Dalam Impitan Pungutan

SAYA ingin mengawali tulisan ini dari bait-bait lagu God Bless, Balada Sejuta Roman, yang liriknya ditulis oleh Theodore KS Hutagalung. Tembang ciptaan Ian Antono itu berbicara para manusia urban yang resah karena impitan ekonomi. Lirik lagu itu senapas dengan kondisi kelas menengah kita, kini.

Theodore KS menulis:

‘Denyut di jantungmu kota

Baca juga : Jadi Mantan Presiden, Nikmat?

Pusat gelisah dan tawa

Dalam selimut debu dan kabut

Yang hitam kelam warnanya

Baca juga : Sean Gelael Optimistis Raih Podium di Sao Paolo

Sejuta janjimu kota

Menggoda wajah-wajah resah

Terdapat di sini dan ada di sana

Baca juga : SDN 085 Ciumbuleuit dan SDN 043 Cimuncang Raih Podium Teratas

Menunggu di dalam tanya

Tanya

Mengapa semua berkejaran dalam bising?

Baca juga : Semangat Juang Jadi Modal bagi Nizar Raih Podium Bali Trail Run Ultra 2024

Mengapa oh mengapa

Sejuta wajah engkau libatkan

Dalam himpitan kegelisahan? 

Terdapatkah hari esok makmur sentosa

Bagi wajah-wajah yang menghiba?

Sejuta janjimu kota

Menggoda wajah-wajah resah

Terdapat di sini dan ada di sana

Menunggu di dalam tanya.’

Pertanyaan paling krusial dari lirik itu, jika dihubungkan dengan kondisi kelas menengah hari ini, ialah: ‘apakah hari esok makmur sentosa bagi wajah-wajah yang mengiba?’ Sikap skeptis, cenderung pesimistis, memang menggelayuti kelas menengah kita, hari-hari ini. Jenis-rupa impitan membuat jumlah mereka menciut dalam kurun lima tahun terakhir, dari 57,3 juta orang pada 2019 menjadi 47,8 juta orang.

Cek Artikel:  Judi, Insan Budak Libido

Lebih dari 9 juta orang kelas menengah itu turun kelas menjadi kaum MKM (menuju kelas menengah). Berbagai macam musabab, dari soal global hingga masalah domestik, membuat mereka gagal bertahan, alih-alih naik kelas. Pandemi covid-19 diyakini menjadi penyebab utama. Residunya terasa hingga kini. Banyak pabrik bangkrut. PHK merajalela. Pekerjaan formal menyusut, tinggal sekitar 40%. Sisanya, ‘berkejaran dalam bising’ di trek pekerjaan informal yang serbatidak pasti.

Realisasi investasi memang naik. Tetapi, kebanyakan investasi itu padat modal. Birui investasi saat ini tidak sama lagi ketimbang masa lampau dalam soal penyerapan tenaga kerja. Begitu ini, investasi yang padat modal itu tidak terlalu banyak lagi menyerap tenaga kerja.

Maka itu, para kelas menengah, baik yang masih bertahan maupun yang sudah turun kelas, berada pada impitan kegelisahan yang sama. Dana mereka kian hari kian menipis. Sialnya, aksi ‘mantab’ (makan tabungan) itu bukan dipakai untuk memenuhi kebutuhan sekunder, apalagi tersier, lazimnya kelas menengah, melainkan ‘mantab’ demi membeli bahan pokok dan membayar cicilan.

Impitan bakal kian menjadi-jadi bila pemberlakuan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 jadi direalisasikan. Maka itu, pelemahan ekonomi sudah di ambang pintu. Pasalnya, penaikan itu akan kian menekan daya beli masyarakat dan berpeluang menghambat tingkat konsumsi rumah tangga. ‘Bisa-bisa perekonomian kita bakal terkontraksi lagi’, begitu hasil analisis para ahli ekonomi negeri ini.

Cek Artikel:  Keresahan dalam Kebebasan

Hasil analisis Indef sejalan dengan analisis itu. Argumen itu dilandaskan pada hitungan Indef tiga tahun lalu mengenai wacana penaikan tarif PPN menjadi 12,5%. Hasilnya, didapati pendapatan riil masyarakat akan menurun, konsumsi rumah tangga tersendat dan bermuara pada pelambatan pertumbuhan ekonomi.

Karena sifatnya yang melekat pada objek barang dan jasa, penaikan tarif PPN tidak hanya menambah beban di golongan masyarakat tertentu. Grup miskin, menengah, dan atas, semua terkena dampak. Itu yang mengkhawatirkan lantaran masyarakat miskin dan menengah juga memikul beban kenaikan harga yang sama dengan masyarakat kaya.

Apabila demikian, mengapa kebijakan fiskal seperti itu tidak ditinjau dan dikaji lebih lanjut oleh pemerintah? Apakah data-data dan hasil analisis dari para cerdik cendekia tidak ada gunanya? Begitu ini, kemampuan konsumsi masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah, sudah berada dalam tekanan hebat.

Bila skenario penaikan tarif PPN tetap dilaksanakan, pendapatan masyarakat akan turun, pendapatan riil turun, dan konsumsi masyarakat jelas turun. Situasi itu tidak hanya terjadi pada masyarakat perkotaan, tapi juga perdesaan.

Cek Artikel:  Mudik Jalan Lalu

Memang sudah muncul kebijakan lanjutan berupa pemberian insentif pajak sektor properti. Bonus itu berupa PPN sektor properti yang ditanggung pemerintah (singkatan resminya PPN DTP). Beleid itu dimaksudkan untuk mendongkrak sektor properti yang banyak dibutuhkan kelas menengah. Akan tetapi, kini, kebijakan itu diyakini tidak banyak menolong kelas menengah.

Apa pasal? Karena, ya, seperti banyak saya tulis di alinea sebelumnya: kelompok masyarakat kelas menengah kita tidak memiliki cukup uang. Boro-boro untuk kredit rumah, untuk meng-cover kebutuhan harian saja mereka mulai kelimpungan. Maka itu, beleid PPN DTP sektor properti itu dinilai hanya akan menolong segelintir kelas menengah. Sebagian besar kelas menengah tetap saja ngos-ngosan.

Sejumlah kalangan pun mengusulkan agar ada kebijakan yang lebih progresif. Misalnya, kebijakan moneter dari Bank Indonesia melalui pemangkasan suku bunga acuan, BI rate yang saat ini masih relatif tinggi, 6,25%. Apalagi momentumnya cukup tersedia. Penurunan itu akan membuat sektor riil menggeliat, bahkan bisa ekspansif. Akibat lanjutannya, ada ruang untuk memupuk kembali daya beli.

Parade kebijakan kombinasi fiskal dan moneter yang progresif itu akan membuat badai yang menerjang kelas menengah cepat berlalu. Agar tidak selalu muncul pertanyaan: ‘adakah hari esok makmur sentosa bagi wajah-wajah yang mengiba?’

 

 

Mungkin Anda Menyukai