COP-28, Capres, dan Isu Perubahan Iklim

COP-28, Capres, dan Isu Perubahan Iklim
(Dok. Pribadi)

KONFERENSI Para Pihak (Conference of The Parties/COP) ke-28 Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCC) di Dubai, Uni Emirat Arab, telah berakhir.

Terdapat empat isu utama yang telah dibahas, yakni mempercepat transisi energi dan mengurangi emisi sebelum 2030; transformasi keuangan iklim; menempatkan alam, manusia, kehidupan, dan mata pencarian sebagai inti seluruh aksi iklim; menciptakan COP yang inklusif. Lampau, catatan apa yang bisa dilakukan para capres kita?

Pertama, transisi energi merupakan isu penting untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat celsius seperti tercantum dalam Perjanjian Paris. Seluruh negara didorong untuk mempercepat transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan dan mengurangi emisi sebelum 2030.

Kementerian ESDM (2023) menyebutkan, potensi energi hijau Indonesia diperkirakan mencapai 3.600 gigawatt, yang bersumber dari surya, bayu, panas bumi, arus laut, ombak, bioenergi, dan air.

Indonesia memiliki lebih dari 4.400 sungai yang potensial untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA), yakni 128 merupakan sungai besar, seperti Sungai Mamberamo di Papua (24 ribu MW) dan Sungai Kayan di Kalimantan Utara (13 ribu MW). Potensi PLTA diperkirakan mendekati 75 ribu MW, lebih dari dua kali lipat proyek strategis nasional pembangunan pembangkit listrik sebesar 35 ribu MW. Tiga wilayah terbesar pemilik potensi energi hijau nasional ialah Papua (30%), Kalimantan (28%), dan Sumatra (21%).

Kedua, menurut Kementerian PU-Pera (2023), dari 186 bendungan eksisting milik Kementerian PU-Pera sebagai PLTA, 161 bendungan tidak memiliki potensi PLTA, 15 bendungan mempunyai potensi PLTA sebesar 77,46 MW dan 10 bendungan sudah ada PLTA sebesar 480,08 MW. Potensi pemanfaatan 61 bendungan baru sebagai PLTA terdapat 43 bendungan dengan potensi energi listrik sebesar 256,36 MW, yakni 18 bendungan tidak memiliki potensi PLTA, 36 bendungan memiliki potensi PLTA yang telah masuk ke Rencana Lazim Pembangkit Tenaga Listrik (RUPTL) PLN (248,86 MW), 2 bendungan tidak memiliki potensi PLTA, tetapi telah masuk RUPTL PLN, serta 8 bendungan memiliki potensi PLTA, belum masuk ke dalam RUPTL PLN (proses pengajuan 7,65 MW).

Cek Artikel:  Kenaikan Covid-19, Apa yang Sebaiknya Diperhatikan Dilaksanakan

Terdapat 25 prasarana SDA milik Kementerian PU-Pera masuk RUPLT 2021-2030, yakni 4 bendungan beroperasi di bawah tahun 2015; 1 bendungan milik non-PU-Pera (PT PLN); 1 bendungan mulai konstruksi; 7 bendungan dalam tahap perencanaan; 11 bendungan beroperasi; 1 bendungan tidak memiliki potensi PLTA.

Ketiga, Presiden Joko Widodo telah meresmikan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Terapung berkapasitas 192 megawatt peak (MWp) di Waduk Cirata, Jawa Barat (9/11). Terdapat potensi PLTS Terapung pada 186 bendungan eksisting menggunakan bendungan milik Kementerian PU-Pera dengan luas genangan total sebesar 5.210.926 ha, dengan luas panel 260.546 ha (5%), serta asumsi 1 ha panel setara dengan 1 MW, maka potensi PLTS 260.546 MW. Potensi PLTS Terapung pada 61 bendungan baru menggunakan bendungan milik Kementerian PU-Pera, yakni dengan luas genangan total sebesar 24.785 ha, dengan luas panel 1.239 ha (5%), serta asumsi 1 ha panel setara dengan 1 MW, maka potensi PLTS 1.239 MW.

Cek Artikel:  Hidup Segan Calon Perseorangan

Pembangunan PLTS Terapung yang menggunakan luasan badan air lebih dari 20%, perlu mendapatkan rekomendasi dari Komisi Keamanan Bendungan (Permen PUPR No 27/PRT/M/2015 tentang Bendungan).

Pemerintah harus membuat cetak biru percepatan jalur transmisi yang menyambungkan PLTA, PLTS, dan PLT Bayu menuju pusat pertumbuhan ekonomi kota dan pusat pertumbuhan industri sehingga nilai kemanfaatannya menjadi lebih tinggi. Selain itu, pendanaan dan alih teknologi membutuhkan investasi yang tidak sedikit sehingga perlu kolaborasi dengan seluruh kekuatan ekosistem hidro di dunia. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 43% (2030) serta mencapai nol emisi (2050).

Keempat, dalam hal transformasi keuangan iklim, COP-28 berhasil mengegolkan terobosan besar kesepakatan mengenai dana loss and damage (kerugian dan kerusakan) untuk mengompensasi negara-negara miskin atas dampak perubahan iklim.

Pada Hari Kota-Kota Dunia (31/10), UN Habitat mengangkat tema Financing Sustainable Urban Future For All, menekankan pentingnya pembiayaan berkelanjutan bagi masa depan kota. Pemerintah didorong untuk mengeksplorasi bagaimana mereka dapat membuka transformatif investasi dalam perencanaan kota dan mendesentralisasi pembiayaan pembangunan ke 514 kota/kabupaten.

Inisiatif pembiayaan kota berkelanjutan bertujuan untuk mendukung perkembangan ekosistem masyarakat sebagai upaya mengurangi emisi karbon dan meningkatkan kualitas hidup warga kota. Ini membuat aliran pendanaan konsisten dengan jalur menuju emisi gas rumah kaca yang rendah dan pembangunan kota yang berketahanan iklim.

Cek Artikel:  Menemukan kembali Momentum The Magpies

Kelima, rencana aksi iklim menempatkan alam, manusia, kehidupan, dan mata pencarian sebagai inti seluruh aksi iklim sekaligus menciptakan COP yang inklusif. UN Habitat (2023) mencatat sekitar 70% penduduk dunia diperkirakan akan tinggal di kota pada  2050. Pemerintah harus meningkatkan partisipasi mereka dalam upaya melawan perubahan iklim.

Dalam The World Risk Report 2022, Indonesia menempati peringkat ketiga dunia sebagai negeri paling berisiko bencana, di bawah Filipina dan India, dari 193 negara yang disurvei. Risiko bencana yang harus diwaspadai, yakni gempa bumi, tsunami, puting beliung atau topan, banjir rob, banjir luberan sungai, kekeringan, kenaikan muka air laut (ancaman tenggelam).

Pada rentang 2014-2023 jenis bencana alam yang banyak terjadi adalah banjir (8.286), puting beliung (8.535), tanah longsor (7.347), kebakaran hutan dan lahan (4.374), kekeringan (402), gempa bumi (352), gelombang pasang atau abrasi (256), dan letusan gunung api (136) (BNPB, Desember 2023). Sesuai Perpres No 87 Pahamn 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana 2020-2044, pembangunan infrastruktur kota harus difokuskan pada upaya antisipasi, adaptasi, dan mitigasi perubahan iklim. Masyarakat menanti gagasan cerdas dan bernas dari para capres.

 

Mungkin Anda Menyukai