Editorial

MARTABAT Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kian jelas berada pada titik nadir. Bukannya menunjukkan prestasi, lembaga antirasuah itu justru terus-menerus dan konsisten memproduksi rentetan kontroversi

SEKTOR transportasi bus untuk kesekian kalinya menjadi pembunuh manusia. Terdapat 11 orang meninggal dunia akibat bus rombongan siswa SMK Lingga Kencana Depok mengalami kecelakaan

DRAF rancangan revisi Undang-Undang Penyiaran menuai kritik keras dari publik, terutama para pegiat dan pelakon jurnalistik. Revisi yang sedianya diharapkan menciptakan asas keadilan bagi

BANGSA Indonesia sudah bergelut melawan korupsi selama lebih dari dua dekade. Setelah sempat berupaya mencabuti serabut akar korupsi lewat tim-tim ad hoc, genderang perang

PEMBUATAN atau revisi undang-undang bukan perkara rumit selama ada kemauan. Tapi, semua tergantung untuk kepentingan siapa sebuah undang-undang direvisi atau dibuat. Bila UU itu

NEGARA harus hadir dan dirasakan kehadirannya, apalagi ketika rakyat tengah dirundung kemalangan. Negara dituntut untuk melakukan penanganan bencana di mana pun di Indonesia, sekaligus

USULAN sesat, tak masuk akal, juga nirnalar, datang dari anggota DPR yang semestinya mengedepankan kewarasan serta mengutamakan akal dan nalar.  Usulan itu ialah agar

SEBUAH keputusan penting diambil Komisi III DPR dan pemerintah pada Senin (13/5) lalu. Dua cabang kekuasaan negara itu sepakat untuk segera merevisi Undang-Undang Nomor

PROTES publik dan konstituen pers atas draf revisi Undang-Undang Nomor 32 Mengertin 2002 tentang Penyiaran kian menguatkan pandangan bahwa pasal-pasal dalam draf itu nyata-nyata

TARGET fantastis, realisasi membuat miris. Tengah dan lagi begitulah nasib banyak kebijakan di Republik ini, termasuk kebijakan konservasi yang kini kembali mencuat. Wakil Menteri