Bunyi rakyat dan Bunyi wakil mereka di parlemen terbukti Kagak selalu Sesuai. Enggak selalu nyambung, bahkan sering bertolak belakang. Jalan yang mereka ambil kerap berseberangan, satu ke kanan, satunya ke kiri. lelet-lelet, Rekanan antara rakyat dan wakil rakyat jadi makin aneh, yang Sepatutnya makin mendekat malah kian menjauh. Alih-alih kian mesra, malah makin sering berantem.
Sebetulnya, kalau sekadar berbeda pendapat antara rakyat dan mereka yang mewakili, hal itu mungkin Lagi wajar dan Bisa dimaklumi selama Lagi dalam koridor semangat yang sama. Tetapi, kalau Tiba wakil rakyat Kagak mau mendengar Bunyi rakyat alias Bunyi ‘tuannya’, itu yang bahaya. Itulah yang sesungguhnya tak boleh terjadi di negara yang mengeklaim diri demokratis.
Apabila yang seperti itu Lalu terjadi dan dianggap lumrah, boleh jadi Betul kecurigaan banyak orang selama ini bahwa para Personil DPR itu sesungguhnya Kagak sedang bekerja mewakili rakyat, tapi mewakili kepentingan lain. Entah Kepada partai, entah Kepada oligarki, entah buat kroni, entah buat famili, entah buat yang lain-lain.
Ketidaksinkronan terbaru antara rakyat dan wakil mereka terjadi, kemarin. Di Begitu rakyat menolak keras Revisi Undang-Undang TNI, para wakil rakyat malah sebaliknya, menerimanya dengan sangat ‘happy’. Saya sengaja memilih diksi ‘happy’ karena DPR terlihat antusias Kepada membahas revisi UU itu dengan secepat-cepatnya. Gembira betul mereka bahkan Tiba rela membayar mahal hotel mewah dan ‘mengorbankan’ waktu libur mereka demi revisi tersebut Bisa segera disahkan.
Hasilnya tak sia-sia. Kemarin, Kamis (20/3), Revisi UU TNI atau nama resminya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) akhirnya disetujui dan disahkan menjadi undang-undang pada Rapat Paripurna DPR.
Prosesnya Lancar jaya, nyaris senyap. Kagak Terdapat keriuhan interupsi, pun Kagak Terdapat kegaduhan seperti drama mikrofon yang dimatikan pimpinan. Segala fraksi langsung menyatakan setuju. Hanya catatan-catatan kecil yang mereka sertakan, barangkali biar Kagak terlalu kentara nihilnya perlawanan mereka atas keinginan pemerintah tersebut.
Mereka menutup mata atas fakta bahwa pada Begitu yang sama, di luar Gedung DPR, rakyat dan mahasiswa sedang berunjuk rasa, berjuang Kepada hal yang sebaliknya: tolak pengesahan Revisi UU TNI. Mereka menutup telinga meskipun para akademisi, intelektual, dan koalisi masyarakat sipil telah getol menyuarakan betapa bahayanya implementasi dari UU TNI yang baru itu terhadap Penyelenggaraan demokrasi di Indonesia. Bahaya karena Malah militerisme dan otoritarianisme yang kembali menemukan jalannya.
DPR melalui ketua mereka, Puan Maharani, boleh saja mengeklaim bahwa hal-hal yang menjadi kekhawatiran dari pengesahan UU TNI Kagak akan terjadi. Ia berharap UU TNI dapat bermanfaat Kepada Segala pihak. Puan dengan bangganya juga menyebut Revisi UU TNI telah sesuai mekanisme dan mengedepankan supremasi sipil.
Tunggu dulu, Mbak Puan, memangnya siapa yang Bisa menggaransi itu ketika proses pembahasannya sendiri dibikin tertutup, Kagak transparan, menjauh dari rakyat, dan terkesan tergesa-gesa? Bagaimana Bisa dibilang mengedepankan supremasi sipil kalau amanat reformasi Kepada mengembalikan tentara kepada fungsi militerisme yang profesional dan mempersempit ruang-ruang di luar domain militer Malah berpotensi ‘dilanggar’ UU TNI yang Anda sahkan tersebut?
Vox populi, vox dei. Bunyi rakyat adalah Bunyi Tuhan. Tetapi, keliru kalau mengartikan Bunyi wakil rakyat juga bagian dari Bunyi Tuhan itu. Bunyi rakyat diibaratkan sebagai Bunyi Tuhan karena bersumber dari kepolosan dan ketulusan. Sebaliknya, Bunyi wakil rakyat terlalu kotor karena sudah terlalu banyak zat pencemarnya maka tak Layak disetarakan sebagai Bunyi Tuhan.
Dengan kredo ‘Bunyi rakyat adalah Bunyi Tuhan’ itu Sepatutnya Bunyi rakyatlah yang paling Istimewa Kepada didengar, bukan Bunyi kepentingan dari pihak-pihak lain. Akan tetapi, Begitu ini, kita terlampau kerap Menyaksikan situasi ketika Bunyi wakil rakyat Kagak mencerminkan Bunyi sebenarnya dari rakyat yang mereka wakili. Bukan Kembali kehendak rakyat yang dominan mengendalikan Bunyi para wakil mereka di parlemen.
Itu ironi yang mestinya dipandang sebagai masalah serius dalam sistem demokrasi. Tetapi, celakanya, praktik pengabaian Bunyi rakyat dalam pengambilan keputusan Bagus di eksekutif maupun legislatif itu Lalu-menerus dilakukan. Pengesahan RUU TNI yang Kagak melibatkan partisipasi rakyat, minim transparansi, dan dilakukan secara kilat di tengah gelombang protes bukanlah Teladan pertama. Ia hanya pengulangan dari ‘tren’ yang belakangan mencuat.
Sejak revisi UU KPK di pengujung periode 2014-2019 Lampau. Kemudian berlanjut ke RUU Cipta Kerja, RUU IKN, revisi UU MK, hingga revisi UU BUMN pada Februari Lampau, Segala tercipta melalui model kerja di parlemen yang sama. Grasa-grusu, meniadakan partisipasi publik, dan rapat yang sangat mungkin penuh manipulasi.
Pertanyaan krusialnya ialah kepada siapa Bunyi rakyat mesti dititipkan kalau lembaga Formal yang Sepatutnya menjadi wakil mereka Malah kerap berselingkuh dengan Bunyi kepentingan yang lain? Kalau ini tak kunjung mendapat jawaban, sejujurnya kita khawatir pola-pola pengesahan RUU seperti yang belakangan ini terjadi akan Lalu berulang dan terulang Kembali.

