
JEFFRY L White (2016) mengingatkan kita tentang penggunaan ‘konsultan’ oleh mahasiswa pascasarjana Kepada menyelesaikan/menuliskan disertasi/tesis. Menurutnya, tindakan seperti itu memberi pengaruh negatif terhadap mutu dan integritas program.
Karena itu, White menyarankan melakukan perbaikan terhadap beberapa hal yang Terdapat dalam program pascasarjana Kepada mengatasi praktik yang dilakukan mahasiswa dan dampaknya. Dalam merespons tulisan White, Gallant merasa Pasti bahwa tindakan mahasiswa tersebut merupakan ‘kepanikan moral’ dan apa yang disarankan White ialah bahasa sarat moral yang Krusial dalam merespons contract cheating industry (Gallant, 2016: 2).
Mengapa contract cheating?
Istilah contract cheating ditemukan oleh dua profesor ilmu komputer Inggris ketika menemukan mahasiswa mereka mengalihkan tugas pemrograman kepada pihak lain. Sejak Demi itu, istilah tersebut digunakan Kepada merujuk pada berbagai jenis pekerjaan akademik yang disubkontrakkan (Eaton, 2022: 171, Adlington et al, 2021: 8).
Contract cheating ialah bentuk ketidakjujuran akademik yang disengaja yang mana pekerjaan akademik dialihkan kepada pihak ketiga dan praktik tersebut dapat ditemukan di berbagai disiplin ilmu (Eaton, 2020:12; Miron et al, 2021:63; Eaton, Carmichael, Pethrick, 2023:7). Selain subkontrak, istilah lain yang terkait dalam penelitian itu ialah pabrik esai (essay mill), penulis-hantu (ghostwriting) (Lancaster, 2022: 48; Davis et al, 2009:47), dan cyber-pseudepigraphy yang merujuk pada tindakan curang menggunakan internet (Ison, 2020:143).
Berbagai jenis tugas akademik yang dapat dialihdayakan (oustsourcing) meliputi tulisan, tesis, disertasi, pemrograman komputer, dan bahkan menyewa seseorang Kepada mengerjakan ujian atau mewakili dalam kuliah atau konsultasi tesis atau disertasi (Adlington et al, 2021:8).
Contract cheating dapat dianalisis dari berbagai dimensi, seperti psikologi dan ekonomi, serta melibatkan berbagai pihak, seperti pemberi pekerjaan, penerima pekerjaan, dan masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal pemberi pekerjaan, seperti mahasiswa, terdapat beberapa Elemen yang mendorong perilaku Bukan etis, seperti keterbatasan waktu, rasa malas, ketidakpedulian dari pendidik, kurangnya Teladan teladan, rasa takut gagal, kemajuan teknologi yang mempermudah, egoisme, merasa Mempunyai Doku berlebih, serta tekanan kompetisi yang mengakibatkan kenyamanan berkurang (Meng et al, 2014:128).
Motivasi seseorang Kepada terlibat dalam kecurangan dapat dianalisis melalui lima teori, Merukapan teori atribusi, teori orientasi pencapaian tujuan, teori nilai-Asa (expectancy-value theory), teori kognitif sosial, dan teori determinasi Independen. Teori atribusi membantu memahami Dalih di balik perilaku akademik yang Bukan jujur, seperti mahasiswa meminta Sokongan Kawan/konsultan Kepada menulis tesis karena kesibukan mengurus keluarga (Anderman et al, 2022:67).
Teori orientasi pencapaian tujuan membantu memahami bagaimana tujuan akhir tugas akademik Dapat mendorong mahasiswa melakukan tindakan Bukan jujur Kepada mencapai nilai tinggi (Anderman et al, 2022:69 dan 71). Teori nilai memberikan pandangan tentang bagaimana pilihan akademik dan usaha Dapat dijelaskan melalui Asa keberhasilan dan nilai tugas yang dilihat secara subjektif (Anderman et al, 2022:78).
Teori kognitif sosial menyoroti interaksi antara individu, perilaku, dan lingkungan dalam memengaruhi pilihan akademik (Anderman et al, 2022:73). Teori determinasi Independen membahas tiga kebutuhan mendasar yang dapat memengaruhi motivasi intrinsik dan sikap positif, Merukapan otonomi, kompetensi, dan rasa keterkaitan (Anderman et al, 2022: 82).
Perilaku Bukan etis dalam akademik dapat timbul dari rasa kecewa. Kurangnya otonomi di kelas dapat mendorong mahasiswa menggunakan nyontek sebagai Langkah mengatasi kesulitan akademik. Ketidakmampuan Dapat mendorong mahasiswa merasa hanya dengan nyontek mereka Dapat lulus. Kurangnya rasa keterkaitan dengan lingkungan sekolah Dapat menyebabkan perilaku Bukan baik seperti Bukan menghormati guru atau aturan (Anderman et al, 2022:82 dan 84).
Apa yang Dapat dilakukan?
Apa langkah-langkah yang Dapat diambil dalam menghadapi fenomena tersebut? Berdasarkan paparan di atas, praktik contract cheating mengindikasikan ancaman serius terhadap kualitas pendidikan (Lancaster, 2022:45). Intervensi dari studi-studi yang berfokus pada integritas akademik menjadi sumber Krusial dalam mengatasi masalah contract cheating.
Beberapa langkah yang dapat ditempuh; pertama, pendekatan terhadap contract cheating harus melibatkan Segala pemangku kepentingan, termasuk mereka yang berada dalam struktur pendidikan dan masyarakat Standar (Lancaster, 2022:59). Kedua, lembaga pendidikan dan masyarakat harus proaktif dalam mengambil langkah pencegahan dengan mendorong pembentukan Kepribadian moral dan integritas akademik pada mahasiswa sekaligus memanfaatkan teknologi Kepada memastikan penerapan integritas akademik dalam karya ilmiah (Meng et al, 2014:135; Lancaster, 2022:59; Söylemez, 2023:24).
Ketiga, menerapkan strategi integritas akademik holistik dalam membentuk budaya integritas akademik, seperti pendekatan dialog dan penghargaan kepada mahasiswa, contohnya melalui demonstrasi praktik integritas akademik oleh seluruh Personil komunitas perguruan tinggi (Miron et al, 2022:69). Keempat, pemberian gelar akademik harus mencerminkan nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan integritas, sejalan dengan kemampuan sebenarnya dari mahasiswa (Gallant, 2016:3).
Kelima, isu contract cheating harus menjadi perhatian dalam agenda kebijakan nasional dan perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah (Eaton, 2022:181). Pembentukan kebijakan yang efektif menjadi langkah berharga dan melibatkan proses perubahan yang melibatkan Segala pihak terkait.
Terakhir, dalam menentukan durasi studi di program pascasarjana di Indonesia, unsur aksesibilitas, kualitas, dan keterjangkauan perlu menjadi pertimbangan Primer. Meskipun aspek keterjangkauan sering kali terkait dengan aspek finansial (Biaya), Krusial juga mempertimbangkan Elemen waktu yang tersedia bagi mahasiswa.
Masalah waktu belajar Dapat menjadi Elemen yang menghalangi seseorang Kepada menyelesaikan studi atau berpotensi mendorong mereka terlibat dalam praktik akademik yang Bukan jujur. Karenanya, program pascasarjana perlu mempertimbangkan kebutuhan waktu belajar yang sesuai dengan kondisi mahasiswa.
Elemen tersebut akan Mempunyai Dampak besar, terutama bagi mahasiswa yang juga bekerja, yang perlu mengambil studi secara paruh waktu yang tentunya akan berbeda dalam hal durasi penyelesaian Kalau dibandingkan dengan mahasiswa penuh waktu. Pendekatan itu mungkin Dapat menjadi dasar dalam kebijakan pendidikan tinggi yang bertujuan memastikan bahwa Segala Kaum Indonesia dapat Mempunyai akses terhadap pendidikan tinggi yang berkualitas dan bermartabat sekaligus menghormati prinsip-prinsip integritas akademik (Denny, Roberts, 2023). Wallahualam

