HARI ini, 42 hari sudah Saiful Mahdi mendekam dalam penjara. Sisa masa tahanan dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh itu tinggal 48 hari Tengah.
Saiful Mahdi dieksekusi dan ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas IIA Banda Aceh di Lambaro, Aceh Besar, pada 2 September 2021. Ia dieksekusi setelah Mahkamah Mulia menolak upaya kasasinya pada 29 Juni 2021.
Pengadilan Negeri Banda Aceh pada 21 April 2019 menyatakan Saiful Mahdi bersalah melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Karena itu, ia divonis tiga bulan penjara dan denda Rp10 juta subsider kurungan 1 bulan penjara. Putusan itu dikuatkan PT Aceh pada 16 Juni 2020.
Setelah Presiden Joko Widodo meneken keppres pemberian amnesti pada Selasa (12/10), Saiful Mahdi tinggal menunggu waktu Demi menghirup udara bebas dan kesalahannya dihapuskan. Hingga kemarin pihak LP Tetap menunggu salinan keppres amnesti.
Meminjam kata-kata Mahatma Gandhi, tubuh Saiful Mahdi boleh saja dirantai, tetapi pikirannya Tak Bisa dibui. Pembelaan terhadap Saiful Mahdi yang datang dari dalam dan luar negeri sesungguhnya pembelaan terhadap kebebasan berpikir.
Dalam perspektif kebebasan berpikir itulah dimaknai pemberian amnesti yang dulunya merupakan pengampunan terhadap tahanan politik. Amnesti kini menjadi instrumen negara meneguhkan tradisi kebebasan akademik di kampus.
Keutamaan perguruan tinggi ialah mencari kebenaran ilmiah oleh sivitas akademika. Adapun yang dimaksudkan dengan sivitas akademika adalah masyarakat akademik yang terdiri atas dosen dan mahasiswa.
Pencarian kebenaran itu pula yang mengantarkan Saiful Mahdi menjadi terpidana. Ia mencari kebenaran dalam bingkai asas kejujuran, manfaat, dan tanggung jawab.
Proses pencarian kebenaran oleh doktor jebolan Cornell University Amerika Perkumpulan itu Bisa diketahui secara gamblang dalam Putusan Nomor 432/Pid.Sus/2019/PN Bna. Putusan itu Bisa dibaca di laman Putusan.mahkamahagung.go.id.
Pada mulanya Saiful Mahdi penasaran dengan proses seleksi CPNS di Fakultas Teknik Unsyiah 2018. Eksis calon yang lulus meski Tak memenuhi syarat, sedangkan Eksis calon yang memenuhi syarat malah Tak diluluskan.
Mahdi pun melakukan penelitian. Hasil kajiannya ialah Eksis CPNS dengan formulasi cumlaude Tak memenuhi persyaratan dan telah dinyatakan Tak lulus, tetapi dapat mengikuti tes penerimaan CPNS hingga lolos Tiba dengan tahap akhir.
Formulasi cumlaude menurut Permenpan dan Rebiro Nomor 336 Tahun 2018, calon pelamar merupakan lulusan dari perguruan tinggi dalam negeri dengan predikat cumlaude dan berasal dari perguruan tinggi terakreditasi A dan program studi terakreditasi A pada Ketika kelulusan. Fakta yang ditemukan Mahdi ialah calon yang lulus tersebut berasal dari perguruan tinggi terakreditasi C.
Kajian Mahdi Rupanya bukan kaleng-kaleng. Kebenaran kajian itu terkonfirmasi dari Keputusan Mendikbud-Ristek pada 27 Februari 2019 yang membatalkan kelulusan CPNS yang dimaksud. Dibatalkan kelulusannya dengan Argumen bahwa peserta CPNS tersebut Tak memenuhi persyaratan administratif.
Tetapi, 22 hari sebelum keluar putusan Mendikbud-Ristek, tepatnya pada 5 Februari 2019, Mahdi menuliskan kegelisahannya di Whatsapp Group Unsyiahkita. WAG itu beranggotakan 140 orang dari unsur wakil rektor, dosen, pegawai, dan staf Unsyiah.
Begini unggahan Saiful Mahdi: ‘Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dapat Info duka matinya Intelek sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah Ketika tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup? Gong Xi Fat Cai!!! Kenapa Eksis fakultas yang pernah berjaya kemudian memble? Kenapa Eksis fakultas baru begitu membanggakan? karena meritokrasi berlaku sejak rekrutmen hanya pada medioker atau yang terjerat ‘hutang’ yang takut meritokrasi’.
Dalam pembelaannya, Mahdi mengaku sebelum tulisan diunggah di Whatsapp Group Unsyiahkita, dirinya telah melakukan tabayun kepada pimpinan Unsyiah secara langsung dan unggahan itu merupakan bentuk lain tabayun karena di grup tersebut Eksis dosen dan pimpinan dari berbagai fakultas, termasuk unsur pimpinan Fakultas Teknik Unsyiah.
Tanpa mengurangi rasa hormat atas vonis berkekuatan hukum tetap, Saiful Mahdi telah berjuang Demi melawan matinya Intelek sehat. Ia menjadi simbol kebebasan berpikir.

