Cek Hampa Kepada Penjabat

Mitra saya membaca Berita Sembari senyum-senyum sendiri. Kata dia, Mendagri Tito Karnavian mencari-cari masalah karena ia memberikan cek Hampa kepada penjabat kepala daerah.

Cek Hampa yang dimaksudkan ialah Surat Edaran Mendagri Nomor 821/5492/SJ tertanggal 14 September 2022. Surat itu perihal persetujuan Mendagri kepada pelaksana tugas/penjabat/penjabat sementara kepala daerah dalam aspek kepegawaian perangkat daerah.

Eksis dua soal yang yang diberikan persetujuan oleh Mendagri. Pertama, mereka diberikan persetujuan Kepada melakukan pemberhentian, pemberhentian sementara, penjatuhan Denda, dan/atau tindakan hukum lainnya kepada pejabat atau aparatur sipil negara di lingkungan pemda provinsi atau kabupaten atau kota yang melakukan pelanggaran disiplin dan atau tindak lanjut proses hukum sesuai peraturan perundang-undangan.

Kedua, persetujuan mutasi antardaerah dan/atau antarinstansi pemerintah sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Substansi surat edaran itu menuai kritik. Dinilai sebagai kemunduran serius dalam perbaikan tata kelola pemerintahan yang Berkualitas. Pemberian persetujuan itu juga dinilai berpotensi disalahgunakan Kepada kepentingan politik dalam rangka pemenangan Pemilu dan Pilkada 2024. Penjabat Dapat memindahkan ASN sesuai dengan kebutuhan tim pemenangan Golongan tertentu.

Cek Artikel:  Selamat Tinggal Cebong-Kampret

Lucunya Tengah, kata Mitra saya, setelah menuai kritik, Kemendagri memberikan penjelasan bahwa Mendagri memberikan izin penjabat kepala daerah Kepada menjatuhkan Denda atau hukuman disiplin bagi PNS yang tersangkut korupsi dan pelanggaran disiplin berat. Hal itu sejalan dengan ketentuan Pasal 18 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 bahwa kepala daerah harus menetapkan penjatuhan hukuman disiplin tingkat berat bagi ASN yang tersangkut korupsi.

Apabila tujuan surat edaran itu terkait dengan penjatuhan Denda bagi ASN yang tersangkut korupsi, mengapa PP 94/2021 Tak dijadikan rujukan? Dalam lima poin surat edaran itu sama sekali Tak ditemukan PP 94/2021 sebagai rujukannya.

Rujukan Surat Edaran Mendagri Nomor 821/5492/SJ ialah Pasal 71 ayat (2) dan Pasal 162 ayat (3) UU 10/2016 (poin satu); Pasal 132A ayat (1) huruf a dan ayat (2) PP 49/2008 (poin dua); dan Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-30A/V.100-2/99 (poin tiga). Ketiga regulasi yang dikutip itu pada dasarnya menyangkut penjabat dilarang melakukan mutasi pegawai, kecuali setelah mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri.

Cek Artikel:  Humanisme Kejaksaan

“Permohonan mutasi dari penjabat kepala daerah belum diajukan, Mendagri sudah terlebih dahulu memberikan persetujuannya. Inilah yang dimaksudkan sebagai cek Hampa,” kata Mitra saya.

Harus jujur diakui bahwa kewenangan penjabat sangatlah terbatas seperti diatur dalam Pasal 132A ayat (1) PP 49/2008. Ia dilarang melakukan mutasi pegawai; membatalkan perizinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perizinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya; Membangun kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya; dan Membangun kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya.

Kewenangan terbatas yang dimiliki penjabat kepala daerah itu sudah diantisipasi Mahkamah Konstitusi (MK) ketika menguji UU 10/2016. Salah satunya termaktub dalam putusan Nomor 15/PUU-XX/2022. Dalam putusan itu MK meminta pemerintah Kepada menerbitkan peraturan mengenai pengisian penjabat kepala daerah.

MK mengingatkan agar penjabat kepala daerah diberi kewenangan penuh sama, seperti gubernur, bupati, dan wali kota mengingat lamanya mereka akan menjabat. Itu Krusial mengingat peran sentral penjabat kepala daerah dalam masa transisi sebelum kepala daerah definitif terpilih dan demi dapat terwujudnya Percepatan perkembangan pembangunan daerah.

Cek Artikel:  Politik Sempit Pemekaran Daerah

Tak hanya sekali. Dalam pertimbangan putusan Nomor 37/PUU-XX/2022, MK kembali meminta pemerintah mengeluarkan peraturan soal penjabat kepala daerah. “Mahkamah telah menegaskan beberapa hal mendasar yang harus dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengisian penjabat kepala daerah. Hal tersebut harus dituangkan pemerintah dengan menerbitkan peraturan pelaksana sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan Jernih,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pada 7 Juli 2022.

Pemerintah kukuh Tak menerbitkan aturan yang dimintakan MK. Argumentasi pemerintah ialah MK dalam pertimbangannya hanya meminta pemerintah mempertimbangkan dan memberi perhatian, bukan mewajibkan pemerintah menerbitkan aturan soal penjabat.

Kata Mitra saya, elok nian bila Mendagri Tito mempertimbangkan ulang, bila perlu membatalkan surat edaran yang sudah dibuat itu. Ketimbang Membangun surat edaran yang dinilai melanggar aturan, ikuti saja saran MK.

Mungkin Anda Menyukai