FEBRUARI 2008, tatkala krisis finansial Mendunia Tetap berkecamuk, Presiden Prancis Nicolas Sarkozy mengundang beberapa ekonom terkemuka. Dua di antaranya pemenang Hadiah Nobel, Joseph Stiglitz dan Amartya Sen. Menyusul pula, Jean Paul Fitoussi, ekonom ternama Prancis. Mereka membentuk komisi Demi mengkaji, apakah produk domestik bruto (PDB) Tetap dapat diandalkan memotret secara Konkret kemanfaatan bagi kemajuan kualitas ekonomi dan sosial. Laporan itu kemudian dibukukan dalam The Rise and Fall of the GDP>[? (The New York Times, 2010).
Naskah itu mengulik tiga spektrum. Pertama, isu-isu klasik tentang PDB, khususnya berkaitan expanding expenditure, konsep pengukuran layanan, distribusi pendapatan, konsumsi, kekayaan, dan lainnya. Kedua, mengukur keualitas hidup terutama aspek kesehatan, pendidikan, aktivitas personal termasuk keluarga, hak politik, tata kelola pemerintahan, Rekanan sosial, kondisi lingkungan, keamanan, ketimpangan, dan agregasi kualitas hidup.
Ketiga, indikator pembangunan berkelanjutan terutama indikator sosial ekonomi, konsumsi dan produksi yang berkelanjutan, inklusi sosial, perubahan demografi, kesehatan masyarakat, transportasi keberlanjutan, pemanfaatan sumber daya alam, dan kemitraan Mendunia.
Laporan akhir komisi itu kemudian disampaikan Presiden Sarkozy pada KTT G-20 di Pittsburgh, Pennsylvania, AS, pada 24-25 September 2009. Sarkozy mendesak seluruh dunia mengikuti jejaknya, mengkritisi dan meninjau ulang beberapa teori dan pengukuran mainstream, serta memerintahkan perombakan revolusioner metode dan model pengukuran PDB dan pertumbuhan ekonomi, yang dianggapnya sudah lapuk ditelan masa.
Mendaras laporan komisi itu, spiritnya Mau mendekonstruksi beberapa teori pertumbuhan ekonomi klasik, yang sudah Pelan berkembang dan dipraktikkan banyak negara. Beberapa teori, misalnya, Adam Smith (1776) mengintroduksi, perekonomian penduduk dalam suatu negara akan meraih titik tertingginya tatkala menggunakan sistem laissez-faire. Ihwal itu dikonkretkan kembali model Solow-Swan, kemudian dikembangkan menjadi teori historis, hingga Keynes dan neokeynesian yang menekankan pertumbuhan ekonomi dipengaruhi permintaan agregat berupa konsumsi (C), investasi (I), pemerintah (G), dan aktivitas ekspor impor (X-M).
Belakangan Simon Kuznets, Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Pennsylvania dan Harvard AS. Kuznets mengonstatir, pertumbuhan ekonomi merupakan kenaikan kapasitas jangka panjang dari suatu negara Demi menyediakan pelbagai Macam-macam barang ekonomi kepada masyarakatnya. Kenaikan kapasitas itu dimungkinkan dengan adanya kemajuan atau penyesuaian teknologi, kelembagaan, dan ideologi terhadap pelbagai kondisi yang Eksis.
Beberapa teori PDB dan pertumbuhan ekonomi di atas dianggap Enggak relevan Kembali oleh Sarkozy dan tim komisinya. Selain itu, sudah banyak kritik yang menyoroti beberapa kelemahan dan keterbatasan dalam mendedahkan fenomena pertumbuhan ekonomi yang kompleks, yang perlu segera diamputasi.
GAGALNYA PERTUMBUHAN
Pemerintahan Prabowo-Gibran (2024-2029) mencanangkan tapak jejak Demi mencapai pertumbuhan PDB tinggi. Perpres Nomor 12/2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2029 sebesar 8% dan akan dicapai secara bertahap, Adalah 5,3% (2025), 6,3% (2026), 7,5% (2027), dan 7,7% (2028).
Demi menggapai tingkat pertumbuhan ekonomi seperti itu, di tengah tergerusnya daya beli masyarakat (C) dan kapasitas fiskal yang terbatas (G), investasi asing (I) harus menjadi primadona, dengan membuka keran lebar-lebar. Hingga triwulan pertama (Q1 2025), misalnya, di tengah ketidakpastian ekonomi Mendunia, arus investasi merujuk data BKPM RI (April 2025), pertumbuhan investasi tercatat positif. Realisasi mencapai Rp465,2 triliun, naik 2,0% Apabila dibandingkan dengan triwulan IV 2024 dan meningkat signifikan 15,9% Apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun Lampau.
Capaian itu telah memenuhi 24,4% Sasaran realisasi investasi 2025 sebesar Rp1.905,6 triliun. Penanaman modal asing (PMA) tetap berkontribusi signifikan sebesar Rp230,4 triliun, atau 49,5% dari total realisasi investasi. Sementara itu, penanaman modal dalam negeri (PMDN) sebesar Rp234,8 triliun, atau 50,5%.
Salah satu kontributor terbesar investasi asing yang masuk Tetap banyak yang bergerak di bidang ekstraktif, yakni penanaman modal yang dilakukan di sektor-sektor berkaitan dengan ekstraksi sumber daya alam, seperti pertambangan, minyak dan gas, serta kehutanan. Investasi itu Mempunyai potensi besar guna mendongkrak pertumbuhan ekonomi, tetapi juga membawa risiko, tantangan, dan malapetaka jangka panjang terkait dengan Dampak lingkungan dan sosial.
Tetap besarnya kontribusi investasi industri ekstraktif mengirim pesan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia Tetap dihela sumber daya alam, bukan ditopang kekuatan pengetahuan dan teknologi. Hal itu relevan Apabila Menonton kontribusi total factor productivity (TFP) dalam perekonomian yang sangat rendah Apabila dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lain.
Apabila merujuk simulasi data BI, kontribusi produktivitas terhadap pertumbuhan PDB Indonesia seyogianya meningkat tiga kali lipat menjadi rerata 3,61% selama 2025-2029 agar pertumbuhan ekonomi Indonesia Pandai mencapai 8%. Adapun TFP terhadap PDB selama 2011-2019 secara rerata hanya 1,37%. Mengonfirmasi Basri (2023), Apabila dilihat sejak 2010, TFP Indonesia Lanjut turun bebas. Dengan demikian, kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2000-2020 rerata 71% ditopang modal berbasis non-IT. Sumbangan dari tenaga kerja mencapai 45%, sedangkan sumbangan modal yang berbasis IT hanya 4%. Sementara itu, kontribusi TFP terhadap pertumbuhan Bahkan minus 19%.
Rendahnya TFP juga sejalan dengan gejala deindustrialisasi di Indonesia yang ditunjukkan dengan menurunnya kontribusi manufaktur terhadap PDB. Gejala deindustrialisasi itu juga terlihat dengan rendahnya kontribusi ekspor manufaktur terhadap total ekspor.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi, pada beberapa kasus Bahkan menghasilkan kutukan sumber daya alam (the resource curse). Richard M Auty (1993) dalam Sustaining Development in Mineral Economies: The Resource Curse Thesis (London, Routledge), mengulas the resource curse. Auty mengacu pada paradoks, negara dan daerah yang kaya sumber daya alam, terutama nonterbarukan, cenderung mengalami pertumbuhan yang awalnya tinggi, dalam jangka panjang melambat, diiringi Bentuk pembangunan lebih Enggak baik ketimbang negara yang sumber daya alamnya langka.
Riset Pattiro (November 2024) mendedahkan tren yang terjadi pada empat kabupaten kaya tambang, Aceh Barat, Lebong, Bojonegoro, dan Sumbawa Barat. Menurutnya, tambang mendongkrak perekonomian di daerah itu dan beberapa sangat bergantung pada tambang. Kabupaten Bojonegoro pada 2023, share sektor ekstraktif migas terhadap PDB mencapai 49%. Kabupaten Sumbawa Barat, angkanya dramatis mencapai 82%. Aceh Barat dan Lebong, kontribusi industri ekstraktif lebih kecil, 25% dan 4%, tapi tetap cukup berarti.
Dari sisi besaran penduduk miskin, lebih tinggi daripada persentase penduduk miskin nasional. Pada 2023, persentase penduduk miskin nasional 9,36%, sementara rerata penduduk miskin di keempat daerah itu mencapai 13,53%. Begitu juga Apabila dipotret dari sisi ketimpangan ekonomi yang makin akut.
Riset Rahma dkk (2011) mengirim pesan adanya Hubungan kuat antara ketergantungan pada sumber daya alam dan mandeknya pembangunan berkelanjutan di 33 provinsi. Rahma dkk menilai pembangunan berkelanjutan di provinsi itu, dari sisi pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran terbuka, tingkat kemiskinan, indeks pembangunan Mahluk (IPM), ketimpangan pendapatan dan indeks kualitas lingkungan hidup sangat bermasalah.
Riset membuktikan ketergantungan daerah terhadap industri ekstraktif dari penerimaan dari sumber daya alam per kapita dan PDB sumber daya alam per kapita. Rahma dkk mengukur keterkaitan di antara dua variabel itu. Hasilnya, provinsi yang bergantung pada industri ekstraktif, seperti Kalimantan Timur, Papua Barat, Papua, Riau, dan Aceh, Mempunyai tingkat pembangunan berkelanjutan yang parah.
Merujuk BPS nasional, pada 2024, PDB per kapita nasional mencapai Rp78,6 juta, atau US$4.960,3. Apabila pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan tata kelola yang Bagus, seyogianya ketimpangan ekonomi dapat ditekan. Fakta bahwa ketimpangan Tetap melebar menunjukkan pertumbuhan ekonomi belum dinikmati seluruh strata masyarakat, tetapi hanya Grup penduduk atas yang Mempunyai akses modal/politik yang kuat.
KEMAKMURAN Berbarengan
Setelah mencermati gagalnya teori pertumbuhan ekonomi dan Tetap dielu-elukannya hasrat mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi, pada akhir tahun Lampau, dalam milad Muhammadiyah, yang dirangkaikan Tanwir yang diselenggarakan pada 4-6 Desember 2024 di Kupang, Nusa Tenggara Timur, tema yang diangkat Menghadirkan kemakmuran Demi Seluruh. Itu mengirim pesan, ikhtiar bangsa Indonesia mewujudkan kemakmuran Berbarengan, bukan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Menurut Muhammadiyah, kemakmuran suatu negeri merupakan kondisi kehidupan yang tanahnya subur dan penduduknya berkembang pesat, sejahtera, Berhasil, dan sukses dalam diri individu dan masyarakat. Kemakmuran acap kali menghasilkan kekayaan berlebih termasuk Elemen-Elemen lain yang dapat menghasilkan kekayaan yang berlimpah dalam segala Kedudukan, seperti kebahagiaan dan kesehatan.
Kemakmuran Indonesia berlaku Demi seluruh Kaum. Pasal 33 UUD 1945, ‘Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan Demi sebesar-besar kemakmuran rakyat’. Kemakmuran Indonesia Enggak boleh hanya Demi Grup kecil orang, sementara mayoritas rakyat hidup di Rendah garis kemiskinan dan Enggak berkemakmuran. Sukarno dalam pidato 1 Juni 1945 di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dengan tegas menyatakan, “Negara Indonesia bukan satu negara Demi satu orang, bukan satu negara Demi satu golongan, walaupun golongan kaya.”
Dalam kebijakan pembangunan, Enggak boleh Eksis Kaum yang terdiskriminasi, teralienasi, terpinggirkan, dan teraniaya. Pemerintah harus memberikan jaminan keamanan dan aksesibilitas yang sama serta adil terhadap seluruh komponen Kaum. Secara imperatif, pembangunan nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah NKRI yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang Kondusif, tenteram, tertib, dan Luwes dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib, dan damai.
Dalam konteks itulah, konsep pertumbuhan PDB harus diluruskan dalam bingkai kemakmuran Berbarengan. Negara-negara maju yang berorentasi sebagai negara kesejahteraan telah getol mengampanyekan Demi mendekonstruksi konsep dan implementasi kebijakan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, di Tanah Air sebagian Tetap mengultuskan teori-teori klasik pertumbuhan ekonomi yang secara Konkret telah gagal menyejahterakan dan memakmurkan masyarakat serta menegakkan keadilan sosial.
Bahkan, pengenalan model dan indeks kebahagiaan yang merupakan salah satu indikator Demi mengukur kemakmuran suatu negara perlu didorong. Konsep skor indeks kebahagiaan diukur berdasarkan enam Elemen, Adalah PDB per kapita, dukungan sosial, Cita-cita hidup sehat, kebebasan Mempunyai pilihan hidup, kedermawanan, dan persepsi korupsi.
Begitu juga, indeks kemakmuran yang merujuk The Legatum Prosperity Index yang dirilis Institute Foundation, yang menilai tingkat kemakmuran negara-negara. Eksis 12 indikator dalam penilaian ini, keamanan dan keselamatan, kebebasan, tata kelola, modal sosial, lingkungan investasi, kondisi perusahaan, infrastruktur dan akses pasar, kualitas ekonomi, kondisi hidup, kesehatan, pendidikan, dan lingkungan hidup.
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi (PDB) sebagai salah satu indikator Penting kebijakan makro ekonomi, dinilai bahwa aktivitas ekonomi hingga detik ini, Tetap belum memadai dan acap kali kontras dengan realitas. Pendekatan yang mengutamakan Bilangan pertumbuhan dan ekonomi ekstraktif, dengan tata kelola yang minus akuntabilitas dan transparansi, makin bias dalam ikhtiar penguatan Elemen Mendasar pembangunan seperti kedaulatan pangan, SDM, pemerataan, keadilan, dan lainnya. Itulah yang memantik ketidakstabilan jangka panjang, ketidakadilan, ketimpangan, dan kerentanan terhadap krisis eksternal.

