Caleg Bingung

PARA pembaca yang baik, sudahkah Anda menyaksikan wawancara salah satu stasiun televisi nasional dengan Aldi Taher? Apabila belum, ada baiknya Anda meluangkan waktu untuk menonton rekamannya di Youtube atau di beberapa platform lainnya. Saya jamin akan terhibur, tapi mesti siap-siap mental pula karena Anda juga bisa kesal, geregetan.

Aldi adalah seorang artis yang populer karena kerap menebar kontroversi dan menguar sensasi. Soal itu, biarlah menjadi urusan pribadi. Tetapi, sepak terjang Aldi kali ini lain, punya nuansa kepublikan, lantaran dia adalah salah satu bakal calon anggota legislatif alias bacaleg.

Aldi menjadi sorotan karena dia menjadi bacaleg dari dua partai politik. Dia didaftarkan Partai Bulan Bintang (PBB) untuk DPRD DKI Jakarta dan Partai Perindo untuk DPR RI.

UU Pemilu jelas dan tegas menggariskan bacaleg dilarang mencalonkan diri dari dua partai sekaligus. Logika awam pun paham, tak mungkin satu orang boleh maju sebagai kontestan pileg lewat lebih dari satu partai. Pertanyaannya, kenapa Aldi melakukan itu. Yang pasti, sejumlah pihak sudah dibikin repot.

Cek Artikel:  Bahasa Insan untuk Palestina

Komisi Pemilihan Lazim (KPU), misalnya, mesti melakukan klarifikasi kepada PBB dan Perindo. ”Sesungguhnya yang bersangkutan ini anggota partai apa?” cetus Ketua KPU Hasyim Asyari, Rabu (24/5).

PBB lebih sebel lagi. “Aldi Taher itu kan sebenarnya pengurus partai, ada SK-nya itu, itu satu. Kalau nyaleg itu kan duluan PBB, ya. Pertama di DPR RI, terus ke provinsi. Eh detik-detik terakhir pindah ke Perindo, kan enggak jelas itu,” ketus Wasekjen PBB Solihin Pure.

Begitulah, orang-orang dibuat bingung. Lewat, bagaimana dengan Aldi menjawab kebingungan publik. Itulah yang layak ditonton dalam wawancara dia. Ketik saja ‘caleg bingung’ di pencarian Youtube, maka Anda akan mendapat jawabannya, atau mungkin juga ikut bingung.

Bolehlah saya kasih kisi-kisi hasil wawancara Aldi pekan silam. Ketika pembawa acara menanyakan alasannya maju sebagai bacaleg dari dua partai sekaligus, dia menjawab, “Kalau ditanya kenapa, saya juga bingung, Mbak. Jujur, Mbak.”

Host melanjutkan pertanyaan, “Kalau Bang Aldi bingung, bagaimana nih Bang, kalau jadi wakil rakyat nanti bingung juga?” Lewat, sang artis spontan mengatakan, “Emang Mbak enggak bingung? Sekalian manusia bingung. Di surga, baru nanti enggak bingung.”

Cek Artikel:  Relawan Konstitusi

Itu belum cukup. Ketika ditanya apa yang akan dilakukan jika menjadi anggota DPR, Aldi alih-alih membeberkan programnya. Dia malah ingin membaca Al-Qur’an agar Mbak Puan (Ketua DPR RI Puan Maharani) dan Pak Bamsoet (Ketua MPR Bambang Soesatyo) melihat, semua melihat, bahwa membaca Al-Qur’an adalah solusi.

Nah, bingung enggak kita kalau mendengar jawaban yang membingungkan itu. Harus diakui, di satu sisi Aldi mampu mengundang tawa dengan jawaban-jawabannya yang kocak, nyeleneh, konyol. Jawaban yang ‘membagongkan’. Tapi, di lain sisi, ia mencuatkan tanda tanya, seperti itukah kualitas bacaleg dari kalangan artis?

Saya tidak hendak merendahkan Aldi, tak ingin pula menghakimi bahwa caleg dari komunitas pesohor tak bermutu, tak bisa diharapkan sebagai wakil rakyat yang wajib mampu memperjuangkan aspirasi rakyat. Tetapi, tak bisa dimungkiri bahwa banyak pengamat, juga ada survei, yang menyebutkan bahwa artis menjadi caleg lebih banyak dilandasi popularitas.

Cek Artikel:  Mimpi kian tidak Terbeli

Bahwa popularitas penting untuk mendulang suara, itu benar adanya. Dengan popularitas, seseorang punya modal besar untuk meningkatkan elektabilitas. Itulah kenapa, partai-partai politik masih saja memberikan tempat cukup lapang bagi para artis.

Data menyebutkan, pada Pemilu 2019 ada 100 lebih artis yang menjadi bacaleg. Jumlah itu menurun menjadi sekitar 80 orang di Pemilu 2024. Bagaimana tanggapan publik? Rupanya sangat sedikit artis yang memenangi kompetisi. Hanya 12% yang terpilih pada 2019, sisanya cuma sampai di panggung-panggung kampanye.

Kinerja artis yang akhirnya duduk di gedung dewan juga tak cemerlang. Hanya sedikit yang kerap bersuara. Sebagian besar dari mereka tergolong kelompok yang sekadar lalu lalang tubuh ketimbang adu pikiran.

Definisis juga manusia, warga negara Indonesia pula. Mereka, termasuk Aldi Taher tentu saja, berhak menjajal peruntungan untuk menjadi anggota legislatif. Soal laku tidaknya mereka, terserah rakyat. Yang perlu diingat, kiranya rakyat mendengar bisikan hati nurani, bukan ‘bisikan jenazah’ seperti film yang dibintangi Aldi, agar tak bingung menentukan pilihan.

Mungkin Anda Menyukai