
TAHUN 2025 menandai tujuh Sepuluh tahun Indonesia menjadi bagian dari UNESCO, badan dunia yang dibentuk Buat memajukan perdamaian melalui pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya. Sejak bergabung pada 27 Mei 1950, Indonesia Sepatutnya menjadikan pendidikan sebagai fondasi pembangunan nasional.
PERUBAHAN REVOLUSIONER
Selama tujuh Sepuluh tahun tersebut, dunia–termasuk lanskap pendidikan–mengalami perubahan revolusioner. Dari papan tulis dan kapur, kita bergerak menuju kecerdasan buatan dan pembelajaran daring adaptif. Cerminan atas kemitraan panjang ini Krusial, bukan sekadar Buat mengenang, tetapi juga sebagai pengingat bahwa tantangan pendidikan hari ini memerlukan visi baru yang menempatkan nilai kemanusiaan di tengah arus digitalisasi yang melaju Segera. Sudahkah kita bergerak ke sana?
Indonesia dan UNESCO Mempunyai jejak kerja sama yang erat dalam berbagai program pendidikan, mulai dari peningkatan literasi dasar hingga promosi pendidikan berbasis budaya lokal. Berbagai inisiatif Dunia seperti Education for All, Sustainable Development Goals (khususnya tujuan keempat tentang pendidikan), hingga Education for Sustainable Development turut menjadi bagian dari orientasi kebijakan nasional.
Nomor partisipasi sekolah dasar dan menengah meningkat signifikan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa Nomor partisipasi sekolah (APS) di Indonesia mengalami peningkatan signifikan, khususnya pada jenjang pendidikan dasar dan menengah pertama masing-masing mencapai 99,19% dan 96,17%. Tetapi, capaian ini belum sepenuhnya menghapus kesenjangan kualitas antarwilayah. Harus kita akui bahwa Lagi banyak anak di daerah terpencil menghadapi tantangan dalam mendapatkan guru berkualitas, akses ke materi ajar yang memadai, serta fasilitas pembelajaran yang layak. Belum Kembali masalah kurikulum dan metode Pengkajian belajar yang Lagi belum tuntas (Media Indonesia, 2/5/2025).
Sekarang dunia bergerak ke arah transformasi digital. Indonesia pun menghadapi realitas baru dalam penyelenggaraan pendidikan. Pandemi covid-19 menjadi momen pembuka mata bahwa sistem pendidikan nasional belum sepenuhnya siap menghadapi disrupsi digital. Ketimpangan akses internet, keterbatasan perangkat digital, dan rendahnya literasi digital di kalangan guru maupun siswa menjadi isu besar. Studi dari Indrawati dkk (2020) serta hasil riset SMERU pada 2020 menemukan bahwa pembelajaran daring yang dipaksakan tanpa fondasi kuat Bahkan memperlebar jurang kesenjangan.
Tetapi, kita Bukan Pandai menafikan bahwa Eksis gap yang cukup lebar antara perencanaan, kebutuhan, dan Penyelenggaraan program pendidikan dalam konteks transformasi digital ini. Studi dari Bucata (2023) dan Stout (2023) menunjukkan bahwa Generasi Z, yang kini mengisi sebagian besar ruang kelas dan kampus, Mempunyai Watak yang berbeda tajam Apabila dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Mereka tumbuh dalam ekosistem digital yang hiperkonektif, terbiasa berinteraksi dengan algoritma, dan menjadikan media digital sebagai sumber belajar Istimewa yang serba-Berdikari. Dalam lanskap semacam ini, pendekatan pendidikan konvensional kian sulit menjawab kebutuhan dan Metode belajar generasi terkini.
Buat mengantisipasi ini, melalui Recommendation on the Ethics of Artificial Intelligence (2021), UNESCO telah memberikan Panduan Dunia tentang bagaimana negara-negara Member merancang dan menerapkan AI secara etis, serta mengeluarkan Panduan penggunaan teknologi di ruang kelas bagi siswa, guru, dan pemerintah. Dalam konteks ini, UNESCO hadir bukan hanya sebagai Kawan pembangunan, tetapi sebagai rujukan nilai: bahwa transformasi digital harus berakar pada inklusivitas, keadilan, dan kebudayaan. Lewat, sudahkah kita mengantisipasi ini?
Membangun pendidikan membutuhkan arah kebijakan yang Bukan semata responsif, tetapi juga antisipatif. Indonesia perlu menyusun peta jalan pendidikan yang komprehensif dan etis, yang Bukan hanya berbicara tentang perangkat atau kurikulum, tetapi juga tentang kapasitas guru, relevansi kurikulum, serta arah pembangunan bangsa.
Digitalisasi hanyalah salah satu tantangan. Transformasi digital Bukan boleh dimaknai sebagai sekadar peralihan dari Naskah ke layar, tetapi sebagai Metode baru memahami, merancang, dan mengalami proses belajar. Di sinilah prinsip-prinsip UNESCO menjadi landasan Krusial: pendidikan harus tetap membebaskan, kontekstual, dan menumbuhkan kesadaran kritis.
Dalam konteks ini, pandangan Paulo Freire menjadi relevan, yang Menyantap pendidikan sebagai proses pembebasan, bukan sekadar transfer pengetahuan dari guru ke murid. Melalui pendidikan yang dialogis dan reflektif, peserta didik diajak menumbuhkan kesadaran kritis agar Pandai membaca realitas sosial dan terlibat dalam transformasinya secara aktif.
MEMBANGUN KAPASITAS GURU
Salah satu kunci Krusial dalam menghadapi tantangan ini ialah membangun kapasitas guru. Guru adalah aktor Istimewa yang menjembatani nilai, pengetahuan, dan teknologi. Apabila Indonesia memang berkomitmen pada penguasaan pendidikan, investasi dalam peningkatan kualitas guru, serta memastikan kesejahteraan tenaga pendidik–Berkualitas guru maupun dosen–menjadi sebuah keharusan. Gaji yang layak, jaminan sosial, serta pengakuan atas peran profesional mereka merupakan prasyarat mutlak agar mereka dapat menjalankan tugas secara maksimal dan berkelanjutan.
Laporan Media Indonesia (25/2/2025) menemukan bahwa Begitu dunia dalam konteks globalisasi dan tuntutan peningkatan kualitas sumber daya Orang, para pendidik di Indonesia Bahkan berada dalam posisi yang terpinggirkan secara ekonomi. Pendidikan yang unggul tak mungkin terwujud Apabila mereka yang menjadi tulang punggungnya Bahkan hidup dalam ketidakpastian.
Dalam sidang ke-221 Dewan Eksekutif pada pertengahan April Lewat, UNESCO mendorong Sekalian negara Member Buat segera mengatasi kekurangan guru secara Dunia dan menjadikan profesi guru menjadi lebih menarik dengan meningkatkan status, gaji, dan kondisi kerja mereka.
MENJADI TITIK TOLAK
Momentum 75 tahun kemitraan dengan UNESCO yang bersisian dengan rangkaian Hari Pendidikan Nasional ini Sepatutnya menjadi titik tolak bagi Indonesia Buat merumuskan ulang masa depan pendidikan nasional, sekaligus berkaca kembali. Sudahkah kita menempatkan pendidikan sebagai pondasi dalam membangun bangsa? Sudahkah kita punya peta jalan dan pandangan yang sama dalam menata pendidikan nasional?
Memang pekerjaan rumah pendidikan kita Lagi banyak dan rasanya Bukan akan tuntas dalam waktu singkat. Akan tetapi, usaha-usaha Buat melanjutkan apa yang dirasa sudah Berkualitas dan memperbaiki apa yang Lagi kurang harus menjadi nawaitu Sekalian pemangku kepentingan.
Dengan nilai-nilai UNESCO sebagai panduan, serta konteks lokalitas yang kita punya, Indonesia idealnya punya kemampuan Buat membangun peta jalan sistem pendidikan yang inklusif, adaptif, dan berkeadaban di tengah dunia yang Lalu berubah.
Tanpa peta jalan pendidikan, kita akan selalu berhenti di persimpangan. Tetapi, tentu, itu kembali Kembali pada pertanyaan awal. Karena kita harus selalu ingat, dunia boleh berubah–teknologi berkembang, pekerjaan bergeser, dan pola hidup berevolusi–tetapi kebutuhan dasarnya tetap sama: pendidikan yang bermutu dan terbuka bagi Sekalian, tanpa terkecuali.

