Bukan baik Kepala Daerah Bayangi Pilkada

Buruk Kepala Daerah Bayangi Pilkada
()

KOMISI Pemberantasan Korupsi kembali melakukan operasi tangkap tangan. Dalam catatan media massa, pada 2018 ini sampai Februari, sekitar delapan kepala daerah yang dicokok KPK, yaitu Bupati Subang Imas Aryumningsih, Bupati Ngada NTT Marianus Sae, Bupati Hulu Sungai Tengah (Kalsel) Abdul Elok, Bupati Halmahera Timur Rudi Erawan, Bupati Kebumen Mohammad Yahya Fuad, Gubernur Jambi Zumi Zola, dan Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko. Terakhir, komisi antikorupsi itu menggelandang Mustafa, Bupati Lampung Tengah, pada Kamis (15/2).

Banyaknya kepala daerah yang dijerat lembaga antirasywah menimbulkan tiga pertanyaan utama. Pertama, apa penyebab kepala daerah melakukan korupsi? Kedua, bagaimanakah tanggung jawab partai politik terhadap kepala daerah yang notabene terdaftar sebagai kader partai? Ketiga, lalu apa langkah selanjutnya setelah dilakukan operasi tangkap tangan?

Ongkos politik

Bukan ada catatan lengkap tentang berapa biaya yang dibutuhkan seorang calon kepala daerah dalam mengarungi kontestasi pemilihan kepala daerah. Akan tetapi, remahan-remahan informasi yang disampaikan dengan diam-diam menunjuk angka yang sangat besar.

Misalnya saja, gagalnya La Nyala Mattalitti menunggang kursi Partai Gerindra dalam pilkada Jawa Timur diduga kuat karena tidak ada harga yang disepakati atas ongkos politik yang mesti dikeluarkan. Berdasarkan pernyataan yang disitir dari rangkuman keterangan La Nyala, partai meminta mahar antara Rp70 miliar dan Rp200 miliar.

Dapat dibayangkan, ketika harga di tingkat pilkada provinsi mencapai ratusan miliar, ongkos yang bakal disuguhkan di percaturan pilkada kabupaten/kota paling tidak mencapai satu hingga puluhan miliar rupiah. Berapa angka tepatnya? Bukan ada angka yang valid. Tetapi yang pasti, pilkada selalu berbayar.

Apakah calon kepala daerah yang mencari pembiayaan tersebut tidak melakukan korupsi? Saya harus menggarisbawahi soal ini. Alasan beberapa waktu lalu, Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR, berbicara di depan publik bahwa ongkos politik yang sedang digali calon kepala daerah bukanlah korupsi. Dengan begitu, tatkala KPK menangkap tangan para kepala daerah tersebut, KPK sedang menyalahi undang-undangnya sendiri.

Cek Artikel:  Paras Buram Kampanye Program

Kepala daerah, sesuai dengan Pasal 2 angka 4 dan angka 6 UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Rapi dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, mengangkut kepala daerah (gubernur beserta wakilnya, bupati, wali kota) dalam gerbong penyelenggara negara. Di undang-undang yang sama, Pasal 5 angka 4 memerintahkan agar penyelenggara negara tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Selanjutnya, Pasal 2 UU 31/1999 membatasi setiap orang agar tidak melawan hukum dalam memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara/perekonomian negara. Di pasal yang lain, Pasal 3, setiap orang dilarang menyalahgunakan kewenangannya dalam memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara/perekonomian negara.

Rekanan antara UU 31/1999 dan UU 28/1999 sudah cukup membingkai bahwa kepala daerah tidak boleh melawan hukum dalam menjalankan tugasnya. Maksudnya, kepala daerah terlarang untuk menerima sogokan, ongkos, atau bantuan dari pihak ketiga yang melawan peraturan perundang-undangan atau di luar anggaran yang ditetapkan negara/daerah. Terang sudah, langkah KPK melakukan operasi tangkap tangan bukanlah langkah yang melanggar peraturan perundang-undangan seperti yang dituduhkan Fahri Hamzah.

Menggugat partai politik

Undang-Undang Pilkada mengamanatkan kontestan calon kepala daerah diusung partai politik atau maju dari jalur perseorangan. Apakah calon kepala daerah yang naik dari saluran partai politik tidak terikat pada partai politik? Atau dengan pertanyaan sebaliknya, apakah partai politik tidak perlu bertanggung jawab atas calon kepala daerah yang diusungnya? Pertanyaan lebih ke depan ialah, apakah partai politik bisa lepas tangan dari kepala daerah yang didukungnya?

Undang-Undang Partai Politik, UU 2/2008 jo UU 2/2011, Pasal 12 huruf d, memberi hak ke partai politik untuk turut serta dalam pemilihan kepala daerah. Di ketentuan sebelumnya, Pasal 11 ayat (1) huruf e, partai politik memiliki fungsi untuk melakukan rekrutmen dalam pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi. Terdapatpun di ketentuan yang di atasnya lagi, Pasal 10 ayat (2) huruf c, partai politik mempunyai tujuan khusus untuk membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Cek Artikel:  Defisit Perdagangan AS dan Perekonomian Indonesia

Rentetan substansi aturan di dalam Undang-Undang Partai Politik memaksa partai politik untuk bersih. Bukan hanya dalam proses internalnya, tetapi juga alur eksternalnya. Dalam artian, jika calon kepala daerah atau kepala daerah berasal dari kader internal partai politik, partai politik wajib melindunginya dari potensi perilaku dan tindakan yang dapat meruntuhkan etika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pun seandainya calon kepala daerah atau kepala daerah bukan produk asli partai, tetap saja di tubuh partai politik melekat tanggung jawab preventif terhadap kemungkinan perbuatan calon kepala daerah atau kebijakan yang diambil kepala daerah menuju pada perusakan etika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Siapa pun telah meyakini bahwa korupsi adalah perbuatan yang meruntuhkan etika bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, partai politik tertolak untuk tidak turut serta dalam menjaga kadernya yang kebetulan maju sebagai calon kepala daerah, atau bukan kadernya yang dipilih menjadi calon kepala daerah maupun yang sedang menjabat sebagai kepala daerah.

Merebaknya kepala daerah yang ditangkap KPK melahirkan gugatan ke partai politik. Apa yang sudah dilakukan partai politik dalam mencegah kadernya atau bukan kadernya–yang menjadi calon kepala daerah atau sebagai kepala daerah–dari korupsi? Apakah partai politik lalai melakukan tugasnya? Ataukah partai politik sengaja tutup mata di tengah permisifnya korupsi yang menggerogoti kadernya atau bukan kadernya itu? Atau jangan-jangan partai politik menjadi intelectual dader dari korupsi yang dilakukan kader atau bukan kadernya tersebut?

Memotong rantai

Bukan baik cermin kepala daerah karena korupsi menyisakan tugas tidak hanya di partai politik, tetapi juga setiap aktor dalam sistem demokrasi. Rantai belau itu harus dipotong habis. Jangan disisakan.

Cek Artikel:  Revisi UU MD3 untuk Siapa

Dalam kaitan ini setidaknya ada empat aktor yang harus bersinergi untuk mengakhiri kondisi yang destruktif ini. Pertama, aparat penegak hukum berkewajiban membersihkan bagian hilir. Bukan hanya bagi KPK, aparat penegak hukum lain seperti kepolisian dan kejaksaan–yang juga diamanatkan memiliki tugas dan kewenangan pemberantasan korupsi–pun mempunyai tugas yang sama. Pilihan untuk mengeksekusi operasi tangkap tangan itu baik, tetapi harus ada aksi setelahnya. Aparat penegak hukum harus menginisiasi upaya pencegahan yang terus-menerus.

Kedua, partai politik mengangkat kembali khitahnya. Pendidikan politik bagi kader atau bukan kadernya, pelajaran etika politik yang bermartabat dan nirkorupsi, serta membenahi internal dan melepaskan diri dari oligarki politik serta ekonomi adalah perihal-perihal yang mesti serius digerakkan kembali oleh partai politik. Ia tidak bisa lepas tangan dari masifnya korupsi yang menyerang calon kepala daerah atau kepala daerah.

Ketiga, menghukum calon kepala daerah atau kepala daerah korup bisa dilakukan di bilik suara. Masyarakat pemilih memegang jarum suara untuk menentukan siapa yang berhak duduk di kursi kepala daerah. Apabila masyarakat pemilih bersikap tak acuh terhadap situasi kelam seperti ini, niscaya kebobrokan daerah akan bergerak lebih cepat. Kemunduran daerah menghampar. Setidaknya dalam lima tahun pascaperhelatan pilkada, kecuali masyarakat pemilih menusukkan jarum suaranya dengan benar.

Terakhir, dalam konstruksi negara kesatuan dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, kepala daerah berada di pembinaan pusat (bupati/wali kota dibina gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, dan gubernur dibina menteri dalam negeri sebagai wakil pemerintah). Maksudnya, kewajiban memecah cermin buruk kepala daerah juga ada di pundak pemerintah.

Pilihan pemerintah yang diam–tanpa membuat kebijakan otoritatif terhadap kepala daerah dalam hal pencegahan korupsi–dan tidak serius akan menciptakan syak wasangka bahwa pemerintah membiarkan korupsi terjadi, dan semoga saya salah.

 

Mungkin Anda Menyukai