BRIN Dorong Riset dan Hasil karya untuk Penanganan Mpox di Indonesia

BRIN Dorong Riset dan Inovasi untuk Penanganan Mpox di Indonesia
Ilustrasi Mpox(Dok. Freepik)

MENANGGAPI adanya outbreak atau peningkatan kasus yang signifikan Monkeypox (Mpox), tidak hanya di dunia namun juga di Indonesia, Badan Riset dan Hasil karya Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Topengteran Preklinis dan Klinis (PRKPP) mendorong riset dan inovasi untuk penanganan mpox di Indonesia

”Per September 2024 sudah ada 88 kasus. Mpox perlu segera diteliti dan dilakukan inovasi-inovasi penatalaksanaannya,” tegas Peneliti PRKPK BRIN Reza Yuridian Purwoko dalam keterangan resmi, Sabtu (7/9).

Biarpun kasus-kasus tersebut dinyatakan sembuh semua, namun dari data hasil riset kepustakaan yang ia lakukan, terdapat Clade IB yang mulai memasuki negara dekat kita, yaitu Thailand. ”Kasus ini berbeda kemungkinan dengan 88 kasus tadi, yang lebih jinak karena disebabkan oleh Clade II B, sementara Clade IB terkenal lebih memiliki fatalitas yang lebih tinggi,” ujar Reza

Baca juga : Kesehatan Anak Perlu Diperhatikan di Tengah Ancaman Wabah Mpox

Reza, bersama peneliti lainnya di PRKPP BRIN, telah mempublikasikan hasil risetnya di prosiding ilmiah International Conference on Health Research yang diadakan BRIN. Hasil sistematis literature study mereka, menemukan beberapa faktor risiko yang mesti diperhatikan, yaitu kontak dengan hewan pengerat, misalnya konsumsi daging hewan yang terinfeksi virus dengan tidak matang, riwayat perjalanan dari daerah yang tinggi penyakitnya, dan terutama adalah kontak intim erat, salah satunya melalui hubungan seksual.

Cek Artikel:  Agar Rasional Iuran BPJS Kesehatan Harus di Atas Rp40 Ribu

Mpox masih menghadapi beberapa tantangan dalam penanganannya di Indonesia. Begitu ini, belum ada tes deteksi yang cepat dan akurat untuk Mpox, terutama yang dapat membedakannya dari penyakit serupa.

“Pengembangan tes semacam ini sangat diperlukan untuk meningkatkan diagnosis dan penanganan kasus. Selain itu, panduan pengobatan yang ada masih terbatas. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang obat antivirus, khususnya untuk menangani kasus-kasus yang parah,” tambahnya.

Baca juga : Mpox Varian Clade 1b Punyai Tingkat Penularan lebih Segera

Penanganan Mpox pada anak-anak juga masih menjadi perhatian khusus. Informasi tentang perawatan dan pengobatan untuk pasien anak masih sangat terbatas. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan dosis obat yang tepat dan metode perawatan yang sesuai untuk anak-anak.

Selain itu, masih sedikit data tentang efek jangka panjang dari infeksi Mpox. Penelitian lanjutan sangat diperlukan untuk memahami dampak jangka panjang dan mengembangkan protokol perawatan pasca-pemulihan yang efektif.

“Di Indonesia, sistem pemantauan kasus Mpox masih perlu ditingkatkan, terutama di daerah-daerah terpencil. Pemanfaatan teknologi untuk pelaporan kasus secara real-time bisa menjadi solusi untuk masalah ini,” jelasnya.

Baca juga : Kasus Cacar Monyet Meningkat, Kenali Gejala Cacar Monyet pada Bayi dan Anak

Edukasi kepada masyarakat juga menjadi tantangan tersendiri. Diperlukan kampanye informasi yang lebih luas untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang Mpox dan mengurangi stigma yang mungkin muncul.

Cek Artikel:  20 Hewan Pemakan Daging, dari Mamalia hingga Serangga

Masalah vaksinasi juga perlu mendapat perhatian. Ketersediaan vaksin masih terbatas, dan strategi yang jelas untuk menentukan prioritas vaksinasi sangat diperlukan. Pencegahan penularan di fasilitas kesehatan juga perlu ditingkatkan untuk menghindari penyebaran Mpox di rumah sakit. Selain itu, diperlukan aturan yang lebih jelas untuk mencegah penyebaran Mpox melalui perjalanan antar negara.

Demi mengatasi tantangan-tantangan ini, beberapa arah penelitian perlu diprioritaskan. Pengembangan tes deteksi Mpox yang lebih cepat dan akurat menjadi salah satu fokus utama. Penelitian tentang obat-obatan baru untuk Mpox juga perlu dilakukan, terutama untuk kasus-kasus yang lebih parah. Studi tentang dampak jangka panjang dari infeksi Mpox akan membantu dalam pengembangan protokol perawatan yang lebih baik.

Baca juga : Indonesia – Afrika Sepakati Kerja Sama Penanganan Wabah Mpox

Strategi Komunikasi untuk Hindari Mpox

Selain itu, penelitian tentang strategi komunikasi yang efektif diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. “Studi tentang strategi vaksinasi yang optimal juga penting dilakukan, termasuk evaluasi efektivitas vaksin pada berbagai kelompok populasi. Pusingkatan sistem pemantauan kasus Mpox dan pengembangan kerjasama internasional dalam pengendalian penyakit ini juga menjadi prioritas penelitian di masa depan,” ungkapnya.

Cek Artikel:  Ilmuwan Berhasil Ciptakan Pil Luar biasa, Manfaatnya Setara Lari 10 KM

Dengan fokus pada area-area penelitian ini, diharapkan penanganan Mpox di Indonesia dapat ditingkatkan, baik dari segi pencegahan, deteksi dini, pengobatan, maupun pengendalian penyebaran penyakit ini.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Organisasi Kesehatan (ORK) Badan Riset dan Hasil karya Nasional (BRIN) Ni Luh Putu Dharmayanti menegaskan BRIN terus berkomitmen untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan wabah atau kejadian luar biasa (KLB) Mpox di Indonesia.

“Penelitian lebih lanjut akan terus dilakukan terkait epidemiologi, transmisi dan pengembangan vaksin atau terapi baru dalam upaya pengendalian Mpox. Salah satunya melalui penyelenggaraan webinar oleh Pusat Riset Topengteran Preklinis dan Klinis (PRKPP) untuk memperoleh informasi terkini perkembangan mpox sekaligus mendorong peluang kerjasama dengan instansi terkait dalam upaya pencegahan penyebaran mpox di Indonesia,” ujar Indi.

Sementara, Kepala PRKPP BRIN Harimat Hendarwan menegaskan pencegahan cacar monyet dapat diupayakan dengan pemberian vaksin cacar, penggunaan pelindung pribadi, dan menghindari kontak dengan hewan yang terinfeksi atau lingkungan yang terkontaminasi.

“Prinsipnya kita harus kembali menegakkan disiplin protokol kesehatan untuk mencegah risiko penularan. Pengobatan umumnya bersifat suportif, dengan fokus pada pengelolaan gejala dan pencegahan infeksi sekunder. Beberapa terapi antiviral mungkin digunakan dalam kasus-kasus yang parah atau berisiko tinggi,” jelas Harimat. (Z-9)

Mungkin Anda Menyukai