BPIP Waspadai Kekuasaan Absolut

BPIP Waspadai Kekuasaan Absolut
Mulai rapuhnya etika penyelenggara negara membuat BPIP menggelar FGD bersama sejumlah pakar, peneliti, guru besar, tokoh agama, dan ahli etika(Medcom)

BADAN Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyelenggarakan Focus Groud Discussion (FGD) dengan tema Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara di Jakarta, Selasa, 27 Agustus 2024. FGD mengeksplorasi bagaimana kerapuhan etika mempengaruhi sistem hukum, demokrasi, dan tata kelola publik, serta membahas upaya mengembalikan Pancasila sebagai pandangan hidup dan cita negara.

Peneliti Senior Badan Riset dan Penemuan Nasional (BRIN) Ikrar Nusa Bhakti mengatakan,“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” merupakan sebuah adagium yang dikemukakan oleh Lord Acton yang patut untuk direnungkan dalam memotret realitas berbangsa dan bernegara saat ini terutama dengan semakin penuhnya “coretan tinta” penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara. 

“Tampak jelas betapa nilai pancasila dan etika di dalam berpolitik dan mentaati hukum itu terjadi degradasi yang amat sangat,” kata Ikrar.

Berdasarkan adagium Lord Acton, kekuasaan yang absolut pasti akan menyebabkan korupsi ini bukanlah sebuah adagium slogan, namun telah dilegitimasi oleh berbagai kajian akademis. 
 
Kekuasaan memiliki tingkat adiksi yang tinggi bahkan lebih dari adiksi terhadap narkoba. Kekuasaan mampu mengaktifkan sistem penghargaan neuronal di otak sehingga membuat orang yang berada pada posisi kekuasaaan memiliki adiktifitas untuk terus mempertahankan kekuasannya. 
 
Hal ini berdampak pada terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. “Rupanya begitu mendapat kekuasaan, mampu mengubah cara pandang seseorang, tentang dunia, dan dirinya sendiri. Orang tang tadinya rendah hati, melayani, itu bisa berubah menjadi menuntut orang lain melayani dia,” ujar Ramlan Surbakti, Guru Besar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga.
 
Implikasi dari penyalahgunaan kekuasaan tersebut dapat mengakibatkan perilaku nepotisme yang melahirkan kolusi dan berujung pada praktik-praktik korupsi yang masif sehingga menyebabkan dominasi terhadap kekayaan negara dan penghalalan segala cara demi mempertahankan kekuasaan.
 
Bentuk penyalahgunaan yang lebih serius adalah manipulasi terhadap sistem hukum baik pada tatanan legislasi hingga proses law enforcement (penegakan hukum).  Pada titik ini, substansi hukum yang seharusnya menjunjung etika moralitas, justru dijauhkan dari nilai-nilai etika. 
 
“Terdapat persoalan besar bahwa hukum dituhankan dan dianggap lebih tinggi dari etik, ini jelas terbalik,” ujar Bivitri Susanti, Ahli Hukum STH Jentera.
 
Begitu pula dengan proses legislasi yang seharusnya melibatkan partisipasi publik justru dilakukan secara tertutup dan tanpa transparansi. 
 
“Etika harusnya jadi kompas moral dari penyelengara negara untuk menjaga integritas dan kepercayaan rakyat. Mereka juga harus teguh dalam perilaku etis, sekarang dipamerkan cara pengambilan keputusan yang tidak etis,” imbuh Harkristuti Harkrisnowo, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 
 
Selain itu, proses legislasi juga dilakukan tanpa adanya naskah akademis yang kritis dan mendalam hingga terdapat istilah DPR lebih berfungsi sebagai dewan perwakilan rezim bukan dewan perwakilan rakyat.
 
Belum lagi dengan independensi lembaga peradilan yang juga ikut terdegradasi. Pada akhirnya hukum tidak lagi mampu melindungi hak-hak asasi manusia dan kepentingan publik secara adil, tetapi justru dimanfaatkan untuk memperkuat kekuasaan politik.
 
Hal ini berujung juga pada kualitas demokrasi yang semakin “tergerus”. Berkaca dari data The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 2024 misalnya, Indonesia termasuk dalam kategori demokrasi cacat (flawed democracy) dengan skor 6,53 dan berada di peringkat ke-56 dunia, turun 2 peringkat dibandingkan tahun sebelumnya. 
 
“flawed democracy menjadi situasi kita. Mekanisme elektoral yang jadi syarat prosedural demokrasi dan kebebasan sipil tetaplah belum cukup kokoh karena menghadapi oligarki di level atas, tapi di bawah rakyat menghadapi intoleransi akibat proses politik itu,” jelas Martin L Sinaga, Tokoh agama dan ahli Etika yang juga pengajar di STF Driyarkara.
 
Beberapa catatan krusial dengan penilaian rendah dalam indeks tersebut berkaitan dengan budaya politik (4,38) dan kebebasan sipil (5,29).
 
Sementara itu, berdasar data Freedom House (2024), Indonesia termasuk dalam kategori ‘partly free’ dengan nilai 57/100 (turun 1 poin dibandingkan tahun sebelumnya). 
 
“Demokrasi berkorelasi positif dengan indeks ekonomi dan sosial. Kalau mau ketimpangan menurun maka harus demokrasinya diutamakan. Hari ini Indonesia demokrasinya lemah dan ekonominya stagnasi,” ujar Andi Widjajanto, Ahli Politik yang memimpin Lembaga Ketahanan Nasional 2022-2023. (Z-8)

Cek Artikel:  Risma Bungkam Ditanya Rencana Mundur dari Kabinet

Mungkin Anda Menyukai