Bukan baik Macam-macam Komisi Pemberantasan Korupsi

Buruk Rupa Komisi Pemberantasan Korupsi
(ANTARA/Tri Meilani )

KETERPURUKAN Gambaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kian tak tertolong. Rentetan problematika Lanjut silih berganti. Mulai kebocoran informasi penyelidikan, pungutan liar miliaran rupiah di rumah tahanan, hingga penggelapan anggaran perjalanan dinas kepegawaian. Praktik-praktik lancung itu sama sekali tak terbayangkan terjadi di lembaga yang mengagungkan nilai integritas. Tetapi, apakah itu suatu hal yang mengejutkan bagi masyarakat? Tentu jawabannya Bukan.

Kondisi abnormal di lembaga antirasuah itu tak Dapat dilepaskan dari dua momok yang terjadi pada 2019 Lampau. Hantaman politik kala itu berhasil mengobrak-abrik KPK melalui Revisi Undang-Undang KPK (RUU KPK) dan memasukkan pimpinan tak beretika. Dari sekian banyak permasalahan dalam RUU KPK, salah satu yang paling krusial ialah lunturnya independensi lembaga. Akibatnya, tak heran Apabila kemudian pola penindakan KPK kerap dicurigai bermuatan politis atau mengikuti keinginan penguasa.

Pada aspek kepemimpinan, fakta yang tak terbantahkan ialah menyangkut rekam jejak Bukan baik jajaran petinggi KPK. Betapa Bukan, selama kurun waktu empat tahun terakhir saja setidaknya sudah tiga orang pimpinan hilir mudik masuk proses persidangan etik di Dewan Pengawas, di antaranya, Firli Bahuri, Lili Pintauli, dan Johanis Tanak.

Firli sendiri bukan kali pertama melanggar kode etik. Jauh sebelum terbukti menunjukkan gaya hidup Hura-hura, ia diketahui sempat disanksi karena terbukti berhubungan dengan pihak beperkara pada 2019 Lampau. Sementara itu, Lili dan Tanak, keduanya diproses Dewan Pengawas atas dugaan berkomunikasi dengan orang-orang yang juga diusut KPK. Dari sini, terdapat benang merah yang menyambungkan tingkah mereka, yakni memanfaatkan jabatan Buat kepentingan pribadi.

Lembaga yang menjadi asa sekaligus anak kandung reformasi itu praktis semakin jauh dari cita-cita pembentukannya terdahulu. Merujuk pada bagian konsiderans UU KPK, misalnya, disebutkan secara terang bahwa KPK diharapkan menjadi antitesis lembaga penegak hukum lain dan melaksanakan fungsi pemberantasan korupsi secara profesional. Alih-alih tercapai, Survei pendapat yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia pada awal April Lampau menempatkan KPK di Dasar Kejaksaan Mulia dan hanya terpaut tipis dari Polri dalam hal tingkat kepercayaan masyarakat.

Cek Artikel:  Manajemen Sekolah Penghalau Ekstremisme Kekerasan

Pada periode kepemimpinan KPK sebelumnya, hal itu jarang atau bahkan tak pernah terjadi. KPK dengan segala kerja pemberantasan korupsi selalu menjadi lembaga yang paling diharapkan dan dipercaya masyarakat.

Begitu pula dalam konteks buruknya profesionalisme kerja penindakan. Sebagai Misalnya, selama kurun waktu satu tahun terakhir masyarakat dihadapkan dengan isu pemaksaan penanganan suatu perkara yang kental dengan nuansa politis oleh pimpinan KPK. Gelar perkara yang biasanya dilakukan kurang dari lima kali dipaksa berkali-kali, bahkan disinyalir sudah lebih dari 10 kali. Itu menandakan terdapat potensi lembaga penegak hukum berubah menjadi ‘petugas partai’ atau ‘Laskar penguasa’ Buat membantu mereka memberangus Rival-Rival politik mereka.

Harus diakui, mengembalikan nama Bagus KPK Begitu ini seperti mendorong tronton mogok. Sebagaimana diketahui, sejak lembaga antirasuah itu Formal dibentuk pada 2003 Lampau, dahaga akan penegakan hukum yang tajam ke atas perlahan terjawab melalui penindakan KPK. Akan tetapi, kini, Bagus dari segi kuantitas maupun kualitas, rontok secara signifikan.

Buat mengukurnya, mudah saja, misalnya, jumlah operasi tangkap tangan (OTT). Dapat dibayangkan sejak Firli menjabat selama tiga tahun terakhir, KPK hanya Bisa melakukan 23 OTT, sedangkan era Agus Rahardjo Dapat mencapai 66 OTT. Dari segi kualitas, Eksis banyak yang Dapat disorot, mulai kegagalan meringkus buron Harun Masiku, rendahnya penuntutan terhadap elite partai, seperti Juliari Batubara dan Edhy Prabowo, serta mandeknya pengusutan perkara besar, satu di antaranya korupsi pengadaan KTP elektronik.

Cek Artikel:  Dewan Keamanan PBB dalam Konflik Israel-Palestina

Problematika KPK kembali mencuat ketika salah seorang pimpinannya, Nurul Ghufron, mengajukan uji materi ke MK menyoal perpanjangan masa jabatan, dari empat tahun menjadi lima tahun. Bukannya ditolak, Mahkamah malah mengabulkannya dengan dalih yang sulit dinalar. Padahal, berkaitan dengan Pelan menjabat Jernih bukan kewenangan Mahkamah, melainkan pembentuk UU (open Absah policy). Putusan itu sekaligus membuktikan bahwa cabang kekuasaan yang melemahkan KPK bukan hanya eksekutif dan legislatif, melainkan juga termasuk yudikatif. Masyarakat pun dipaksa pasrah dengan situasi anomali pemberantasan korupsi semacam ini.

Buat mengatasi karut-marut situasi pemberantasan korupsi, diperlukan perubahan mendasar yang tak Dapat hanya dilakukan satu pihak. Pertama, pengawasan administratif oleh Presiden terhadap KPK mutlak harus dijalankan Alasan kondisi Begitu ini, suka Bukan suka, lembaga antirasuah itu telah berada di Dasar cabang kekuasaan eksekutif.

Meskipun, sebenarnya, kesempatan menambal keterpurukan KPK sudah pernah Eksis, sayangnya itu Bukan diambil oleh Presiden, tepatnya Begitu puluhan pegawai dipecat secara sewenang-wenang melalui tes wawasan kebangsaan. Akan tetapi, sekalipun itu merupakan jalan keluar, banyak pihak meragukan hal itu dijalankan. Itu disebabkan belakangan waktu terakhir Presiden lebih senang cawe-cawe dalam isu politik ketimbang memikirkan nasib pemberantasan korupsi mendatang.

Kedua, konteks internal, Dewan Pengawas harus bertindak Rasional dan independen dalam menegakkan kode etik kelembagaan. Selama ini hal itu kerap luput dari kerja Dewan Pengawas. Denda yang mereka jatuhkan sering kali tak berorientasi pada pemberian Dampak jera. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, Denda tegas rasanya hanya dijatuhkan kepada level pegawai, tapi tumpul ke pimpinan. 

Cek Artikel:  Krusialnya Koalisi Partai Gerindra Menang di Pilkada Jakarta 2024

Tesis awal masyarakat yang Pasti akan performa Dewan Pengawas karena Menonton rekam jejak para anggotanya Malah bertolak belakang dengan kinerja mereka. Misalnya konkret Begitu Dewan Pengawas memutuskan menghentikan proses persidangan dugaan pelanggaran kode etik terhadap Lili. Padahal, perbuatan Lili kala itu Bukan hanya bernuansa pelanggaran etik, tetapi juga Dekat Niscaya memenuhi unsur pidana karena diduga keras menerima gratifikasi berupa tiket dan akomodasi Begitu perhelatan Moto-GP Mandalika berlangsung.

Ketiga, solusi akhir menyelematkan KPK ialah mendesak pimpinannya, terutama pihak-pihak yang Mempunyai rekam jejak bermasalah, seperti Firli, Buat segera mengundurkan diri dari jabatannya. Dasar hukumnya bukan Bukan Eksis, TAP MPR No VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa sudah secara tegas mengatakan setiap pejabat publik harus siap mundur Apabila telah melanggar kaidah dan sistem nilai. Daftar panjang permasalahan KPK yang telah diuraikan di atas Sepatutnya Dapat dijadikan bukti Buat meminta Firli hengkang dari jabatannya sebagai pimpinan lembaga antirasuah.

Setiap pihak, terutama pemerintah, mestinya sadar bahwa nasib pemberantasan korupsi sedang dalam ancaman serius. Indeks persepsi korupsi Indonesia sudah anjlok para 2022, bahkan skornya kembali seperti pada 2014 Lampau. Itu mengartikan bukannya membaik, Malah mundur, Terperosok, dan terjerembab. Oleh Alasan itu, penegakan hukum pemberantasan korupsi harus berjalan independen, Rasional, dan terpenting jauh dari motif politik penguasa.

Mungkin Anda Menyukai