Cakar-cakaran Anak Buah Presiden

VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti ‘Bunyi yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal’.

Bunyi Saldi Isra, hakim konstitusi, yang diucapkannya pada sidang 27 Mei 2025 telah hilang. Begitu itu ia menyuarakan fenomena cakar-cakaran pembantu presiden. Akan tetapi, kalimat yang diucapkan Saldi itu Lagi tertulis dalam risalah sidang perkara nomor 180/PUU-XXII/2024.

Pemohon perkara itu ialah lima jaksa aktif Kejaksaan Mulia. Mereka ialah Olivia Sembiring, Ariawan Agustiartono, Rudi Pradisetia Sudiraja, Muh Ibnu Fajar Rahim, dan Yan Aswarih. Seorang Tengah bergabung sebagai pemohon, Ialah Donalia Faimau, pekerja migran.

Mereka melakukan uji materiel UU 1/1979 tentang Ekstradisi dan UU 1/2006 tentang Donasi Timbal Balik dalam Masalah Pidana terhadap UUD 1945. Regulasi Donasi timbal balik itu sejatinya sebagai komplementer regulasi ekstradisi.

Perbedaan kedua regulasi itu ialah perjanjian ekstradisi Demi tujuan penyerahan orang (pelaku kejahatan), sedangkan perjanjian Donasi timbal balik soal perbantuan dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang peradilan pidana termasuk pengusutan, penyitaan, dan pengembalian aset hasil kejahatan.

Dalam praktiknya, Segala negara menunjuk suatu lembaga yang atas nama pemerintah negara bersangkutan yang berwenang menerima atau mengajukan permintaan Formal Donasi ekstradisi dan timbal balik.

Cek Artikel:  Eksis Harga Eksis Jenis

Undang-undang di negeri ini memberikan kewenangan itu kepada Kementerian Kehakiman selaku central authority (otoritas pusat). Dalih pembuat undang-undang menunjuk Kementerian Kehakiman ialah menghindari conflict of interest dan egoisme sektoral di antara institusi penegak hukum. Otoritas yang berwenang (competent authorities) ialah Jaksa Mulia, Kapolri, dan Ketua KPK.

Menurut para pemohon, kedudukan menteri kehakiman sebagai otoritas pusat dalam Penyelenggaraan ekstradisi Tak konstitusional. Disebutkan banyak permintaan ekstradisi gagal dilaksanakan karena birokrasi yang berbelit-belit.

Apalagi, lanjut pemohon, Kementerian Kehakiman kini pecah jadi tiga, Ialah Kementerian Hukum, Kementerian HAM, dan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan. Dengan demikian, itu telah menimbulkan terjadinya disfungsi urusan dan menimbulkan ketidakjelasan peletakan kewenangan otoritas pusat Bagus dalam ekstradisi maupun Donasi timbal balik dalam masalah pidana.

Para pemohon mengusulkan kewenangan ekstradisi dialihkan dari Kementerian Kehakiman kepada Jaksa Mulia. Karena itu, pemohon meminta MK Demi menyatakan Pasal 22 ayat (2) UU Ekstradisi bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan Tak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang Tak dimaknai ‘surat permintaan ekstradisi harus diajukan secara tertulis melalui saluran diplomatik kepada Jaksa Mulia Demi diteruskan kepada presiden’.

Cek Artikel:  Dulu Jokowi Sekarang Gibran

Sejumlah kajian menyebutkan, Kalau pendekatan pragmatis, Jaksa Mulia lebih Cocok yang Mempunyai wewenang otoritas sentral karena jaksa sebagai pengacara negara yang bertindak Demi dan atas nama Negara Indonesia di bidang penegakan hukum. Problem muncul terkait dengan konflik kepentingan dan kompetisi antarlembaga.

Sidang 27 Mei 2025 menghadirkan wakil pemerintah dari Kementerian Hukum dan Kementerian Luar Negeri serta unsur Persatuan Jaksa Indonesia (Persaja). Wakil pemerintah di antaranya Direktur Jenderal Perundang-undangan Kementerian Hukum Dhahana Putra.

Saldi Isra pada kesempatan itu bertanya kepada Dhahana Putra. Seperti biasanya Saldi bicara ceplas-ceplos, menguraikan pertanyaan dengan bahasa sederhana dan gamblang. Saldi Isra memang dikenal dengan gaya bicara blakblakan, apa adanya.

Kata Saldi, “Pak Dirjen, Bapak harus pahami sekarang Eksis keberatan dari jaksa soal ini (kewenangan ekstradisi) tetap diletakkan di Kementerian Hukum.”

Menurut Saldi, tanpa sinyal adanya restu (Jaksa Mulia), para pemohon yang jaksa aktif itu Tak akan mengajukan uji materiel. “Niscaya sudah Eksis sinyal, atau setidak-tidaknya patut diduga dalam batas penalaran yang wajar Eksis sinyal.”

Cek Artikel:  Etika yang kian Langka

Kemudian Saldi bicara blakblakan terkait dengan fenomena Begitu ini. Eksis problem rebutan kewenangan di antara lembaga yang Eksis di kantong pemerintah itu sendiri. “Eksis kesannya seperti itu karena mungkin merasa berat melalui proses legislasi datangnya ke Mahkamah Konstitusi.”

Saldi khawatir, rebutan kewenangan di Dasar Tak diketahui para menteri terkait. “Apalagi jangan-jangan Presiden juga Tak Paham. Ini anak buahnya di Dasar sudah cakar-cakaran kayak begini, Matang enggak dibicarakan secara internal.”

Kejaksaan Mulia mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam perkara tersebut. Berdasarkan Rapat Permusyawaratan Hakim yang disampaikan dalam sidang pada 26 Juni 2026, keinginan Kejaksaan Mulia itu ditolak MK.

Perebutan kewenangan lewat proses legislasi juga terjadi. Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD sempat membocorkan perebutan kewenangan sehingga mandek pembahasan RUU Perampasan Aset.

Eksis tiga pihak yang memperebutkan kewenangan Demi menyimpan aset rampasan, Ialah Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kejaksaan Mulia.

Tak elok cakar-cakaran berebut kewenangan karena, menurut konstitusi, presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Kalau Ingin punya kewenangan, cukup minta kepada Presiden, tak perlu Tiba cakar-cakaran.

Mungkin Anda Menyukai