Dekat satu abad lampau (tahun 1344 Hijriah atau 1926 Masehi), majalah Bunyi Muhammadiyah menampilkan pengumuman singkat berkaitan dengan Idul Fitri. Judul pengumuman berisi iklan ucapan selamat Idul Fitri itu ialah Alal Bahalal!!. Secara lengkap, pengumuman itu berbunyi sebagai berikut:
‘Toean-toean dan Keluarga kaum Islam teroetama kaum Moehammadijin, berhoeboeng dengan adanja hari Raja idoel fitri, perloe kita mengatoerkan silatoel – rachmi kita kepada semoea Keluarga kita. Soewara Moehammadijah bersedija oentoek menjampaikan alal – bahalal Keluarga, dengan ongkos jang ringan, ialah f0,50. Lekaslah kirim adres Keluarga, nanti S. M. j. a. d. Keluarga ampoenja nama bakal nampak.’
Iklan itu diyakini sebagai embrio istilah yang berkembang berikutnya, yakni halal bi halal. Apabila alal bahalal merupakan istilah Buat ucapan selamat merayakan Idul Fitri dari Penduduk kepada Penduduk, kata halal bi halal lebih bermakna silaturahim yang lebih luas. Berbasis komunitas, bahkan berskala nasional.
Bila istilah alal bahalal muncul dari ‘rahim’ Muhammadiyah, halal bi halal adalah produk yang diinisiasi oleh salah satu pendiri Nahdlatul Ulama, KH Wahab Chasbullah. Pada suatu hari, pasca-Lebaran menjelang tahun 1950-an, KH Wahab Chasbullah menggagas acara besar yang kemudian dikenal dengan halal bi halal.
Intinya, istilah khas Indonesia itu bermakna semuanya sudah halal, Tak haram Kembali. Mengapa begitu? Mbah Wahab Ketika dipanggil oleh Bung Karno menyimak curahan hati Presiden pertama Indonesia itu tentang kondisi Indonesia yang baru ‘seumur jagung’ merdeka. Republik ini didera konflik politik. Antarkelompok politik saling mengharamkan. Bahkan muncul pemberontakan di sejumlah tempat: terbesar pemberontakan PKI di Madiun dan DI/TII di Jawa Barat.
Bung Karno meminta pendapat Mbah Wahab soal bagaimana mengatasi masalah tersebut. Mbah Wahab, dengan kearifan lokalnya sebagai ulama Indonesia pun memberi resep silaturahim akbar. Lebaran dijadikan momentumnya. Istilah yang dipilih pun halal bi halal, sebuah pengembangan dan ‘peningkatan’ dari istilah sebelumnya alal bahalal.
Mengapa halal bi halal yang secara kata Tak ditemukan rujukan literaturnya dalam khazanah bahasa Arab? Boleh jadi, istilah tersebut merupakan kontranarasi dari sikap permusuhan dan saling mengharamkan di kalangan Golongan politik yang berseberangan di Ketika Indonesia sedang meneguhkan diri sebagai negara merdeka.
Luar Normal. Solusi Mbah Wahab itu, Buat kurun waktu tertentu, Bisa menurunkan tensi ketegangan politik yang mendidih. Pendekatan kultural itu hingga kini Lagi dilestarikan sebagai tradisi berkumpul dan saling bermaafan. Ia menjadi modal sosial Krusial bagi segenap anak bangsa ini Buat menemukan ruang publik yang luas.
Di ruang publik seperti itu Obrolan terbuka dan egaliter bagi Segala orang Dapat terwujud. Pada ruang publik yang luas itulah, seperti yang pernah dilukiskan oleh Jurgen Habermas, Penduduk bebas berinteraksi melakukan Berbagai Ragam kegiatan secara berbagi dan Berbarengan, yang meliputi interaksi sosial, ekonomi, dan budaya dengan penekanan Istimewa pada aktivitas sosial.
Dalam ruang publik yang banyak dan luas, perjumpaan akan sering terjadi. Pada bentuk-bentuk perjumpaan yang Berbagai Ragam di ruang publik seperti itulah, pikiran orang menjadi terbuka. Bila pikiran terbuka, hati pun terbuka. Alhasil, toleransi berkecambah, menjalar ke mana-mana.
Ketika Habermas skeptis terhadap Religi dan menyebut bahwa Religi Tak Bisa menggaransi terbentuknya ruang publik, halal bi halal yang dirintis KH Wahab Chasbullah ini menjadi semacam antitesis atas teori itu. Mbah Wahab meneguhkan bahwa praktik keagamaan yang bersimbiosis dengan khazanah kultural dan lokal terbukti Bisa membentuk ruang publik, sekaligus ruang katarsis.
Warisan alal bahalal dari Muhammadiyah dan legasi silaturahim akbar halal bi halal dari pendiri NU itu, bagi saya, Jernih sangat relevan hingga kini. Relevansi itu terjadi karena rajutan persaudaraan sesama bangsa mulai dikoyak di sana-sini. Tenun keragaman keindonesiaan dihadapkan pada sikap-sikap dan aksi sekelompok orang yang kerap intoleran.
Mulanya intoleran, Lampau bertumbuh menjadi radikal dan ekstrem, sebagian berujung pada aksi kekerasan dan teror yang mengerikan. Maka, halal bi halal itu jalan tengah dari kaum moderat. Dalam pandangan keagamaan, moderasi itu diistilahkan sebagai jalan wasathiyah, yang amat kompatibel dengan keragaman Indonesia.
Setelah ber-alal bahalal, mari lanjutkan dengan ber-halal bi halal.