Bukan Capres Seolah-olah

DELAPAN bulan lebih jelang Pilpres 2024 kiranya rivalitas kian seru, tapi juga menggembirakan. Menggembirakan karena upaya calon presiden untuk menarik hati rakyat tak lagi semata tebar pesona, tapi mulai menjual gagasan bagaimana mengelola negara jika terpilih kelak.

Kita tahu, hingga detik ini, sudah ada tiga bakal capres. Mereka ialah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Diperkirakan sekaligus diyakini, hanya tiga calon itulah yang bakal berkompetisi meski dari hitung-hitungan presidential threshold bisa empat pasangan.

Kita pun paham, dari ketiga kandidat, baru Ganjar yang dipastikan punya tiket karena PDIP bisa mengusungnya sendirian, terlebih ada PPP yang bergabung kemudian. Eksispun nasib Prabowo dan Anies masih menunggu akad resmi di antara koalisi partai-partai pengusung.

Bahkan, jadi tidaknya Anies nyalon juga bergantung pada berhasil tidaknya pihak-pihak tertentu menjegalnya dengan rupa-rupa cara. Kita, setidaknya saya, tentu berharap para begundal demokrasi itu gagal total. Kita, seenggaknya saya, tentu ingin demokrasi di negeri tercinta ini kian berkualitas, kian tahan dari godaan dan gangguan mereka yang mengaku pejuang tapi sebenarnya musuh demokrasi.

Cek Artikel:  Menyoal Sidang Etik Tertutup

Dengan lebih dari dua pasangan, rakyat punya lebih banyak pilihan. Biarkan mereka meyakinkan rakyat sebagai yang terbaik untuk memimpin rakyat. Biarkan mereka melakukan beragam kiat untuk memikat hati rakyat. Akan tetapi, sudah saatnya pula mereka naik kelas. Tak lagi cuma menebar citra, waktunya mereka menawarkan ide dan gagasan membangun bangsa.

Saya senang, jualan ide dan gagasan itu mulai kerap dilakukan. Eksislah Anies Baswedan yang mengawalinya. Dia, misalnya, membandingkan pembangunan jalan berbayar alias jalan tol dan jalan gratis yang dilakukan pemerintahan SBY dan Jokowi. Kata Anies mengutip data Katadata yang bersumber dari BPS, Jokowi sangat masif membangun jalan berbayar, tetapi tertinggal jauh dari SBY soal jalan gratis.

Anies juga menyentil subsidi kendaraan listrik yang menurutnya tak tepat. Hanya orang-orang kaya yang mampu beli mobil listrik. Kendaraan masa depan itu pun bukannya tak laku, indennya bahkan sangat lama. Jadi, tiada alasan memberikan subsidi begitu besar untuk mereka. Lain soal jika subsidi digelontorkan untuk transportasi umum berbasis listrik. Ini yang semestinya dilakukan pemerintah saat ini dan nanti.

Cek Artikel:  Tesla dan Kita

Anies hendak menawarkan gagasan soal keadilan dan kesetaraan. Juga ide-ide lain yang dituangkan dalam semangat perubahan, perubahan untuk persatuan. Soal gagasan-gagasan tersebut kemudian disanggah, diperdebatkan, dipersoalkan, itu lain soal.

Soal kritik Anies tentang pembangunan jalan, perihal subsidi kendaraan listrik, mendapat kritik balik, itu hal biasa. Bahkan itulah yang kita inginkan. Jual beli ide dan gagasan adalah suplemen agar demokrasi lebih sehat, lebih bermanfaat buat rakyat.

Dalam tataran ideal, rakyat di negara mana pun kiranya butuh pemimpin yang isi kepalanya penuh ide dan gagasan untuk perbaikan bangsa. Mereka butuh pemimpin dengan rekam kinerja, track record, yang baik. Bukan pemimpin yang lebih mengandalkan citra untuk berkuasa, bukan pula yang mengedepankan gincu saat berkuasa.

Gambaran bisa dipermak, apalagi di zaman sekarang ketika teknologi dan media sosial bisa dimanfaatkan secara suka-suka. Ia bisa menjadi alat memoles seseorang yang sejatinya buruk terlihat baik. Atau sebaliknya, membuat seseorang yang sesungguhnya baik tampak buruk.

Cek Artikel:  Despotisme Baru

Bangsa ini tak butuh pemimpin yang seolah-olah. Seolah-olah dekat dengan rakyat, tetapi realitasnya menjadi sahabat oligarki. Seolah-olah mengutamakan kepentingan rakyat, tetapi faktanya lebih memanjakan kepentingan partai dan kelompoknya. Seolah-olah gemar membantu rakyat, tetapi di belakang senang membuat kebijakan-kebijakan yang mempersempit jalan napas rakyat.

Saya sih percaya, memilih pemimpin yang cuma mengandalkan citra adalah awal petaka. Cilaka kata orang Sunda. Bilahi orang Jawa bilang. Sebaliknya, memilih pemimpin berbasiskan rekam jejak, berlandaskan ide dan gagasan yang ditawarkan, adalah langkah yang bijak.

Penulis terkenal kelahiran Austria Peter F Drucker mengingatkan, “Pemimpin yang efektif bukan soal pintar mencitrakan diri agar disukai. Kepemimpinan tergambar dari hasil kerjanya, bukan atribut-atributnya.”

Lagi ada waktu untuk ‘menelanjangi’ para capres, apakah mereka memang punya gagasan besar atau bisanya cuma mengandalkan pencitraan. Mari kita renungkan dan cermati dalam-dalam.

Mungkin Anda Menyukai