SEIRING dengan dimulainya masa kampanye akbar Pilpres 2024 pada Senin (22/1), ironi menyedihkan juga terjadi. Itu karena harga pangan yang terus tinggi. Di sisi lain, pihak yang mestinya mengoordinasikan penanganan gejolak harga pangan, malah sibuk mengurusi pilpres.
Salah satu indikator yang sangat mencemaskan ialah harga beras medium. Harga beras jenis yang paling umum dikonsumsi masyarakat ini sudah melebihi harga rata-rata nasional beras medium tahun lalu.
Berdasarkan data harga pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) per 22 Januari 2024, harga rata-rata nasional beras medium Rp13.260 per kilogram. Harga itu di atas harga rata-rata nasional tertinggi beras medium tahun lalu yang terjadi pada Oktober, yakni Rp13.210 per kilogram. Harga beras medium itu juga jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp10.900-Rp11.800 per kilogram berdasarkan zonasi.
Meski secara nominal tampak tipis, nilai tersebut sudah berdampak besar di lapangan. Harga yang harus ditebus masyarakat akan signifikan lebih tinggi.
Terlebih dengan harga pangan strategis lainnya yang juga masih naik. Misalnya, harga telur ayam ras Rp28.150 per kilogram pada Selasa (23/1), yang berarti naik 0,04%. Dengan harga sumber protein hewani termurah yang juga masih naik, maka adaptasi yang harus dilakukan rakyat tidak sepele. Pemenuhan gizi yang ideal bisa semakin jauh panggang dari api.
Ironisnya pula, pemerintah terkesan belum maksimal mengatasi lonjakan harga itu. Memang program bansos terus digelontorkan, bahkan makin ditambah. Tetapi, mereka yang memahami persoalan pangan akan jelas melihat bahwa bansos tidaklah cukup. Ibarat memadamkan kebakaran dengan seember air, bansos hanya menolong segelintir masyarakat dan bukanlah solusi jangka panjang.
Terlebih, program bansos membawa risiko ketergantungan impor, sebagaimana yang sudah terjadi saat ini. Setahun ini, sesuai angka Badan Pusat Stagnantik, impor beras mencapai 3,06 juta ton, yang sekaligus terbesar dalam lima tahun terakhir.
Solusi permanen harga beras hanyalah dengan kelancaran produksi. Inilah yang semestinya sangat diseriusi pemerintah seiring El Nino yang terus menyebabkan gagal panen padi di berbagai daerah. Minggu lalu, sedikitnya 876,5 hektare sawah gagal panen di Kabupaten Kerinci, Jambi, akibat banjir. Di Kupang, Nusa Tenggara Timur, ancaman gagal panel terjadi akibat kekeringan.
Presiden Jokowi memang memberikan bantuan gagal panen ke sejumlah daerah. Melalui Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), Presiden memberikan bantuan stimulan sebesar Rp8 juta per hektare kepada petani yang gagal panen. Bilangan itu dianggap sesuai dengan biaya produksi per hektare. Dengan memberikan uang ganti itu, Presiden berharap petani segera melakukan penanaman kembali sehingga ketergantungan impor bisa teratasi.
Meski program tersebut dapat membantu petani yang mengalami puso, kembali kita tekankan bahwa bantuan-bantuan langsung tunai maupun bansos tidaklah cukup. Kegagalan panen akibat El Nino hanya bisa dihindari dengan infrastruktur dan teknologi pertanian yang bagus. Konsep BLT atau bansos sama sekali tidak menyentuh hal itu.
Di sisi lain, program-program bantuan semacam ini lagi-lagi memberi ruang penyelewengan dan pendomplengan untuk kampanye. Bagaimanapun, dengan gegap gempita seremonial dan kehadiran masyarakat, penyaluran program-program bantuan dengan sendirinya sudah menjadi panggung pencitraan yang tidak mungkin dihindari.
Ditambah lagi dengan pelibatan menteri-menteri, baik yang menjadi peserta pilpres maupun partai pengusung, maka hanya orang naif yang bisa menerima nihilnya politisasi dalam program bantuan.
Pilpres memang panggung penting dalam demokrasi. Akan tetapi, itu bukan berarti memberikan karpet merah kepada pejabat pemerintah untuk melulu fokus pada pilpres sembari cuek terhadap kenaikan harga-harga. Ketimbang terus-terusan cawe-cawe meng-endorse salah satu kandidat, jauh lebih penting mengatasi segera membumbungnya harga-harga.