuktikan bahwa semangat halalbihalal—yang berorientasi pada keadilan dan kebersamaan—telah merambah sektor riil.
Lebih dari itu, tradisi ini juga mendorong kolaborasi antara ulama, pemerintah, dan pelaku usaha. Regulasi seperti UU Jaminan Produk Halal (JPH) lahir dari semangat kebersamaan ini, Kagak hanya menjamin kehalalan, tetapi juga membuka lapangan kerja bagi mustahik.
Secara sosial, halalbihalal relevan di tengah upaya Pemerintah Presiden Prabowo-Wapres Gibran merealisasikan Asta Cita: delapan misi menuju Indonesia Emas 2045. Konsep ini mengajak Masyarakat Demi berlomba-lomba berbuat kebajikan, sebagaimana firman Allah:
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami. Lewat di antara mereka Eksis yang menzalimi diri sendiri, Eksis yang pertengahan, dan Eksis (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.” (QS. Fathir: 32). Ayat ini mengisyaratkan pentingnya self-correction dan berlomba dalam kebaikan, Bagus di ranah sosial maupun ekonomi dalam konteks filantropi Demi pemberdayaan mustahik dan pengentasan kemiskinan.
Tradisi yang Mencerahkan Masa Depan
Halalbihalal telah melampaui Arti tradisionalnya. Ia kini menjadi gerakan sosial, ekonomi, dan hukum (regulasi) yang berbasis nilai Keyakinan. Dengan sinergi Segala pihak, tradisi ini akan Lalu melahirkan Ciptaan bagi kesejahteraan umat.
Halalbihalal bukan sekadar ritual tahunan, melainkan platform multidimensi Demi memperkuat pilar-pilar bangsa—dari ekonomi syariah, regulasi halal, hingga etika bernegara. BAZNAS, melalui program seperti “Perusahaan Taat Zakat” dan pendampingan mustahik, berkomitmen menjadikan tradisi ini sebagai benchmark pembangunan berkelanjutan.
Semangat halalbihalal harus menjadi pemicu strategi pemberdayaan yang progresif, inovatif, dan terukur. Dengan kolaborasi Segala pihak, nilai-nilai luhur ini akan Lalu menginspirasi lahirnya kebijakan dan aksi Konkret bagi Upaya menyejahterakan umat dan bangsa.

