JELS, apakah tahu tentang respiratory syncytial virus (RSV)? RSV memang tidak familiar bagi masyarakat awam. Padahal infeksi virus RSV sangat berbahaya dan bisa menyebabkan kematian, terutama pada bayi prematur.
RSV ialah infeksi yang utamanya menyerang sistem pernafasan, menyebabkan berbagai gejala mulai dari gejala ringan seperti flu hingga gangguan pernafasan yang lebih parah, terutama pada populasi rentan seperti bayi, anak kecil, dan orang dewasa lanjut usia.
Neonatalogi Prof Dr dr Rinawati Rohsiswatmo SpA(K) mengingatkan pentingnya bagi pemerintah untuk meningkatkan awareness, pencegahan, diagnosis, dan treatment (supportive) atas kasus respiratory syncytial virus (RSV) di Indonesia.
Baca juga : Ini Metode untuk Menjaga Flu Singapura
RSV sangat menular dan menyebar terutama melalui tetesan pernafasan. Demi orang terinfeksi batuk, bersin, atau berbicara, tetesan kecil yang mengandung virus bisa terlepas ke udara dan terhirup orang lain. Virus ini juga dapat bertahan hidup di permukaan benda selama beberapa jam, sehingga penularan tidak langsung dapat terjadi melalui kontak dengan permukaan benda yang terkontaminasi.
Menurut Prof Rina, biasa ia disapa, pada salah satu studi multicentre 2022 terkait epidemiologi community-acquired pneumonia (CAP) di Indonesia, RSV jadi satu dari lima patogen utama yang ditemukan.
“Intervensi ini menyebutkan kasus RSV di Indonesia mencapai 27,1% dan di urutan ke-2 penyebab CAP pada anak usia di bawah 5 tahun,” kata dia.
Baca juga : Kenali Gejala Hepatitis A dan Metode Mencegahnya
Selanjutnya, berdasarkan salah satu review literatur sistematik, laju insidensi lower respiratory tract infection (LRTI) atau infeksi saluran nafas bagian bawah akibat infeksi RSV di Indonesia sebesar 50,1 per 1.000 anak per tahun dengan jumlah 1.245.1852 kejadian.
Insidensi dan proporsi infeksi RSV yang mengakibatkan LRTI dan LRTI berat lebih banyak terjadi pada kelompok usia kurang dari 1 tahun.
Ia memaparkan dari data empat penelitian lokal menunjukkan RSV adalah virus yang muncul setiap tahun. Kasus puncaknya terjadi pada minggu ke-48 (awal Desember) hingga minggu 16 (akhir Maret). Tetapi, para ahli masih yakin ini akan mengikuti flu yang berlangsung sepanjang tahun.
Baca juga : Waspada Penyakit Radang Otak yang Gejalanya Mirip Flu
Unsur risiko utama infeksi RSV parah adalah pada bayi prematur dan bayi jangka panjang dengan kelainan CP (celebral palsy). “Terdapat 2,02% insiden bayi prematur berisiko tinggi lahir dengan ID RSV,” ucapnya.
Prof Rina memaparkan banyak kejadian LRTI seperti pneumonia dan bronkiolitis yang dicurigai akibat RSV. Tetapi, terkadang ini tidak terdeteksi optimal karena terbatasnya akses tes diagnostik virus RSV.
“Maka sangat penting infeksi RSV jadi perhatian pemerintah, terutama untuk mencegah beban penyakit kematian dini bayi dengan risiko tinggi karena pneumonia akibat infeksi RSV,” tegasnya.
Baca juga : Satu dari Sepuluh Kelahiran Prematur Terkait dengan Bahan Kimia Plastik
Dalam hal ini, Prof Rina juga menyebut pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia tentang bahaya penyakit akibat RSV masih rendah, termasuk orang tua dengan anak berisiko tinggi terhadap RSV.
“Ini disebabkan beberapa faktor, seperti terbatasnya informasi dan kurangnya kampanye edukasi publik terkait infeksi RSV,” ungkapnya.
Dia mengatakan sampai saat ini tidak ada pengobatan definitif untuk infeksi RSV dan hanya terapi suportif. “Maka itu, pencegahan merupakan upaya paling penting, terutama bagi pasien yang memiliki risiko tinggi mengalami infeksi RSV yang berat,” ucapnya.
Menurutnya, pemerintah harus berupaya meningkatkan awareness khususnya pasien dengan risiko tinggi dan dampak jangka panjang yang muncul.
“Ini bisa berupa kampanye disease awareness dan edukasi berkelanjutan dari tenaga medis (dokter), masyarakat, dan pemerintah,” ujarnya.
Pemerintah juga perlu meningkatkan akses diagnostik untuk pemeriksaan virus, khususnya RSV. Dengan begitu, kasus LRTI akibat RSV diketahui optimal, sehingga dokter dan orang tua aware terhadap virus RSV.
“Selanjutnya, dari segi treatment, pastikan pasien yang mengalami dampak parah akibat RSV dapat tertangani dengan baik,” tegasnya.
Bagi bayi prematur dan kelompok risiko tinggi lain, selain membatasi penularan RSV dengan perilaku hidup bersih dan sehat, perlu juga dipertimbangkan pemberian imunoprofilaksis atau profilaksis/pencegahan menggunakan antibodi monoklonal spesifik RSV (Palivizumab).
Menurut Prof Rina, penggunaan mab spesifik guna mencegah RSV itu sudah diterapkan di negara lain seperti Malaysia, Singapura, Australia, dan Jepang. “Kemudian, untuk memproteksi dari bahaya pneumonia, dapat dilanjutkan vaksin lainnya, sesuai jadwal imunisasi,” pungkasnya. (H-2)