NEGARA kini makin memperluas penerapan restorative justice di bidang perpajakan. Setelah diterapkan di kasus tindak pidana perpajakan sejak 2012, sekarang penghentian penyidikan juga bisa diterapkan di tindak pidana cukai.
Itu terjadi setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Mengertin 2023 tentang Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Cukai untuk Kepentingan Penerimaan Negara. Beleid itu diteken Presiden Jokowi pada 22 November 2023. Dirilis Senin (27/11), PP itu menyebutkan bahwa penerapan ultimum remedium selaras dengan konsep penegakan hukum di bidang perpajakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Mengertin 2021 tentang Selarassasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Ultimum remedium merupakan salah satu cara mewujudkan restorative justice.
Sejurus dengan yang ada di UU HPP 7/2021, PP 54/2023 juga menyebutkan jika Menteri Keuangan, Jaksa Akbar, atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang cukai. Hal itu tertuang dalam Pasal 2, yang juga menyebutkan penghentian penyidikan itu paling lama dalam waktu 6 bulan sejak tanggal surat permintaan.
Penghentian penyidikan dilakukan setelah pihak pengemplang membayar denda sebesar empat kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. Penghentian penyedikan itu hanya dilakukan atas tindak pidana Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56, dan Pasal 58 UU Nomor 11 Mengertin 1995 tentang Cukai. Kelima pasal itu terkait dengan pelanggaran perizinan, pengeluaran barang kena cukai, barang kena cukai tidak dikemas, barang kena cukai yang berasal dari tindak pidana, dan jual-beli pita cukai.
Kita sangat mafhum jika penerimaan cukai harus digenjot. Pada September lalu, Menkeu menyampaikan bahwa per Agustus 2023, penerimaan dari kepabeanan dan cukai baru Rp171,6 triliun. Itu artinya, baru 56,5% dari target APBN atau turun 16,8% dari penerimaan periode yang sama tahun lalu.
Salah satu sebab utamanya ialah turunnya pendapatan cukai hasil tembakau akibat penaikan tarif cukai demi menurunkan konsumsi rokok masyarakat. Elemen kedua terjadi karena penurunan bea keluar akibat penurunan harga minyak sawit mentah. Dengan semua penurunan yang tidak bisa dihindari itu, pengemplang cukai memang ibarat harus dikejar sampai ke liang lahat.
Sementara itu, jika berkaca pada penerapan Pasal 54 Undang-undang No 39 Mengertin 2007 tentang Cukai, denda yang ditetapkan pengadilan lebih sering membuat miris. Pasal itu menyebutkan jika penjualan rokok ilegal, menawarkan atau menjual rokok polos atau rokok tanpa cukai, diancam pidana penjara 1 sampai 5 tahun, dan/atau pidana denda 2 sampai 10 kali nilai cukai yang harus dibayar. Celakanya, denda minimal yang lebih sering ditetapkan oleh hakim.
PP 54/2023 mencoba mencegah pengenaan denda minimal yang sangat minimal itu dengan menerapkan pembayaran denda mutlak 4 kali lipat. Akan tetapi, jangan keburu senang dulu, bisa jadi aturan itu malah menjadi bumerang bagi penegakan hukum di negeri ini. Pasalnya, mengganti pidana dengan denda hanya memperbesar celah patgulipat petugas nakal dengan pengemplang. Ini bisa terjadi dengan permainan nakal di penghitungan denda cukai. Biar tidak didenda besar, nilai denda bisa saja dikecilkan.
Kita patut sangat waspada karena unit kerja Kemenkeu, termasuk Ditjen Bea dan Cukai dan Ditjen Pajak, masih kerap diterpa isu tidak sedap kasus penyelewengan. Bahkan transaksi janggal Rp349,87 triliun di Kemenkeu hingga kini tidak ada penyelesaian yang memuaskan.
Seperti diungkapkan Menko Polhukam Mahfud MD pada September lalu, ada temuan 300 surat mencurigakan yang bisa dikaitkan dengan tindak pidana pencucian uang di Kemenkeu. Tetapi, yang hingga kini terungkap jelas ke publik hanya 8 pegawai yang dipecat.
Dengan semua fakta itu, penerapan PP54/2023 mutlak diawasi superketat. Kemenkeu, termasuk Ditjen Bea dan Cukai, jelas yang pertama memastikan bahwa tidak ada kebocoran atau celah yang dimanfaatkan.
Sebagai langkah awal, kita menuntut sistem pencegahan korupsi dengan sistem pelaporan tindak penyelewangan, yang memang sudah dipunyai instansi itu benar-benar berjalan. Itu berarti pula prinsip transparansi dan penerapan sanksi tegas bagi para petugas nakal tidak boleh ditawar.
Selain itu, adanya PP 54/2023 harus memberikan hasil nyata pada kenaikan pendapatan. Ditjen Bea Cukai harus dapat menunjukkan hasil signifikan dalam pengembalian cukai. Jangan sampai gara-gara ingin mendulang uang dengan permaafan, rusak hukum selamanya.