BRICS, Perang Dagang AS, dan Indonesia-ASEAN

BRICS, Perang Dagang AS, dan Indonesia-ASEAN
(Dok. Pribadi)

PADA 2 April 2025, Presiden Amerika Perkumpulan (AS) Donald Trump mengumumkan penerapan tarif ‘cermin’ bagi lebih dari 60 negara di dunia. Ia menyebut kebijakan ini sebagai ‘Deklarasi Pembebasan Ekonomi’. Banyak negara yang dikenai kebijakan ‘tarif Enggak adil’ ini terhadap produk yang diimpor dari AS, termasuk terhadap banyak negara di ASEAN. Tarif resiprokal Trump ini pun berdampak signifikan bagi Indonesia.

Pemerintah Amerika mengeklaim bahwa Indonesia mengenakan tarif impor sebesar 64% Buat produk AS. Sebagai balasan, Indonesia akan dikenai tarif 32% Buat barang-barang Indonesia yang diimpor ke AS. Indonesia Enggak sendirian menghadapi kebijakan tarif baru itu. Negara-negara tetangga seperti Kamboja, Vietnam, Thailand, dan Malaysia juga terkena Pengaruh dengan tarif masing-masing sebesar 49%, 46%, 36%, dan 24%.

 

LANGKAH DIPLOMATIK DAN DIALOG SETARA

Menarik bahwa pada 9 April, hari dimulainya tarif resiprokal yang ditetapkan AS, Presiden Trump Malah mengumumkan penangguhan kebijakan tersebut selama 90 hari. Keputusan itu diambil menimbang keinginan lebih dari 75 negara Buat bernegosiasi dan berkompromi. Disinyalir, langkah ini mereka ambil karena desakan, atau lebih Cocok karena ancaman. Indonesia memanfaatkan Waktu Waktu kosong 90 hari itu Buat melakukan dialog setara dengan AS.

Langkah dialogis ini bertujuan mengamankan kondisi ekonomi nasional dan regional. Menurut beberapa pejabat, Indonesia, sebagai negara ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Enggak berniat terlibat dalam perang dagang. Karena itu, langkah yang ditempuh ialah pendekatan diplomatik Buat menyelesaikan masalah ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, misalnya, mengatakan bahwa tarif impor ini dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 0,5% ke depan.

Cek Artikel:  Ruang Sempit Pemerintahan Prabowo

Tetapi, Indonesia Tetap punya posisi tawar Krusial, Mempunyai pengaruh politik yang signifikan di kawasan ASEAN. Kebijakan geopolitik Indonesia Dapat menentukan posisi ASEAN. Dengan kata lain, langkah Jakarta Tetap sangat Pandai mengeluarkan diri dari tekanan ini, bahkan Pandai mengurangi tekanan terhadap Asia Tenggara. Strategi dialogis Indonesia berpeluang Buat dapat mengubah kebijakan tarif yang berlebihan tersebut.

Menarik bahwa kalangan pebisnis Indonesia dan AS Maju menjadi saluran komunikasi Penting di antara kedua pemerintahan. Negosiasi dan kompromi lewat jalur bisnis itu sudah dan sedang berlangsung alot. Misalnya, negosiasi delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Washington terbukti membuahkan hasil. Negara-negara ASEAN lainnya, seperti Vietnam, juga telah mengambil langkah serupa, dengan mengirimkan beberapa delegasi ke AS setelah tarif diterapkan. Tetapi, apakah langkah-langkah itu akan berhasil?

Yang Jernih, pemerintahan Prabowo Subianto tentu Tetap Mempunyai kekuatan Buat berdialog secara setara dengan AS. Tetapi, AS tampaknya Enggak siap Buat mendengarkan kepentingan Indonesia dan mempertimbangkan keinginannya Buat menjaga stabilitas regional dan peran sentral ASEAN.

Parahnya, di tengah penurunan tajam nilai Ganti rupiah terhadap dolar AS, Indonesia sungguh berada dalam posisi tawar yang Ringkih. Di mata AS, Indonesia adalah salah satu negara yang ‘harus bernegosiasi’, mengingat Enggak Terdapat pilihan lain. Lewat bagaimana?

 

DIBUTUHKAN KOHESI REGIONAL ASEAN

Tanggapan terhadap kebijakan tarif ini perlu dilakukan di tiga level, Yakni nasional, regional (ASEAN), dan Dunia (BRICS). Di tingkat nasional, Indonesia harus berurusan dengan infrastruktur domestik, logistik dan produksi, serta mengendalikan pasar valuta asing. Perekonomian Indonesia menghadapi banyak tantangan karena kebijakan tarif AS, dan sektor yang paling terpengaruh terutama ialah pertanian, tekstil dan industri ringan, serta elektronik dan jasa yang berorientasi pada pariwisata.

Cek Artikel:  Membumikan Pembelajaran Mendalam

Perubahan ini berdampak jangka panjang terhadap stabilitas ekonomi dan pembangunan Indonesia secara keseluruhan. Digitalisasi, reformasi peraturan investasi, dan menjaga stabilitas nilai Ganti rupiah akan menjadi tantangan besar bagi Indonesia. Langkah-langkah tersebut sebagian besar sudah diambil oleh pemerintah.

Di tingkat regional, ‘kekuatan normatif’ Indonesia–kemampuan historisnya Buat membentuk posisi, Kebiasaan, dan aturan perilaku di kawasan ini–dapat melindungi kepentingan negara-negara ASEAN dan menciptakan beberapa sinergi dalam merespons. Tantangan Penting Indonesia Begitu ini ialah membangun solidaritas regional dan mengoordinasikan tanggapan di tingkat negara-negara ASEAN yang sangat kritis terhadap tindakan pemerintah AS, juga mencari Metode Buat mendiversifikasi ekonomi mereka.

Tindakan tersebut dapat menghasilkan mekanisme dan kesepakatan Serempak yang baru mengenai penanggulangan tarif domestik, serta penyatuan kebijakan dan posisi negosiasi pada platform organisasi Dunia lainnya. Hal itu merupakan motivasi yang Bagus bagi ASEAN Buat mempertimbangkan penyelesaian dalam mata Dana nasional, mendorong integrasi sistem pembayaran digital, dan menegosiasikan perjanjian perdagangan bebas dengan kawasan lain dan Kenalan eksternal.

Malaysia, sebagai ketua ASEAN Begitu ini dan salah satu ekonomi regional yang paling maju, Mempunyai ambisi serupa. Diketahui bahwa Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dan Presiden RI Prabowo Subianto Mempunyai pandangan yang sejalan mengenai isu-isu regional dan Dunia. Indonesia, Serempak dengan Tiongkok dan Afrika Selatan, Tetap menjadi salah satu dari tiga negara BRICS yang menerima bea masuk tertinggi dari pemerintah AS.

Terlepas dari status sebagai ‘pendatang baru’ dalam organisasi tersebut, penggagas Konferensi Bandung dan salah satu pendiri Gerakan Non-Blok ini cukup Pandai menarik perhatian para Kenalan BRICS akan perlunya mengembangkan mekanisme ekonomi dan politik multilateral alternatif. Di sini kita Menonton adanya kesamaan pandangan antara Indonesia dan misalnya pemain BRICS besar seperti Rusia. Tetapi, Buat melaksanakan kebijakan itu, Indonesia perlu mengembangkan konsep partisipasinya dalam BRICS dan roadmap langkah-langkah praktis di bidang ekonomi dan politik.

Cek Artikel:  Masalah Perlindungan Hukum Sertifikat Tanah Elektronik

Selain itu, Terdapat kesadaran di Indonesia bahwa kebijakan tarif Trump jauh melampaui proteksionisme ekonomi dan mengancam Buat meningkatkan kebuntuan AS-Tiongkok, yang sangat berbahaya bagi stabilitas dan pembangunan regional. Dalam hal ini, kunjungan Menteri Luar Negeri RI Sugiono dan Menteri Pertahanan RI Sjafrie Sjamsoeddin ke Tiongkok juga patut diapresiasi tinggi. Karena, keduanya berhasil menyelesaikan berbagai persoalan bilateral di tengah situasi Dunia yang sulit. Jernih, bahwa Indonesia sekali Tengah berusaha menyeimbangkan kepentingan kedua Kenalan Krusial ini, yang memberinya kendali atas situasi tersebut.

Di Begitu yang sama, mekanisme yang Terdapat seperti Bank Pembangunan Baru BRICS (New Development Bank/NDB) juga menjadi perhatian Tertentu bagi Indonesia, sebagaimana dibuktikan oleh pertemuan produktif antara Presiden NDB Dilma Rousseff dan Presiden RI Prabowo Subianto di Jakarta baru-baru ini. Bagi Indonesia, efektivitas, netralitas, dan keamanan dari mekanisme-mekanisme tersebut sangatlah Krusial.

Dari sudut pandang politik dunia, Indonesia Mempunyai banyak hal yang dapat ditawarkan Buat pembentukan tatanan dunia yang adil dan sistem Interaksi Dunia yang multipolar, bahkan dapat menjadi salah satu pemimpin transformasi ekonomi dunia.

Tetapi, Krusial Buat diingat bahwa Indonesia Enggak bersifat konfrontatif dan siap Buat menyelesaikan Pertentangan berdasarkan dialog dan konsensus. Pada Begitu yang sama, tekanan AS menegaskan bahwa multipolaritas dan mekanisme yang setara Sepatutnya sudah terbentuk sejak dahulu sehingga langkah-langkah sepihak seperti itu Enggak akan menjadi bencana bagi ekonomi dunia.

Mungkin Anda Menyukai