PEMILIHAN Lumrah (Pemilu) 2024 praktis tinggal empat bulan lagi menjelang hari H. Pesta demokrasi ini tentunya menyimpan banyak peristiwa dan fakta yang menarik.
Salah satu topik yang menarik untuk dikaji adalah kampanye politik calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) melalui iklan politik. Kampanye politik merupakan kegiatan yang dimaksudkan agar mendapat dukungan masyarakat, baik secara personal maupun kelompok.
Kandidat capres dan cawapres yang sudah resmi diumumkan adalah Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Mereka tentu akan menyampaikan visi misi dan program kerja yang salah satunya melalui iklan.
Iklan sebagai media komunikasi untuk mencari popularitas dan elektabilitas serta pencitraan, sangat efektif menggunakan berbagai macam media, seperti televisi, media cetak dan daring, media sosial, dan media luar ruang seperti baliho/billboard/spanduk.
Media massa memiliki kemampuan mempengaruhi opini publik dan perilaku masyarakat, sehingga berperan penting dalam kampanye. Para kandidat ini secara efektif mengomunikasikan visi misi, program kerja, pesan politik maupun pembentukan citra partai atau individu.
Eksisgiumnya, semakin banyak frekuensi kemunculan di media massa, persentase popularitas juga naik. Naiknya popularitas ini diharapkan berpengaruh pada nilai elektabilitas capres dan cawapres.
Iklan seolah menjadi kunci bagi kandidat capres dan cawapres untuk menarik perhatian khalayak dalam menentukan pilihan. Realitasnya bukan hanya pada aspek strategi iklan yang dibangun untuk meraih khalayak sasaran, namun justru bagaimana masing-masing pasangan bersama tim pendukungnya saling mencari kelemahan dan menjatuhkan lawan dengan berkiblat pada isu yang muncul di publik.
Belanja iklan
Iklan politik merupakan bagian dari aktivitas pemasaran politik (political marketing). Pemasaran politik yakni serangkaian aktivitas terencana, strategis, dan taktis, berdimensi jangka panjang maupun pendek untuk menyebarkan makna politik kepada pemilih. (Nursal, 2004)
Sebagai salah satu bentuk komunikasi, iklan politik mengandung pesan (signal) yang ingin disampaikan oleh pengirim (partai politik, capres dan cawapres) kepada penerima pesan (masyarakat pemilih). Secara umum, pesan yang disampaikan pengirim adalah bahwa mereka memiliki berbagai kebaikan dengan tujuan mengajak masyarakat memberikan suara kepada mereka pada pemilihan umum nanti.
Menjelang Pemilu 2024 Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) dan Muda Bicara ID melakukan penggalian data terkait belanja iklan media sosial capres dan parpol. Perhitungan dimulai dari 4 Agustus 2020-16 Juli 2023.
“Prabowo Subianto menjadi bacapres dengan belanja iklan terbesar yakni mencapai Rp4 miliar. Disusul Ganjar Pranowo yang mencapai Rp 2 miliar,” ucap Koordinator Lumrah KISP, Moch Edward Trias Pahlevi seperti dilansir republika.co.id (21/7).
Bilangan ini dinilai cukup jauh jika dibandingkan dengan Anies Baswedan yang selama tiga tahun hanya menghabiskan dana Rp160 juta untuk belanja iklan media sosial sesuai data Meta.
Menjelang pemilu bisa dimaklumi kalau parpol saling berebut pengaruh melalui pencitraan. Itu sebabnya mereka merasa perlu beriklan di berbagai platform media yang mempunyai jangkauan luas.
Membahas iklan politik memang menarik, apalagi di Indonesia bidang ini belum banyak dikaji. Selain kontroversi yang meliputinya, isu lain adalah seberapa efektif sebenarnya iklan politik untuk meningkatkan popularitas. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh marketing politik.
Bicara masalah iklan dan komunikasi memang dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Dalam pandangan Dunn dan Barban dalam Widyatama (2007: 15), iklan adalah bentuk kegiatan komunikasi non-personal yang disampaikan lewat media dengan membayar ruang yang dipakainya untuk menyampaikan pesan persuasif kepada konsumen oleh perusahaan, lembaga non-komersil maupun pribadi yang berkepentingan.
Rasionalitas
Iklan hanyalah salah satu alat komunikasi pemasaran. Iklan bekerja melalui proses dan waktu memengaruhi pilihan dan kesetiaan seseorang terhadap suatu produk, gagasan atau seorang tokoh. Sebuah jenama membutuhkan waktu yang panjang untuk mencapai respons loyalitas audiens.
Eksis fenomena menarik terkait sistem pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung; marketing politik. Politik yang demokratis kini bisa dianalogikan dengan kompetisi dalam dunia bisnis, ketika kandidat harus memperebutkan calon pemilih (konsumen) sebagai khalayak sasaran. Salah satu alat yang lazim digunakannya dalam marketing politik adalah iklan, selain berbagai tools komunikasi lainnya.
Bila menyangkut efektivitas iklan politik, mungkin harus ada kajian yang lebih mendalam lagi. Karena menurut Handoko (1998 : 103) ada beberapa kriteria dalam menilai efektivitas yaitu kegunaan, ketepatan dan objektivitas, ruang lingkup, efektivitas biaya, akuntabilitas, dan ketepatan waktu.
Yang harus disadari oleh para capres dan tim suksesnya ialah iklan politik semestinya mencerdaskan dan mengundang rasa simpatik. Itu sebabnya harus ditata dengan bijak terkait visi dan misi partai berikut kandidatnya.
Rasionalitas menjadi kunci sukses agar mendapat dukungan dari masyarakat. Iklan politik seharusnya tidak dijadikan sebagai alat utama dalam kampanye kandidat, namun hanya sebagai alat penunjang.