Cerdas Memilih

Cerdas Memilih
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

‘TAK kenal maka tak sayang’. Begitu kalimat yang tertera di selembar poster yang dicetak di kaca belakang sebuah angkot. Di Dasar tulisan itu Terdapat tambahan kalimat ‘Siap sejahterakan  rakyat…(merujuk nama sebuah kecamatan yang Kagak usahlah saya sebutkan di sini)’. Pada poster itu terpampang seraut Persona ayu seorang bacaleg dari sebuah partai. Poster- poster semacam itu kini ramai bertebaran menghias ruang publik. Kadang bersanding dengan iklan jasa servis AC hingga sedot WC. Kagak jarang kalimatnya Kocak dan menggelitik. Terdapat pula yang berbentuk pantun. Kalau tak percaya, silakan berjalan-jalan dan perhatikan di lingkungan Sekeliling tempat tinggal Anda.

Menjelang pemilu, visualisasi iklan politik semacam itu Terdapat di Dekat Segala ruas jalan, di Berkualitas kota maupun desa. Bahkan Terdapat yang berbentuk billboard raksasa. Mau Kagak mau, suka atau Kagak suka, mata kita dipaksa melihatnya. Kalau pariwara di lini masa Dapat kita skip, iklan yang satu ini memang sulit dihindari. Saran saya, nikmati saja. Anggap hiburan di tengah kemacetan. Kembali pula, Kagak Terdapat salahnya pula memperhatikan para bacaleg pilihan Anda, siapa Paham Terdapat yang nyantol. Dari Metode mereka berkreativitas dalam beriklan, mungkin kita Dapat sedikit menakar Berkualitas kapasitas intelektual maupun integritas mereka. Syukur-syukur mau menelusuri rekam jejak mereka lebih jauh dari berbagai sumber.

Cek Artikel:  Tasyrih Kongres Bahasa Indonesia KBI XII

Pemilu ialah bagian dari proses politik yang tujuannya Demi mencari pemimpin yang dapat membawa kebaikan Demi kehidupan Berbarengan. Sebagai bagian dari Member masyarakat, kita punya hak Demi memilih (dan juga dipilih) yang dilindungi undang-undang. Harus diakui, selama ini umumnya masyarakat datang ke bilik Bunyi minim Surat keterangan tentang calon pemimpin yang akan mereka pilih Karena, dalam sistem politik yang Terdapat selama ini, kita memang dibiarkan menjadi floating mass (massa mengambang), yang hanya dibutuhkan suaranya di Begitu pemilu. Sebagai Kaum negara, mungkin sudah saatnya kita mulai berupaya menjadi pemilih cerdas dan kritis. Jangan sekadar asal pilih karena ini akan menentukan nasib kita ke depan.

Cek Artikel:  Dari Zaken hingga Noken Kabinet

Sebagai sebuah pesta demokrasi, ongkos penyelenggaraan pemilu terlalu mahal, lebih dari Rp70 triliun, dan itu dibiayai dari Fulus kita juga. Sebagai partisipan, kita berhak mengawal pesta itu agar Kagak menjadi sekadar seremonial belaka. Jangan sekadar Menonton menterengnya baju partai, tapi lihatlah visi dan misi yang akan dibawa calon pemimpin tersebut, apakah sesuai dengan sepak terjang atau rekam jejaknya selama ini. Kalimat yang tertera pada poster iklan seorang bacaleg yang saya kutip di atas mengajak masyarakat Demi mengenalnya lebih jauh. Terlepas apakah kalimat itu sekadar basa-basi, di situlah tugas kita sebagai konsumen Demi menyelidiki dan mengujinya.

Pemilu bukan sekadar mekanisme Demi meraih kekuasaan. Ia bagian dari proses pendidikan politik sekaligus upaya Demi merawat demokrasi. Di dalamnya harus Terdapat transformasi atau pertukaran ide dan gagasan, bukan sekadar pencitraan lewat iklan. Sudah saatnya masyarakat sebagai konsumen punya kesadaran kritis. Sebagai langkah awal, mungkin Dapat dimulai dengan memperhatikan pariwara yang kini banyak bertebaran di jalan. Dari situ kita barangkali Dapat mengira-ngira apakah janji-janji itu bakal ditepati atau Sekadar polusi yang hanya akan mengotori ruang publik? Selamat berakhir pekan.

Cek Artikel:  Mewaspadai Dampak Seranganvitas Kebijakan Lingkungan Eropa terhadap Aktivitas Ekspor Indonesia


 

Mungkin Anda Menyukai