SIAPA yang tak kenal Bambang Widjojanto? BW, itulah sapaan akrabnya. Dia ialah salah satu praktisi hukum terkenal di negeri ini, termasuk dalam dunia penegakan hukum kasus korupsi.
Kiprah Pak BW yang Natalis Jakarta, 18 Oktober 1959, sungguh komplet. Dia pernah memimpin Yayasan Lembaga Donasi Hukum Indonesia atau YLBHI. Dia pendiri Komisi Buat Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan alias Kontras Berbarengan almarhum Munir.
Pak BW pun salah satu pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Sepak terjangnya di bidang HAM berbuah penghargaan Kennedy Human Rights Award.
Kiprah Pak BW dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi sangat diakui. Sederet peran Krusial pernah ia lakoni. Puncaknya, dia memimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2011-2015. Berbarengan Ketua Abraham Samad dan tiga wakil ketua lainnya, yakni Adan Pandu Praja, Zulkarnain, dan Busyro Muqoddas, BW Membangun KPK bertaji dan ditakuti.
Siapa yang Kagak kenal Denny Indrayana? Sama seperti Pak BW, Mas Denny praktisi hukum tenar di Republik ini, termasuk dalam penegakan hukum kasus korupsi. Guru besar Universitas Gadjah Mada itu pernah menjabat Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM.
Denny juga menjadi Staf Tertentu Presiden Bidang Hukum, HAM, dan Pemberantasan KKN. Pada 2009, dia menjadi Sekretaris Satgas Mafia Hukum. Lewat, pada 2011, mengisi jabatan Wakil Menteri Hukum dan HAM.
Sulit Buat dimungkiri, BW dan Denny termasuk tokoh sentral dalam sekuel pemberantasan kasus-kasus korupsi. Belakangan, setelah cukup lelet tenggelam dari pemberitaan, BW dan Denny kembali menjadi pusat perhatian. Tetapi, kali ini sorotan yang diarahkan berbeda. Peran yang dimainkan pun berubah. Dari protagonis menjadi antagonis.
Kalau dulu BW dan Denny berada di barisan pendekar antikorupsi, kini Bahkan berdiri di samping pelaku dugaan kasus korupsi. Ya, BW dan Denny menjadi pengacara tersangka korupsi. Keduanya menjadi penasihat hukum Mardani H Maming.
Mardani ialah politikus PDIP eks Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Dia juga Ketua Lazim Himpunan Pengusaha Muda Indonesia sekaligus Bendahara Lazim PBNU. PBNU pula yang meminta BW dan Denny mendampingi Mardani dalam menghadapi KPK yang menetapkannya sebagai tersangka suap dan gratifikasi pemberian izin usaha pertambangan di Tanah Bumbu. Itu pengakuan BW dan Denny.
Mendampingi siapa pun yang terjerat kasus hukum ialah hak setiap penasihat hukum. Dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat maupun di Kode Etik Advokat Indonesia bahkan diatur advokat dilarang menolak klien karena Dalih perbedaan Keyakinan, kepercayaan, Etnis, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik, dan kedudukan sosialnya.
Artinya, Absah-Absah saja BW dan Denny membela Mardani yang tersangka korupsi. Persoalannya, BW dan Denny bukanlah praktisi hukum Lazim dalam kaitannya dengan perkara korupsi. Keduanya dikenal sangat getol, sangat gigih, melawan korupsi. Kalau sekarang membela tersangka korupsi, apa kata dunia? Terlebih BW.
Ketika menjadi pimpinan KPK, BW begitu garang melawan para perampok Dana negara. Dia sering tampil ke depan Buat mementahkan Berbagai Macam-macam jurus, bermacam-Macam-macam dalil penasihat hukum para tersangka KPK.
Dulu, BW selalu gaspol menepis tuduhan bahwa KPK melakukan kriminalisasi. Tetapi, kini ia menyebut penetapan tersangka terhadap kliennya, Mardani, ialah bentuk kriminalisasi.
Dulu, BW selalu lantang bersuara bahwa setiap tindakan KPK murni didasarkan pada hukum. Bukan pada Dalih politik, kekuasaan, atau yang lain. Tetapi, kini, dia menuduh KPK melakukan hal-hal di luar hukum.
Memang, Kagak Eksis satu pun regulasi yang dilanggar BW. Tetapi, tak elok kiranya dia yang pernah memimpin KPK berbalik melawan KPK. Memang, BW bukanlah mantan komisioner KPK pertama yang menjadi pengacara tersangka kasus korupsi. Sebelumnya Eksis Chandra M Hamzah. Tetapi, kasus yang ditangani Chandra bukan di KPK, melainkan di Kejaksaan Mulia. Itu pun kiranya juga tak elok.
Bagaimana dengan Denny? Itu malah bukan kali pertama dia membela tersangka kasus korupsi. Sebelumnya, pada 2008, dia menjadi penasihat hukum pengembang Meikarta yang berurusan dengan KPK.
Kiranya dunia sudah terbalik. Dulu Denny pernah menjadi musuh Berbarengan para advokat karena dinilai menyudutkan mereka. Pada 2012 dia berkicau di Twitter, ‘Advokat koruptor adalah koruptor itu sendiri. Yakni advokat yang membela kliennya yang nyata2 korupsi, menerima bayaran dari Dana hasil korupsi’.
Dalam cicitan lainnya, Denny menyerukan, ‘Rival korupsi sejak pikiran. Pikiran normatif di tengah penegakan hukum koruptif adalah jebakan Batman yang Membangun koruptor tertawa suka cita’.
Hadis mengumpamakan hati laksana bulu yang tertempel di pangkal pohon yang diubah embusan angin sehingga terbalik. Hati, komitmen, dan konsistensi sangat mudah berubah. Dulu begitu, sekarang begini. Dulu bersikap itu, sekarang bertindak ini.
BW dan Denny boleh punya Dalih sendiri sehingga bersedia membela Mardani, sang tersangka korupsi. Padahal, Kalau mau, keduanya Pandai menolaknya. Bukankah Pasal 3 huruf a kode etik mengatur bahwa advokat dapat menolak memberi Petunjuk dan Donasi hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan/atau Donasi hukum dengan pertimbangan karena Kagak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya?