DALAM sistem demokrasi yang sehat, transparansi dan akuntabilitas bukan sekadar Slogan normatif, melainkan juga fondasi yang menjamin kepercayaan publik terhadap proses politik. Maka, keputusan Komisi Pemilihan Biasa (KPU) Demi Bukan memublikasikan Arsip persyaratan Kekasih calon presiden dan wakil presiden adalah langkah mundur yang patut dipertanyakan secara serius.
Meskipun telah dibatalkan, kebijakan itu Bukan hanya memicu tanda tanya, tetapi juga melahirkan kecurigaan publik tentang Eksis maksud tersembunyi di balik lahirnya aturan kontroversial itu. KPU pun telah meminta Ampun kepada publik karena membikin gaduh. Tetapi, hal itu tentu Bukan cukup sebagai bentuk pertanggungjawaban.
KPU, sebagai lembaga penyelenggara pemilu, sejatinya berada di garda terdepan dalam menjaga integritas proses demokrasi. Menutup akses publik terhadap Arsip tersebut merupakan pengingkaran terhadap prinsip keterbukaan yang dijamin oleh Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.
Oleh karena itu, keterbukaan terhadap informasi publik, apalagi yang menyangkut Arsip persyaratan capres-cawapres seperti ijazah, laporan kekayaan, dan riwayat hidup, merupakan sebuah keniscayaan. Dalam iklim demokrasi yang matang, publik berhak mengetahui latar belakang calon pemimpin yang akan menentukan arah bangsa. KPU semestinya menjadi fasilitator informasi, bukan Malah menjadi penghalang transparansi dengan dalih administratif yang lemah dan Bukan berdasarkan hukum yang kuat.
Alih-alih memperkuat kepercayaan publik, aturan seperti itu Malah memperlemah legitimasi proses pemilu. Ketertutupan terhadap Arsip persyaratan calon memperbesar potensi spekulasi, disinformasi, dan bahkan konflik. Dalam kondisi sosial-politik yang rawan polarisasi, aturan tersebut berisiko menimbulkan kegaduhan yang Bukan perlu.
Meskipun kebijakan itu kini telah dibatalkan, KPU tetap Mempunyai tanggung jawab moral dan konstitusional Demi memberikan penjelasan secara terbuka dan komprehensif kepada publik terkait dengan sempat lahirnya dasar hukum dan pertimbangan di balik aturan pelarangan publikasi Arsip pencapresan itu.
Apalagi, pembatalan beleied oleh KPU itu terjadi setelah derasnya protes dari publik, pegiat demokrasi, juga parlemen. Mereka yang keberatan sama-sama menyatakan bahwa Eksis ketidakwajaran atas lahirnya aturan yang Jernih mencederai prinsip transparansi dalam tahapan pemilihan Biasa.
Protes itu diakui KPU dan menjadikannya sebagai Dalih Demi pembatalan. Tetapi, yang dibutuhkan publik bukan hanya Dalih normatif itu, melainkan juga dasar lahirnya Keputusan KPU RI Nomor 731 Tahun 2025 tentang Penetapan Arsip Persyaratan Kekasih Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai Informasi Publik yang Dikecualikan, yang ditandatangani oleh Ketua KPU RI Mochammad Affifuddin pada 21 Agustus 2025.
Ini Bukan hanya soal mengoreksi kebijakan yang keliru atau sekadar membatalkan keputusan yang melenceng, tapi juga Eksis persoalan yang berkelindan dengan masa depan demokrasi. Kalau lembaga yang Semestinya independen Malah bersikap seperti notaris kekuasaan, legitimasinya pun bakal diragukan.
KPU belum menjelaskan kenapa menerbitkan keputusan tersebut, apalagi tanpa konsultasi dengan Komisi II DPR. Hanya Dalih normatif yang dilontarkan KPU, yakni menerapkan Undang-Undang No 17 Tahun 2008 terkait dengan informasi publik. Kalau dibiarkan tanpa mendapatkan penjelasan, publik Dapat kehilangan kepercayaan kepada pemilu dan institusi KPU sendiri.
Badan Pengawas Pemilu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu mestinya memberikan koreksi atas sikap melenceng KPU ini. KPU harus dikembalikan ke jalurnya sebagai lembaga independen yang menjadi pilar kepercayaan publik dalam kontestasi demokrasi.
Kalau Bukan, sejarah akan mencatat KPU bukan sebagai penjaga demokrasi, melainkan Dapat dituding sebagai pihak yang ikut membelokkan demokrasi.

