Bunda Jelita, Menurut KPAI, Ini Dalih Anak Terjebak Judi Online

Bunda Jelita, Menurut KPAI, Ini Alasan Anak Terjebak Judi Online
Spanduk himbauan bahaya judi online terpasang di sudut jalan Kawasan Tambora, Jakarta, Kamis (8/8/2024)(MI/RAMDANI)

WAKIL Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengatakan bahwa dari data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) selama 2023 ada Rp327 triliun dalam 168 juta transaksi dengan nilai deposit hampir Rp35 triliun terkait judi online (judol).

“Sebanyak 3,2 juta orang terlibat judol dan 2% atau 80.000 di antaranya adalah anak-anak yang bermain judol, dengan usia 10 tahun ke bawah. Kemudian 11% atau 440.000 pemain judol di usia 10-20 tahun. Menkominfo menyatakan ini kenaikan yang sangat tajam,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Kamis (15/8).

Lebih lanjut, Jasra menambahkan bahwa generasi Indonesia mudah terjebak judol karena industri mampu menghadirkan karakter yang manipulatif sehingga di sukai anak-anak. Sejak uang digital, uang virtual dan alat serupa mampu menjadi alat tukar. Mereka juga hadir menyesuaikan jumlah uang jajan anak. Terbukti anak-anak yang bermain judol rata-rata di angka Rp10 ribu sampai Rp100 ribu.

Baca juga : Total Deposit Judol oleh Anak Letih Rp293,4 Miliar

“Akibatnya anak-anak tidak sadar sudah kecanduan judi online. Kemudian memang pengawasan dari orangtua, keluarga dan sekolah sangat kurang. Meski sebenarnya judol telah mengubah perilaku mereka, baik di sekolah, rumah dan lingkungan,” kata Jasra.

Dari laporan yang masuk ke KPAI, terdapat kemasan jajanan dan game online yang seolah-olah industri candu menawarkan solusi, dan akhirnya imajinasi anak terbentuk, menjadi tumbuh kembang bersama mereka.

Tentu saja penyebabnya tidak tunggal, karena anak-anak yang bermain judi online, awalnya terjebak dalam perlakuan salah. Setelah rentetan berbagai permasalahan yang tidak terjawab, baik dari rumah, sekolah dan lingkungan.

Baca juga : Ini Daerah yang Banyak Transaksi Judi Online, Cengkareng dan Karawaci Termasuk

“Judol menjalankan bisnisnya sama dengan produk industri candu lainnya, seperti rokok, rokok vape, rokok pods, miras, narkoba, pornografi dan game dengan produksi kekerasan yang didalamnya bersifat candu, yaitu menyebabkan penggunanya ketergantungan,” tuturnya.

Cek Artikel:  Anggiasari Tampilkan Koleksi Wastra Sasirangan Banjarmasin Berkonsep Sustainable di Muffest 2024

Menurut Jasra, di dalam industri candu ada emosi yang mudah menular, di mana jiwa penggunanya di serang pelan-pelan yang ujungnya bila tidak dikonsumsi sedikit saja, maka ada dorongan yang terus meningkat.

Sejatinya anak-anak menyukai tantangan, karena mereka membutuhkan dukungan dalam menjemput tumbuh kembangnya yang pesat, dan rasa ingin tahu yang tinggi. Tetapi karena ketidakmatangan secara fisik, tingkat pemahaman dan emosi, menyebabkannya mereka dalam meraihnya sering kali berisiko dan rentan.

Baca juga : Kominfo Sebut Bandar Judi Online Sasar Anak Lewat Game

“Buat menjembatani antara ketidakmatangan dan keingintahuan yang tinggi, mereka akan lebih suka instan dan mencontoh secara cepat, seperti mencontek,” ujar Jasra.

Anak juga dikatakan memiliki beragam kebutuhan, meski hidup dalam keterbatasan. Kebutuhan anak hari ini, tentunya harus bisa dijawab hari ini. Karena kalau dijawab besok, tentu kebutuhannya sudah berbeda.

Mereka juga tidak bisa di batasi, meski dengan peraturan yang sangat ketat, ada saja cara mereka untuk menghindarinya. Sehingga ketika orangtua tidak dapat memberinya, mereka akan mencari dengan berbagai cara. Salah satunya terperangkap dan terjerat di industri candu judol.

Baca juga : KPAI Minta Negara Serius Berantas Judi Online dengan Libatkan Lembaga Perlindungan Anak

“Sekolah yang tidak memilliki metode cara mendekati anak dan jiwanya hanya menjalankan bisnis sehari hari, sebenarnya sudah lama ditinggalkan anak-anak. Secara fisik memang mereka hadir disekolah, menuruti perintah orangtua dan guru. Tetapi pada kenyataannya jiwanya tidak di sana,” tuturnya.

Ketika ini dapat dilihat apakah sekolah benar-benar hadir sebagai satu-satunya tempat mengatasi permasalahan hidup anak-anak. Hal ini bisa diukur dengan sikap sehari-hari anak-anak dalam mengatasi problematika hidupnya serta alasan mereka dalam memilih sikap dalam mengatasi permasalahan.

Di kekosongan inilah, kemudian anak-anak menjelajah hal hal baru, yang diharapkan bisa menjadi pengganti, memberi solusi, mengatasi kejenuhan yang kemudian semua permasalahan itu, dijawab oleh satu alat yaitu gawai. Tempat mereka bertanya dan bisa menjadi apa saja.

Cek Artikel:  5 Detik Saja, Rahasia Sederhana untuk Rekanan Selarass

“Kalau ada yang masih menyalahkan anak, ketika mereka terperangkap di industri candu, seperti salah satunya judol, maka boleh dikatakan orang yang menyalahkan anak itu tidak tahu apa-apa. Karena semua yang beroperasi di internet sekarang, dengan mudah bisa mendekati anak,” ucap Jasra.

Mau atau tidak mau, mereka punya seribu cara, untuk memastikan anak tetap menerimanya. Sehingga apa daya anak untuk bisa melawannya.

Ketika anak didekati, digrooming para industri candu. Misal tidak bisa lewat miras, maka mereka akan menggunakan industri candu lainnya, misal judol dan pornografi. Sehingga mereka bertali temali yang sebenarnya terus menjerat dalam mendekati anak, sehingga mereka tidak bisa keluar.

“Seketika itu, ketika anak menikmati, mereka akan dituntut para penyedia akun atau aplikasi. Sehingga anak-anak tidak ada pilihan, dengan komersialisasi dan eksploitasi anak melalui judol. Mereka merasa berutang budi,” urainya.

Berbagai temuan KPAI ketika mewawancarai anak yang terjebak industri candu, sebenarnya memiliki pola sama, seperti dalam judol para pelaku ada yang meminjamkan akun. Sayan tersebut bisa digunakan untuk main game apa saja dan diberi seperangkat bonus agar mudah naik level permainan, sehingg anak bermain tanpa batasan.

Kemudian para pelaku menuntut anak, sehingga anak merasa ada utang budi. Kemudian di sana lah pelaku mengencarkan rencananya, dalam menjerat anak di industri candu, termasuk judol.

“Sehingga mau tidak mau, sadar sekaligus secara parallel ketidaksadaran menyatu, menjadi serangan buat anak. Sehingga kami menyatakan tidak ada satupun yang kebal atau bisa menghindari, termasuk orang dewasa. Maka kita menyebutnya perang terhadap industri candu dan anak, sekolah, pesantren, lembaga, rumah, ayah, ibu, ustaz, pembina, pengasuh tidak bisa ditinggalkan sendirian. Apalagi anak yang masih sangat membutuhkan pendampingan, karena berbagai sikapnya yang rentan dan berisiko mendapatkan perlakuan salah,” jelas Jasra.

Cek Artikel:  Kulit Kering Coba Masker Madu dan Alpukat Ini untuk Hasil Maksimal

Salah satu faktor kenapa anak-anak ditemukan bermain judol karena situasi rekam jejak pengasuhan yang tidak pernah terdeteksi. Karena ini muara masalahnya, sejak anak dilahirkan, kemudian mengalami hidup berpindah-pidah, jatuh ke tangan yang salah, tidak di dalami riwayat dan situasi pengasuhan di rumah, dan diserahkan orangtua dengan riwayat pengasuhan pengganti yang tidak diketahui. Akibat kondisi-kondisi tersebut anak tidak bisa mengembangkan kecerdasan emosinya, bisnis prosesnya, serta kritikal cara berfikirnya.

KPAI sudah mengamati judol ini, sejak Kapolri menyatakan perang terhadap judi 2 tahun yang lalu, yang kemudian KPAI melihat para pelaku industri judol berpindah atau bermigrasi ke anak-anak. Dengan semakin mudahnya dan murahnya bermain judol melalui berbagai cara pendekatan mereka.

“Kita harus menyadari sepenuhnya, melihat akar masalah. Sebenarnya anak-anak yang berhadapan dan direbut industri candu adalah masalah puncak anak. Karena tidak terurai, penyebabnya bisa dari rumah, sekolah dan lingkungan bermainnya,” tegasnya.

“Kita perlu mengubah cara kerja kita dalam penyelenggaraan perlindungan anak, sejak anak-anak bisa menukarkan uang digitalnya dengan apapun. Sekali lagi bahwa yang dulu dilarang, sekarang sudah bisa semua digapai anak-anak. Dan situasi ini di riset betul oleh Judol dalam menghadirkan dan mendekati anak anak,” sambungnya.

Menurutnya, pemerintah bersama Bank Indonesia, OJK, dan PPATK harus mulai duduk kembali melihat kebijakan tentang pengembangan jasa layanan keuangan. Termasuk bagaimana anak-anak memandang rupiah hari ini.

“Perubahan-perubahan ini harus cepat dijawab, di tengah kebutuhan anak yang terpenuhi dan dijawab uang digital. Tetapi kita tahu uang digital atau virtual jauh dari otoritas pengawasan keuangan. Jangan sampai layanan jasa ini lebih dimanfaatkan para pelaku industri candu. Negara perlu intervensi,” pungkasnya. (H-2)

Mungkin Anda Menyukai